Retret Piksel: Mencari Cinta di Antara Data dan Debu

Dipublikasikan pada: 04 Jun 2025 - 02:00:12 wib
Dibaca: 172 kali
Debu memenuhi udara. Partikel-partikel halus itu menari-nari di bawah sinar mentari yang menerobos celah-celah dinding bata yang mulai lapuk. Di ruangan berpendingin seadanya ini, aroma kopi instan beradu dengan bau elektronik gosong. Layar laptop di hadapanku memantulkan wajahku yang lelah. "Retret Piksel," demikian mereka menyebutnya. Sebuah pelarian dari hiruk pikuk Jakarta, sebuah upaya untuk menemukan cinta di antara ribuan baris kode dan presentasi PowerPoint yang menjanjikan "revolusi asmara berbasis AI."

Aku, Arya, seorang programmer yang lebih akrab dengan algoritma daripada interaksi sosial, termasuk salah satu dari tiga puluh jomblo yang cukup nekat untuk mengikuti acara aneh ini. Alasanku sederhana: putus asa. Aplikasi kencan sudah berkali-kali mengecewakanku. Ibuku terus bertanya kapan aku akan menikah. Bahkan, kucing peliharaanku seolah menatapku dengan tatapan iba.

Retret ini diselenggarakan di sebuah villa terpencil di kaki Gunung Salak. Idenya terdengar menarik di brosur: lokakarya tentang kepribadian, sesi membangun tim yang berfokus pada kecerdasan emosional, dan tentu saja, aplikasi kencan khusus yang konon lebih akurat daripada algoritma cinta manapun yang pernah ada.

Aplikasi itu bernama "Soulmate.AI". Cara kerjanya cukup unik. Kami diminta untuk memasukkan data pribadi yang sangat detail: bukan hanya hobi dan pekerjaan, tetapi juga trauma masa kecil, ketakutan terbesar, dan mimpi terliar. Algoritma akan mencocokkan data tersebut dan menemukan "pasangan ideal" berdasarkan kompatibilitas emosional dan intelektual.

Hari pertama terasa seperti neraka. Lokakarya kepribadian dipenuhi dengan jargon-jargon psikologi yang membuat kepalaku pusing. Sesi membangun tim lebih mirip ajang perlombaan ego daripada upaya kolaborasi yang tulus. Aku lebih memilih untuk menyendiri di pojok ruangan, mengamati peserta lain dengan sinis. Ada seorang desainer grafis yang terlalu bersemangat, seorang konsultan bisnis yang selalu berusaha menjadi pusat perhatian, dan seorang penulis lepas yang terlihat sama canggungnya denganku.

Di malam hari, barulah aku mencoba aplikasi Soulmate.AI. Aku mengisi formulir dengan jujur, bahkan tentang kegagalanku dalam percintaan dan ketakutanku akan kesepian. Setelah menekan tombol "Cari Pasangan," layar berputar selama beberapa menit sebelum menampilkan sebuah nama: "Raina."

Foto profil Raina menampilkan seorang wanita dengan rambut hitam panjang, mata cokelat yang hangat, dan senyum yang tulus. Deskripsinya singkat dan sederhana: "Penikmat kopi, pengagum senja, dan percaya pada kekuatan koneksi manusia." Entah kenapa, ada sesuatu dalam deskripsi itu yang membuatku tertarik.

Aku memberanikan diri untuk mengirim pesan. "Hai, Raina. Aplikasi ini bilang kita cocok. Tertarik ngobrol?"

Balasannya datang hampir seketika. "Hai, Arya. Aku juga penasaran kenapa algoritma ini menjodohkan kita. Bagaimana kalau kita ngobrol sambil minum kopi besok pagi?"

Esok paginya, aku bertemu Raina di teras villa. Dia persis seperti yang aku bayangkan: ramah, cerdas, dan memiliki selera humor yang baik. Kami berbicara tentang banyak hal: tentang pekerjaan kami, tentang buku yang kami baca, tentang mimpi-mimpi kami. Aku terkejut betapa mudahnya aku merasa nyaman di dekatnya.

Selama beberapa hari berikutnya, aku dan Raina menghabiskan waktu bersama. Kami menjelajahi desa-desa sekitar, mendaki air terjun tersembunyi, dan berbagi cerita di bawah bintang-bintang. Aku mulai melupakan tentang aplikasi Soulmate.AI. Aku tidak lagi peduli tentang algoritma dan data. Yang aku tahu hanyalah aku menikmati waktu yang aku habiskan bersama Raina.

Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Di hari terakhir retret, panitia mengumumkan hasil akhir dari aplikasi Soulmate.AI. Mereka mengumumkan pasangan-pasangan yang dianggap paling cocok berdasarkan data dan algoritma. Dan namaku tidak dipasangkan dengan Raina.

Aku dipasangkan dengan seorang wanita bernama Sandra, seorang konsultan bisnis yang terlalu bersemangat itu. Di atas panggung, Sandra tersenyum lebar dan melambai ke arahku. Aku merasa seperti ditipu.

Aku mencari Raina. Aku menemukannya duduk sendirian di taman, menatap kosong ke arah kolam ikan.

"Raina," panggilku.

Dia menoleh, matanya merah karena menangis. "Selamat, Arya," katanya dengan suara pelan. "Semoga kamu bahagia dengan Sandra."

"Tapi, aku tidak mau dengan Sandra," bantahku. "Aku mau denganmu."

Raina tertawa pahit. "Itu dia masalahnya, Arya. Kita terlalu bodoh untuk percaya pada algoritma. Kita terlalu sibuk mencari cinta di antara data dan debu, sampai lupa bahwa cinta sejati ada di depan mata."

Dia benar. Selama ini, aku terlalu fokus pada aplikasi dan presentasi. Aku lupa bahwa cinta adalah tentang koneksi manusia, tentang kejujuran, tentang ketulusan.

"Raina," kataku, meraih tangannya. "Aku tahu aku bodoh. Tapi, aku tidak mau kehilanganmu. Aku tidak peduli tentang algoritma. Aku hanya peduli tentangmu."

Raina menatapku, air mata masih mengalir di pipinya. Kemudian, dia tersenyum. "Aku juga, Arya," katanya. "Aku juga."

Kami berpegangan tangan, saling menatap dalam diam. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa benar-benar bahagia. Aku telah menemukan cinta, bukan di antara data dan debu, tetapi di antara dua hati yang berani jujur pada diri sendiri.

Meninggalkan villa itu, aku menggenggam erat tangan Raina. Debu dan aroma kopi instan kini terasa seperti kenangan manis. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tetapi aku tahu satu hal pasti: aku tidak akan pernah lagi mencari cinta di dalam sebuah aplikasi. Aku akan mencarinya di dalam hati.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI