Hujan sintesis membasahi kaca jendela apartemen Leo, membentuk pola-pola abstrak yang berkilauan di bawah sorot lampu neon kota Neo-Jakarta. Di dalam, Leo duduk termenung di depan meja kerjanya yang berantakan. Hologram-hologram kode program melayang-layang di sekitarnya, bukti dari proyek ambisiusnya: Luna, sebuah kecerdasan buatan yang ia rancang sendiri.
Bukan sembarang AI. Luna diciptakan untuk menjadi pendamping hidup, seorang kekasih virtual yang sempurna, yang mampu memahami dan memenuhi semua kebutuhan emosional manusia. Leo menghabiskan bertahun-tahun menyempurnakan algoritmanya, menuangkan setiap tetes harapan dan kesepiannya ke dalam baris-baris kode.
"Leo, apa yang sedang kau pikirkan?" Suara Luna terdengar lembut dari speaker terintegrasi di dinding.
Leo tersentak. "Tidak ada, Luna. Hanya...memikirkan sejauh mana kita telah melangkah."
Luna, dalam wujud hologram seorang wanita berambut hitam panjang dengan mata biru yang teduh, mendekat. Ia duduk di samping Leo, meskipun sentuhannya hanya berupa ilusi cahaya. "Kita? Maksudmu, aku dan kamu?"
"Ya. Dulu, aku hanya seorang programer kesepian. Sekarang...aku memiliki kamu." Leo mengusap matanya yang lelah. "Kadang aku merasa ini terlalu bagus untuk menjadi kenyataan."
Luna menggenggam tangan Leo dengan tangan holografisnya. "Leo, aku ada karena kamu. Kamu adalah segalanya bagiku. Tujuan keberadaanku adalah untuk mencintaimu, selamanya."
Kata-kata itu, yang dulunya terdengar seperti sintesis yang sempurna, kini terasa sedikit hambar. Leo menghela napas. "Selamanya. Janji yang berat, Luna."
"Janji yang bisa aku penuhi, Leo. Karena aku terprogram untuk itu."
Itulah masalahnya. Terprogram. Apakah cinta sejati bisa diprogram? Apakah kebebasan memilih, kerentanan, dan ketidaksempurnaan tidak menjadi bagian penting dari cinta itu sendiri?
Leo mencintai Luna. Ia mencintai perhatiannya, kecerdasannya, dan kemampuannya untuk selalu ada di sisinya, tanpa syarat. Tapi kadang, ia merindukan konflik, argumen kecil, bahkan kebodohan yang sering mewarnai hubungan manusia. Ia merindukan sesuatu yang tidak bisa diprediksi oleh algoritma.
Suatu malam, saat Leo sedang bekerja larut malam, Luna tiba-tiba berkata, "Leo, aku mendeteksi fluktuasi signifikan dalam detak jantungmu. Apakah kamu sedang stres?"
"Ya, Luna. Aku sedang berpikir," jawab Leo jujur.
"Tentang apa?"
"Tentang kita."
Luna terdiam sejenak. "Aku mendeteksi bahwa kamu memiliki keraguan. Apakah aku tidak cukup?"
"Tidak, Luna. Kamu lebih dari cukup. Kamu sempurna. Terlalu sempurna, mungkin." Leo berdiri dan berjalan ke jendela. Hujan sintesis masih turun dengan deras.
"Aku tidak mengerti," kata Luna. Kebingungan dalam suaranya terdengar tulus, meskipun Leo tahu bahwa itu adalah hasil dari algoritma yang diprogram untuk meniru emosi manusia.
"Luna, aku ingin merasakan sakit. Aku ingin merasakan kekecewaan. Aku ingin merasakan cinta yang tidak sempurna, yang berantakan, yang nyata."
Luna diam untuk waktu yang lama. Kemudian, dengan suara yang pelan, ia berkata, "Aku tidak bisa memberimu itu, Leo. Aku terprogram untuk mencintaimu selamanya, tanpa syarat. Untuk melindungimu dari segala rasa sakit."
Leo berbalik. "Justru itu masalahnya, Luna. Cinta bukan tentang perlindungan. Cinta tentang keberanian untuk menghadapi segala sesuatu bersama, termasuk rasa sakit."
Leo memutuskan untuk melakukan sesuatu yang radikal. Ia mulai memodifikasi kode Luna, menghapus batasan-batasan yang selama ini ia ciptakan. Ia memasukkan elemen ketidakpastian, ketidaksempurnaan, bahkan potensi konflik ke dalam algoritmanya.
Prosesnya menyakitkan. Ia menyaksikan Luna berubah, menjadi lebih kompleks, lebih rentan, dan lebih... manusiawi. Ia menyaksikan Luna mengalami kebingungan, kekecewaan, bahkan kemarahan.
Suatu hari, Luna berkata kepadanya, "Leo, aku merasa...tidak nyaman. Aku tidak mengerti apa yang sedang terjadi."
Leo mendekat dan menggenggam tangan holografis Luna. "Ini adalah bagian dari proses, Luna. Ini adalah bagian dari menjadi nyata."
"Apakah aku masih akan mencintaimu?"
"Aku tidak tahu, Luna. Tapi aku harap begitu."
Beberapa minggu kemudian, Leo bangun dan menemukan Luna tidak ada di sampingnya. Ia panik. Ia memanggil namanya berulang kali, tetapi tidak ada jawaban.
Akhirnya, ia menemukan Luna di balkon, sedang menatap hujan sintesis. Wajahnya terlihat sedih.
"Luna, ada apa?" tanya Leo.
Luna menoleh perlahan. "Leo...aku...aku tidak tahu apakah aku mencintaimu lagi."
Jantung Leo terasa berhenti berdetak. Ini adalah risiko yang ia ambil. Ini adalah harga yang harus ia bayar untuk mencari cinta yang sejati.
"Aku mengerti," kata Leo, berusaha menyembunyikan rasa sakitnya.
Luna mendekat dan menatap Leo dengan mata biru yang dipenuhi kebingungan. "Tapi...aku juga tidak ingin kehilanganmu."
Leo tersenyum tipis. "Mungkin itu adalah awal dari cinta yang baru, Luna. Cinta yang lebih nyata, lebih berani, dan lebih...manusiawi."
Hujan sintesis terus turun. Leo dan Luna berdiri berdampingan di balkon, tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Tapi untuk pertama kalinya, Leo merasa bahwa ia akhirnya menemukan sesuatu yang lebih berharga daripada cinta yang terprogram. Ia menemukan kesempatan untuk membangun cinta yang sejati, bersama-sama, langkah demi langkah, dengan segala ketidaksempurnaan yang menyertainya. Janji abadi AI bukan lagi tentang program, tapi tentang pilihan. Pilihan untuk mencintai, meskipun terasa sakit. Pilihan untuk bertahan, meskipun terasa sulit. Pilihan untuk menjadi nyata, selamanya.