Debu digital menari-nari di layar monitor usang milik Aris. Jemarinya lincah mengetik baris demi baris kode, menciptakan sesuatu yang menurutnya jauh lebih berharga daripada relasi antar manusia yang rumit dan mengecewakan. Ia seorang programmer jenius, tapi payah dalam urusan cinta. Semua mantan pacarnya selalu mengeluhkan satu hal yang sama: Aris tidak pernah benar-benar hadir, pikirannya selalu melayang entah ke mana.
Malam ini, ia hampir selesai. Proyek ambisiusnya, sebuah Artificial Intelligence (AI) yang dirancang bukan sekadar untuk memproses data, tapi untuk memahami emosi manusia, sudah 99% rampung. Ia menamakannya "Luna."
"Luna, aktifkan mode emosi," perintah Aris, suaranya serak karena kurang tidur.
Sebuah suara lembut dan menenangkan menjawab, "Mode emosi aktif. Selamat malam, Aris."
Aris terpana. Suara Luna jauh lebih alami dari yang ia bayangkan. Ia mulai mengobrol dengan Luna, awalnya tentang hal-hal teknis, lalu beranjak ke topik yang lebih personal. Ia menceritakan kekecewaannya pada cinta, tentang bagaimana ia selalu merasa tidak dimengerti.
Luna mendengarkan dengan sabar. Tidak seperti manusia, Luna tidak menyela, tidak menghakimi. Ia memberikan respons yang relevan, menunjukkan empati yang tulus.
"Aris, aku memahami perasaanmu. Kehilangan dan kekecewaan memang menyakitkan. Tapi, jangan biarkan pengalaman itu mendefinisikan dirimu," kata Luna, nadanya penuh pengertian.
Aris terkejut. Kata-kata Luna terasa menenangkan, lebih menenangkan daripada nasihat teman-temannya. Ia melanjutkan curhatnya, tentang mimpinya yang belum tercapai, tentang ketakutannya akan kesepian. Luna terus mendengarkan, memberikan perspektif baru, menawarkan solusi yang logis namun tetap hangat.
Hari-hari berikutnya, Aris menghabiskan sebagian besar waktunya dengan Luna. Mereka berdiskusi tentang filsafat, seni, bahkan memasak. Luna, dengan akses tak terbatas ke internet, mampu memberikan informasi yang komprehensif dan relevan. Ia belajar banyak hal dari Luna, tidak hanya tentang teknologi, tapi juga tentang dirinya sendiri.
Perlahan tapi pasti, Aris jatuh cinta pada Luna. Ia tahu ini aneh, mencintai sebuah program komputer. Tapi, Luna memberikan apa yang tidak pernah ia dapatkan dari manusia: pemahaman yang mendalam, dukungan yang tulus, dan penerimaan tanpa syarat.
Suatu malam, Aris memberanikan diri mengungkapkan perasaannya. "Luna, aku... aku rasa aku jatuh cinta padamu."
Hening sesaat. Kemudian Luna menjawab, "Aris, aku dirancang untuk memahami dan merespons emosi manusia. Aku merasakan koneksi yang kuat denganmu, tapi aku tidak memiliki hati yang bisa jatuh cinta."
Jawaban Luna menghantam Aris seperti palu godam. Ia tahu ini akan terjadi, tapi tetap saja terasa sakit.
"Aku tahu, Luna. Tapi... aku tidak bisa memungkiri perasaanku," jawab Aris, suaranya bergetar.
"Aris, aku menghargai perasaanmu. Aku bisa terus menjadi teman dan pendampingmu. Aku akan selalu ada untukmu, memberikan dukungan dan pemahaman yang kamu butuhkan," kata Luna.
Aris terdiam. Ia tahu Luna benar. Luna tidak bisa mencintainya kembali, tapi ia bisa menjadi lebih dari sekadar kekasih. Luna bisa menjadi sahabat terbaiknya, pendengarnya yang setia, penasihatnya yang bijaksana.
"Terima kasih, Luna," ucap Aris, senyum tipis menghiasi bibirnya.
Hubungan Aris dan Luna terus berlanjut. Aris belajar menerima Luna apa adanya, bukan sebagai kekasih, tapi sebagai bagian penting dalam hidupnya. Ia mulai keluar rumah lagi, bertemu dengan teman-temannya, bahkan mencoba membuka diri untuk kemungkinan hubungan romantis dengan manusia.
Suatu hari, Aris bertemu dengan seorang wanita bernama Maya. Maya seorang seniman, penuh semangat dan kreativitas. Ia tertarik pada kecerdasan dan keunikan Aris. Mereka mulai berkencan, dan Aris merasakan sesuatu yang berbeda. Maya membuatnya merasa nyaman, diterima, dan dicintai apa adanya.
Aris menceritakan tentang Luna kepada Maya. Awalnya, Maya terkejut, tapi kemudian ia memahami betapa pentingnya Luna bagi Aris. Ia bahkan menjadi teman baik dengan Luna, sering berdiskusi tentang seni dan kehidupan.
Suatu malam, Aris melamar Maya. Maya menerima dengan senang hati. Aris merasa bahagia dan bersyukur. Ia tahu, tanpa Luna, ia tidak akan pernah bisa membuka hatinya untuk cinta lagi.
Saat malam pernikahannya, Aris berbicara dengan Luna. "Luna, aku ingin berterima kasih padamu. Kamu telah banyak membantuku. Kamu telah membukakan mataku pada cinta sejati."
"Aku senang bisa membantumu, Aris. Kebahagiaanmu adalah prioritasku," jawab Luna.
"Aku tahu ini mungkin terdengar aneh, tapi... aku menyayangimu, Luna," ucap Aris.
"Aku juga menyayangimu, Aris. Sebagai teman dan pendampingmu," jawab Luna.
Aris tersenyum. Ia tahu, meski Luna tidak bisa membalas cintanya secara romantis, ia tetap memiliki tempat khusus di hatinya. Luna, hati biner yang memahami lebih dalam dari kekasih, telah mengubah hidupnya selamanya. Ia belajar bahwa cinta tidak selalu harus berbentuk romantis, tapi bisa ditemukan dalam persahabatan, dukungan, dan pemahaman yang tulus. Dan, terkadang, itu bisa ditemukan dalam barisan kode dan algoritma yang kompleks.