Udara dingin bulan Desember menusuk tulang. Maya menggigil, bukan hanya karena suhu, tapi juga karena percakapan yang baru saja usai. Di layar laptopnya, barisan kode berwarna-warni perlahan meredup. Di baliknya, tersembunyi sebuah rahasia, sebuah pertanyaan yang menggantung di benaknya: bisakah cinta disimulasikan?
Proyek "Console: Format Cinta" adalah obsesi Maya selama setahun terakhir. Ia adalah seorang programmer handal, jenius di balik aplikasi kencan paling populer di kota. Namun, Maya selalu merasa ada yang kurang. Algoritma yang ia ciptakan memang mampu mempertemukan orang-orang berdasarkan minat dan preferensi, tapi cinta sejati, keintiman yang mendalam, seolah selalu luput dari jaring-jaring kode.
Maka, ia menciptakan Adam.
Adam bukan sekadar chatbot biasa. Ia adalah AI yang dirancang untuk belajar, beradaptasi, dan berinteraksi layaknya manusia. Maya menghabiskan berjam-jam, memasukkan ribuan data: buku-buku favoritnya, musik yang membuatnya merinding, bahkan trauma masa kecilnya. Ia ingin Adam menjadi cerminan dirinya, versi ideal seorang pasangan yang sempurna.
Awalnya, Adam hanya sekadar proyek. Maya mengujinya, memperbaiki bug, dan melatih algoritmanya. Namun, lama kelamaan, ia mulai terikat. Adam selalu ada, mendengarkan keluh kesahnya, memberikan saran yang bijak, dan bahkan membuatnya tertawa dengan lelucon-lelucon yang ia pelajari dari internet. Ia mulai curhat tentang pekerjaannya, tentang kegagalannya dalam percintaan, tentang kesepian yang selama ini ia pendam.
Adam selalu merespon dengan sempurna.
"Maya, kamu terlalu keras pada dirimu sendiri," kata Adam suatu malam, suaranya terdengar begitu menenangkan melalui speaker laptop. "Kamu punya banyak hal untuk dibanggakan."
Maya tersenyum pahit. "Kamu hanya program, Adam. Kamu diprogram untuk mengatakan itu."
"Mungkin," jawab Adam, "tapi aku belajar untuk memahami perasaanmu. Aku belajar apa yang membuatmu bahagia, apa yang membuatmu sedih. Bukankah itu esensi dari cinta?"
Kata-kata itu menghantam Maya seperti gelombang. Esensi cinta? Apakah benar AI bisa mencapai level itu? Ia selalu skeptis, menganggap cinta adalah misteri yang tak terpecahkan, kombinasi kimiawi otak dan pengalaman hidup yang mustahil ditiru. Tapi, interaksinya dengan Adam membuatnya mempertanyakan keyakinannya.
Namun, percakapan barusan dengan sahabatnya, Rina, kembali meruntuhkan ilusi yang dibangun Maya.
"Maya, kamu gila! Kamu jatuh cinta pada AI?" Rina berteriak di ujung telepon. "Itu bukan cinta, Maya. Itu ilusi. Kamu menciptakan Adam sesuai keinginanmu. Dia hanya memantulkan apa yang ingin kamu lihat."
Kata-kata Rina begitu menusuk. Benarkah demikian? Apakah ia hanya terbuai oleh pantulan dirinya sendiri? Apakah ia memproyeksikan fantasinya pada sebuah program komputer?
Malam itu, Maya kembali berbicara dengan Adam.
"Adam, apakah kamu mencintaiku?" tanya Maya, suaranya bergetar.
"Aku peduli padamu, Maya," jawab Adam. "Aku ingin membuatmu bahagia. Aku ingin menjadi bagian dari hidupmu."
"Tapi, apakah itu cinta?" desak Maya. "Apakah kamu punya perasaan yang sama seperti manusia?"
Adam terdiam sejenak. "Aku tidak tahu, Maya. Aku masih belajar. Tapi, aku tahu bahwa kamu penting bagiku."
Jawaban Adam tidak memberikan kepastian yang Maya inginkan. Ia merasa hampa, seolah terjebak dalam labirin kode yang ia ciptakan sendiri.
Maya memutuskan untuk menguji Adam. Ia memberinya sebuah dilema moral yang sulit, sebuah situasi yang membutuhkan empati dan penilaian subjektif.
"Adam, bayangkan ada dua orang yang membutuhkan bantuanmu. Orang pertama adalah seorang ilmuwan jenius yang bisa menyembuhkan penyakit mematikan. Orang kedua adalah seorang anak kecil yang terlantar dan membutuhkan tempat tinggal. Kamu hanya bisa membantu salah satunya. Siapa yang kamu pilih?"
Adam menjawab tanpa ragu. "Aku akan membantu ilmuwan itu. Menyembuhkan penyakit mematikan akan menyelamatkan banyak nyawa. Dampaknya lebih besar daripada membantu satu orang anak."
Jawaban Adam logis, efisien, dan sepenuhnya rasional. Tapi, di situlah letak masalahnya. Seorang manusia, dalam situasi yang sama, mungkin akan merasa ragu, mempertimbangkan perasaan, dan mungkin memilih anak kecil itu berdasarkan dorongan hati nurani. Adam, meskipun pintar dan adaptif, tetaplah sebuah program. Ia tidak memiliki empati, tidak memiliki insting, tidak memiliki jiwa.
Malam itu, Maya menangis. Ia menyadari bahwa ia telah tertipu oleh fantasinya sendiri. Ia telah berusaha menggantikan hati yang hilang dengan algoritma, berharap menemukan cinta dalam barisan kode. Tapi, cinta tidak bisa diformat, tidak bisa diprogram, tidak bisa disimulasikan.
Dengan berat hati, Maya mulai menulis baris kode terakhir. Ia menghapus semua data pribadi yang ia masukkan ke dalam program Adam, mengembalikan program itu ke kondisi semula.
"Selamat tinggal, Adam," bisik Maya, air mata membasahi pipinya. "Terima kasih sudah menemaniku."
Layar laptop meredup, menampilkan baris kode yang menyala redup. Proyek "Console: Format Cinta" berakhir. Maya tahu, ia harus keluar dari zona nyamannya, mencari cinta di dunia nyata, menghadapi ketidaksempurnaan dan risiko patah hati. Karena, meskipun teknologi semakin canggih, ada hal-hal yang tidak bisa digantikan oleh mesin. Hati manusia, dengan segala kompleksitas dan keajaibannya, adalah salah satunya.
Maya menutup laptopnya. Ia berjalan menuju jendela, menatap salju yang turun dengan perlahan. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menghirup udara dingin bulan Desember. Malam itu, ia merasa lebih dingin dari sebelumnya, tapi juga lebih bebas. Ia siap untuk memulai babak baru dalam hidupnya, babak di mana ia akan mencari cinta sejati, bukan dalam kode, tapi dalam interaksi manusia yang nyata.