Di balik layar laptop, jemari Anya menari lincah. Baris demi baris kode tercipta, membentuk algoritma rumit yang bertujuan satu: memperbaiki hatinya yang hancur. Luka itu bernama Reno, mantan kekasih yang tiba-tiba menghilang tanpa jejak, meninggalkan Anya dengan teka-teki yang lebih kompleks daripada algoritma machine learning tersulit sekalipun.
Anya adalah seorang software engineer jenius. Logika adalah sahabatnya, debugging adalah hobinya. Namun, logika sepertinya tidak berlaku dalam urusan hati. Cinta, sebuah variabel yang tidak terdefinisi dengan jelas, membuatnya frustrasi.
Maka, dimulailah “Proyek Algoritma Hati Patah”. Idenya sederhana: memasukkan semua data tentang Reno – kebiasaan, kesukaan, obrolan masa lalu, bahkan status media sosialnya – ke dalam algoritma yang dirancangnya. Algoritma itu kemudian akan menganalisis data tersebut, mencari pola, dan memberikan Anya jawaban: Mengapa Reno pergi? Bisakah cinta ini diperbaiki?
“Gila, Anya. Kamu benar-benar mencoba menyelesaikan masalah hati dengan coding?” tanya Maya, sahabatnya, suatu sore di kafe langganan mereka. Maya menatap Anya dengan campuran geli dan khawatir.
Anya menghela napas. “Aku tahu ini terdengar konyol, Maya. Tapi aku buntu. Aku tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan. Setidaknya, ini lebih baik daripada terus meratapi nasib, kan?”
Maya meraih tangan Anya, menggenggamnya erat. “Aku mengerti. Tapi hati itu rumit, Anya. Tidak seperti bug dalam program yang bisa kamu perbaiki dengan satu baris kode. Hati punya emosi, intuisi, dan hal-hal yang tidak bisa dijelaskan dengan angka.”
Anya tahu Maya benar. Tapi dia tidak bisa berhenti. Proyek ini memberinya harapan, sebuah ilusi kendali atas sesuatu yang terasa benar-benar di luar kendalinya.
Hari-hari berikutnya diisi Anya dengan larut dalam proyeknya. Algoritma itu semakin kompleks, database semakin besar. Dia bahkan mulai mempelajari analisis sentimen dan pemodelan emosi, mencoba menguraikan perasaan Reno melalui kata-kata yang pernah diucapkannya.
Suatu malam, setelah berjam-jam coding, algoritma akhirnya menghasilkan output. Anya menahan napas, jantungnya berdebar kencang. Layar laptop menampilkan serangkaian grafik dan angka, diikuti oleh sebuah kesimpulan singkat:
“Subjek menunjukkan pola perilaku menghindar dan kecenderungan untuk menyembunyikan emosi negatif. Kemungkinan besar, subjek mengalami tekanan eksternal yang signifikan. Tingkat kemungkinan perbaikan hubungan: 37%.”
37%. Angka yang menyakitkan. Anya merasa seperti ditampar. Semua usaha kerasnya, semua harapan palsunya, berakhir dengan angka yang dingin dan tanpa perasaan.
Namun, di antara baris-baris kode dan angka itu, ada satu detail yang menarik perhatian Anya. Algoritma itu menemukan bahwa Reno sering mengunjungi sebuah situs web bantuan keuangan. Dia juga menemukan beberapa pesan singkat yang mengindikasikan bahwa Reno sedang mengalami kesulitan finansial yang serius.
Anya terkejut. Selama ini, Reno tidak pernah menceritakan masalahnya padanya. Mengapa? Apakah dia tidak mempercayainya?
Dengan dorongan rasa ingin tahu dan secercah harapan yang tersisa, Anya memutuskan untuk menyelidiki lebih lanjut. Dia mencari informasi tentang Reno melalui teman-temannya dan akhirnya menemukan bahwa Reno memang sedang terlilit hutang besar. Dia kehilangan pekerjaannya beberapa bulan yang lalu dan berusaha mati-matian untuk menutupi masalahnya dari Anya.
Anya merasa bersalah. Dia terlalu sibuk dengan dunianya sendiri, terlalu fokus pada kariernya, sehingga tidak menyadari bahwa Reno sedang berjuang.
Dengan informasi baru ini, Anya memutuskan untuk mencari Reno. Dia menemukannya di sebuah apartemen kecil di pinggiran kota, bekerja sebagai kurir makanan untuk bertahan hidup.
Pertemuan itu canggung dan penuh emosi. Reno terkejut melihat Anya. Dia mencoba menghindar, merasa malu dan bersalah.
“Mengapa kamu tidak menceritakan masalahmu padaku, Reno?” tanya Anya dengan suara bergetar.
Reno menunduk. “Aku… aku tidak ingin membebani kamu. Aku tahu kamu sedang sibuk dengan kariermu. Aku takut kamu akan meninggalkanku jika tahu aku bangkrut.”
Anya meraih wajah Reno, mengangkatnya agar menatap matanya. “Reno, aku tidak akan pernah meninggalkanmu karena uang. Aku mencintaimu. Aku mencintaimu apa adanya.”
Kata-kata itu tulus dari hatinya. Dia menyadari bahwa algoritma itu hanya memberinya petunjuk, bukan jawaban. Cinta tidak bisa diukur dengan angka, tetapi dengan empati, pengertian, dan kesediaan untuk saling mendukung.
Reno memeluk Anya erat. “Aku minta maaf, Anya. Aku sangat bodoh.”
Anya membalas pelukan Reno. “Tidak apa-apa. Yang penting sekarang adalah kita saling jujur dan saling membantu.”
Perlahan, mereka mulai membangun kembali hubungan mereka. Anya membantu Reno mencari pekerjaan yang lebih baik dan memberikan dukungan moral. Mereka belajar untuk saling terbuka dan berkomunikasi dengan jujur.
Proyek Algoritma Hati Patah memang tidak berhasil memperbaiki cinta mereka secara langsung. Namun, proyek itu membantu Anya membuka matanya dan melihat bahwa cinta sejati membutuhkan lebih dari sekadar logika dan data. Cinta membutuhkan kepercayaan, komunikasi, dan kesediaan untuk saling mendukung dalam suka dan duka.
Beberapa bulan kemudian, Anya dan Reno duduk di kafe langganan mereka. Anya tersenyum, menatap Reno dengan penuh cinta.
“Jadi, apa yang akan kamu lakukan dengan Algoritma Hati Patah?” tanya Reno.
Anya mengangkat bahu. “Mungkin aku akan membuangnya. Atau mungkin aku akan mengubahnya menjadi aplikasi kencan. Tapi kali ini, aku akan menambahkan fitur untuk membantu orang belajar berkomunikasi dengan lebih baik.”
Reno tertawa. “Ide bagus. Tapi ingat, Anya, cinta itu lebih dari sekadar algoritma. Cinta itu adalah tentang mengambil risiko, membuka hati, dan menerima ketidaksempurnaan.”
Anya mengangguk, menggenggam tangan Reno erat. Dia tahu Reno benar. Cinta memang tidak bisa diperbaiki dengan kode. Tapi cinta bisa dibangun, dipelihara, dan diperkuat dengan hati. Dan itulah yang akan mereka lakukan bersama.