Deretan angka dan kode seolah menari di hadapan Anya. Jemarinya lincah menekan tuts keyboard, menciptakan baris demi baris algoritma yang ia harap akan mengubah hidupnya – dan mungkin, hidup banyak orang lainnya. Anya bekerja di "Soulmate AI," sebuah perusahaan rintisan yang menjanjikan jodoh ideal berdasarkan data dan analisis mendalam. Bukan sekadar preferensi warna rambut atau hobi, tapi pola pikir, kecerdasan emosional, bahkan potensi konflik di masa depan.
Anya sendiri skeptis pada awalnya. Romansa baginya adalah kekacauan indah, kejutan yang tak terduga. Bagaimana mungkin cinta diukur dan diprediksi seperti cuaca? Namun, setelah mengalami patah hati yang menyakitkan, ia mulai mempertimbangkan kemungkinan lain. Mungkinkah algoritma bisa memberikan apa yang hatinya gagal temukan: stabilitas, kompatibilitas, dan kebahagiaan yang terjamin?
Proyek terbesarnya adalah "Proyek Aurora," algoritma yang dirancang untuk menemukan jodoh sempurna bagi para klien VIP Soulmate AI. Anya mencurahkan seluruh waktu dan energinya. Ia menyempurnakan kode, menguji hipotesis, dan menyisir jutaan data pengguna. Ia ingin Aurora tidak hanya mencocokkan data, tapi memahami esensi manusia: impian, ketakutan, dan harapan terpendam.
Di sela-sela kesibukannya, Anya sering berinteraksi dengan Liam, seorang desainer UI/UX di Soulmate AI. Liam adalah kebalikan Anya. Ia ceria, spontan, dan percaya pada takdir. Liam sering menggodanya tentang proyeknya, "Anya, jangan sampai kau jadi robot gara-gara Aurora. Cinta itu buta, bukan akurat!"
Anya hanya tersenyum. "Justru karena buta, cinta seringkali menyakitkan, Liam. Aku hanya mencoba mengurangi risiko itu."
Lambat laun, Anya mulai merasakan sesuatu yang aneh. Aurora menunjukkan hasil yang konsisten: Anya dan Liam memiliki tingkat kompatibilitas yang sangat tinggi. Awalnya, Anya mengabaikannya. Itu pasti kesalahan. Algoritma yang ia ciptakan sendiri pasti memiliki bias. Namun, semakin ia mencoba menampik, semakin kuat Aurora menunjukkan hasilnya.
Ia mulai memperhatikan Liam lebih seksama. Ia tertawa saat Liam membuat lelucon konyol. Ia merasa nyaman saat mereka berdiskusi tentang buku atau film. Ia menyadari bahwa ia menikmati kebersamaan dengan Liam lebih dari yang ia duga. Apakah mungkin algoritmanya benar? Apakah ia jatuh cinta pada orang yang "ditentukan" oleh kode ciptaannya sendiri?
Kebimbangan Anya semakin besar. Ia merasa bersalah. Seolah ia mencurangi sistem, memaksa algoritma untuk memberinya jawaban yang ia inginkan. Ia mencoba mencari celah dalam kode, mencari bukti bahwa ada kesalahan. Namun, semakin ia mencari, semakin ia menemukan bukti sebaliknya. Data menunjukkan bahwa Anya dan Liam memiliki kesamaan nilai, minat, dan tujuan hidup. Bahkan, Aurora memprediksi bahwa mereka akan memiliki hubungan yang stabil dan harmonis.
Suatu malam, setelah bekerja lembur, Anya dan Liam berjalan bersama menuju halte bus. Udara malam terasa dingin dan hening. Anya memberanikan diri untuk bertanya, "Liam, apa pendapatmu tentang Soulmate AI?"
Liam mengangkat bahu. "Menurutku, itu ide yang menarik. Tapi, aku tidak yakin algoritma bisa memahami kompleksitas manusia. Cinta itu bukan matematika, Anya. Itu kimia."
"Bagaimana kalau algoritmanya benar?" Anya bertanya, jantungnya berdebar kencang. "Bagaimana kalau algoritma bisa menemukan orang yang benar-benar cocok untukmu?"
Liam berhenti dan menatap Anya. "Kalau begitu, algoritma itu harus sangat pintar. Karena aku belum menemukan orang itu."
Anya menelan ludah. "Bagaimana kalau orang itu ada di dekatmu?"
Liam tersenyum. "Mungkin aku terlalu bodoh untuk menyadarinya."
Anya merasa dorongan yang kuat untuk mengungkapkan perasaannya. Namun, ia ragu. Apakah perasaannya ini tulus, atau hanya hasil dari sugesti algoritma? Apakah ia benar-benar mencintai Liam, atau hanya mencintai gagasan tentang masa depan yang sempurna yang dijanjikan Aurora?
Ia memutuskan untuk melakukan eksperimen. Ia mengubah beberapa variabel penting dalam kode Aurora. Ia mengurangi bobot kesamaan minat dan meningkatkan bobot kebebasan dan spontanitas. Ia ingin melihat apakah Aurora akan tetap menunjukkan hasil yang sama.
Hasilnya mengejutkan. Setelah perubahan, Aurora menunjukkan bahwa Anya lebih cocok dengan... dirinya sendiri. Algoritma menyimpulkan bahwa Anya membutuhkan waktu untuk fokus pada dirinya sendiri, mengejar impiannya, dan menemukan kebahagiaan dari dalam. Liam tidak lagi menjadi kandidat teratas.
Anya terkejut, tapi juga lega. Ia menyadari bahwa ia telah terlalu bergantung pada algoritma, lupa pada intuisinya sendiri. Ia telah mencari jawaban di luar dirinya, padahal jawaban itu selalu ada di dalam hatinya.
Keesokan harinya, Anya menemui Liam di kantor. Ia ingin menjelaskan semuanya. Ia ingin meminta maaf karena telah melibatkan Liam dalam eksperimennya yang aneh. Namun, sebelum Anya sempat berbicara, Liam berkata, "Anya, aku tahu kau sedang mengerjakan sesuatu yang penting. Aku tahu kau ragu tentang perasaanmu. Tapi, aku ingin kau tahu bahwa aku menyukaimu, apa adanya. Aku tidak peduli dengan algoritma atau kompatibilitas. Aku hanya ingin mengenalmu lebih baik."
Anya menatap mata Liam. Ia melihat ketulusan, kehangatan, dan harapan. Ia menyadari bahwa Liam tidak membutuhkan algoritma untuk mencintainya. Ia mencintainya karena ia adalah Anya, dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Anya tersenyum. "Aku juga menyukaimu, Liam."
Mungkin algoritma bisa membantu menemukan potensi kecocokan. Mungkin data bisa memprediksi kemungkinan konflik. Tapi, cinta sejati membutuhkan lebih dari sekadar angka dan kode. Cinta membutuhkan keberanian untuk mengambil risiko, kepercayaan untuk membuka diri, dan kemauan untuk menerima seseorang apa adanya.
Anya tahu bahwa masa depan mereka tidak bisa diprediksi. Akan ada tantangan, akan ada perbedaan pendapat, akan ada masa-masa sulit. Tapi, ia tidak takut. Karena ia tahu bahwa mereka akan menghadapinya bersama, dengan hati yang terbuka dan cinta yang tulus. Algoritma mungkin mengetahui banyak hal, tapi ia yakin hatinya tahu lebih banyak. Dan itulah yang terpenting.