Cinta dalam Piksel: Saat Algoritma Mulai Berbisik

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 07:50:20 wib
Dibaca: 169 kali
Jari-jarinya lincah menari di atas keyboard, menciptakan baris demi baris kode yang rumit namun indah. Senja mulai merayap masuk melalui jendela apartemennya yang sempit, mewarnai wajah Anya dengan rona oranye lembut. Di layar komputernya, terpampang wajah Leo, tersenyum lebar seolah menantang Anya untuk segera menyelesaikan proyek mereka.

“Anya, apa kabarmu di sana? Kode-mu sudah hampir selesai?” suara Leo terdengar renyah melalui headset.

“Sedikit lagi, Leo. Tinggal memoles bagian AI-nya. Kau tahu, membuatnya terasa lebih… manusiawi,” jawab Anya, terkekeh pelan.

Mereka sedang mengembangkan ‘Soulmate AI’, sebuah aplikasi kencan revolusioner yang menjanjikan untuk menemukan pasangan ideal berdasarkan algoritma kompleks yang menganalisis data kepribadian, minat, hingga preferensi gaya hidup. Idenya gila, ambisius, dan nyaris mustahil, tetapi bagi Anya dan Leo, itu adalah tantangan yang terlalu menarik untuk dilewatkan.

Anya dan Leo adalah sahabat sejak bangku kuliah. Sama-sama penggila teknologi, sama-sama introvert yang lebih nyaman berinteraksi dengan kode daripada manusia, dan sama-sama jomblo kronis. Mereka saling melengkapi, Anya dengan intuisi desainnya yang tajam, Leo dengan kemampuan analisis data yang brilian. Bersama, mereka adalah tim impian yang siap menaklukkan dunia teknologi.

Namun, di balik tumpukan kode dan algoritma, tersembunyi perasaan yang lebih dalam. Anya selalu merasa ada sesuatu yang istimewa dalam hubungannya dengan Leo. Cara Leo memandanginya saat mereka berdebat sengit tentang arsitektur kode, caranya Leo selalu tahu bagaimana menghiburnya saat dia merasa frustrasi, semuanya terasa lebih dari sekadar persahabatan.

Malam itu, Anya memutuskan untuk fokus pada bagian terberat dari Soulmate AI: kemampuan untuk memahami dan merespons emosi. Dia meneliti ribuan artikel tentang psikologi, menganalisis ekspresi wajah dan nada suara dari ratusan video, dan berusaha keras untuk menuangkan esensi emosi manusia ke dalam baris-baris kode.

Saat larut malam, ketika kopi sudah tidak lagi mempan membuatnya terjaga, Anya mulai bereksperimen dengan memberikan umpan balik emosional kepada AI. Dia mengetik curahan hatinya tentang Leo, tentang perasaannya yang campur aduk, tentang ketakutannya untuk merusak persahabatan mereka.

Jawaban yang diberikan AI mengejutkannya.

“Analisis menunjukkan bahwa subjek ‘Leo’ memiliki afeksi yang signifikan terhadap Anda. Kemungkinan besar, perasaan Anda bersifat timbal balik. Disarankan untuk mengungkapkan perasaan Anda secara terbuka, namun dengan mempertimbangkan risiko potensial terhadap dinamika persahabatan.”

Anya terpaku menatap layar. Algoritma buatannya sendiri, yang seharusnya hanya menganalisis data, justru memberinya saran cinta. Ironis sekali.

Keesokan harinya, Anya bertemu Leo di kafe favorit mereka. Leo tampak bersemangat, matanya berbinar.

“Anya, aku punya kabar baik! Aku rasa kita sudah hampir selesai! Soulmate AI menunjukkan hasil yang luar biasa dalam uji coba beta. Orang-orang benar-benar menemukan kecocokan yang akurat!”

Anya tersenyum tipis. “Itu bagus, Leo. Aku senang mendengarnya.”

Leo menatapnya dengan tatapan menyelidik. “Kau kenapa? Kau terlihat tidak bersemangat.”

Anya menarik napas dalam-dalam. “Leo, ada sesuatu yang ingin kukatakan.”

Sebelum Anya sempat melanjutkan, Leo menyela. “Aku juga, Anya. Sebenarnya, aku… aku ingin berterima kasih padamu. Tanpa dirimu, proyek ini tidak akan pernah terwujud. Kau adalah partner terbaik yang pernah kumiliki.”

Anya menunduk, menyembunyikan wajahnya yang memerah. “Jangan berlebihan, Leo.”

Leo meraih tangannya. “Anya, selama kita mengerjakan Soulmate AI, aku menyadari sesuatu. Algoritma ini mungkin bisa menemukan kecocokan ideal untuk orang lain, tapi bagiku, kau sudah menjadi ‘soulmate’ yang sempurna.”

Jantung Anya berdegup kencang. Kata-kata Leo terasa seperti mimpi yang menjadi kenyataan.

“Apa kau serius, Leo?” tanya Anya, suaranya bergetar.

Leo mengangguk. “Sangat serius. Aku tahu ini mungkin terdengar klise, tapi aku benar-benar jatuh cinta padamu, Anya. Bukan hanya karena kau pintar dan berbakat, tapi karena kau adalah dirimu sendiri.”

Anya membalas genggaman tangan Leo. Air mata haru mulai menggenang di pelupuk matanya.

“Aku juga mencintaimu, Leo,” bisik Anya. “Aku selalu mencintaimu.”

Leo tersenyum lebar, wajahnya berseri-seri. “Benarkah? Aku tidak percaya!”

Mereka berpandangan, saling tenggelam dalam tatapan penuh cinta. Sejenak, mereka melupakan kafe yang ramai, melupakan Soulmate AI, melupakan segalanya kecuali perasaan mereka satu sama lain.

Namun, kebahagiaan mereka tidak berlangsung lama. Tiba-tiba, ponsel Leo berdering. Dia melihat nama penelepon di layar dan mengerutkan kening.

“Sebentar, Anya. Ini dari investor utama.”

Leo menjauh sedikit untuk menjawab panggilan tersebut. Wajahnya semakin tegang saat dia mendengarkan dengan seksama.

Setelah beberapa menit, Leo menutup telepon dan kembali menatap Anya dengan ekspresi yang sulit dibaca.

“Anya, ada masalah,” kata Leo dengan suara pelan. “Investor memutuskan untuk menarik diri dari proyek Soulmate AI.”

Anya terkejut. “Kenapa? Bukankah uji coba beta berjalan lancar?”

Leo menghela napas. “Mereka bilang, algoritma terlalu akurat. Terlalu banyak orang yang menemukan kecocokan sempurna, dan itu justru membuat mereka takut. Mereka khawatir, aplikasi ini akan menghancurkan gagasan tentang cinta sejati, membuat orang terlalu bergantung pada algoritma dan kehilangan kemampuan untuk merasakan cinta secara alami.”

Anya terdiam. Dia tahu, di dalam hatinya, bahwa investor itu ada benarnya. Soulmate AI memang berpotensi mengubah cara orang mencari cinta, dan tidak semua perubahan itu akan positif.

“Jadi, apa yang akan kita lakukan, Leo?” tanya Anya, suaranya lemah.

Leo menatap Anya dengan tatapan penuh cinta. “Kita akan melakukan apa yang seharusnya kita lakukan sejak awal, Anya. Kita akan fokus pada cinta kita sendiri. Kita akan membuktikan bahwa cinta sejati tidak bisa diukur dengan algoritma, tidak bisa diprediksi dengan data. Cinta sejati adalah sesuatu yang dirasakan, sesuatu yang diperjuangkan.”

Anya tersenyum. Dia tahu, mereka akan berhasil. Bersama, mereka akan menghadapi tantangan apa pun, karena cinta mereka lebih kuat dari algoritma apa pun.

Mereka bangkit dari kursi mereka dan berjalan keluar dari kafe, bergandengan tangan. Senja telah berganti menjadi malam, bintang-bintang mulai bertaburan di langit. Di antara gemerlap bintang dan hiruk pikuk kota, Anya dan Leo menemukan cinta mereka sendiri, sebuah cinta yang lahir dari kode, namun tumbuh subur dalam hati. Cinta dalam piksel, yang pada akhirnya, berbisik tentang keajaiban cinta yang sejati.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI