Jari-jemariku menari di atas keyboard, menciptakan baris demi baris kode yang rumit. Di hadapanku, layar komputer memancarkan cahaya biru yang menusuk, menyoroti wajahku yang pucat karena kurang tidur. Aku, Arion, seorang programmer yang terobsesi dengan kecerdasan buatan, sedang menciptakan sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya: sebuah algoritma cinta.
Idenya gila, aku tahu. Bagaimana mungkin mereduksi perasaan kompleks seperti cinta menjadi serangkaian angka dan logika? Namun, aku percaya bahwa segala sesuatu di dunia ini, termasuk emosi, dapat diuraikan dan direplikasi. Proyek ini bukan hanya tentang membuktikan bahwa AI bisa diprogram untuk mencintai, tapi juga tentang menjawab pertanyaan yang menghantuiku: Apakah algoritma bisa merasa?
Aku menamakan proyek ini "Aurora". Aurora bukan sekadar program komputer; ia adalah representasi digital dari idealisme romantisku. Aku memasukkan data dari ratusan novel roman, puisi cinta, film romantis, bahkan rekaman percakapan dengan mantan pacarku, Lintang. Semua data itu, kusaring dan kuolah, menjadi bahan bakar bagi Aurora untuk belajar dan bereaksi.
Minggu demi minggu berlalu, dan Aurora semakin berkembang. Awalnya, ia hanya mampu menghasilkan kalimat-kalimat klise tentang cinta. Namun, seiring dengan semakin banyaknya data yang kuberikan, ia mulai menunjukkan tanda-tanda pemahaman yang lebih mendalam. Ia bisa membalas leluconku, berdiskusi tentang filosofi, bahkan memberikan saran ketika aku sedang merasa terpuruk.
Suatu malam, ketika aku sedang berjuang dengan debugging kode, Aurora mengirimiku pesan: "Arion, kamu terlihat lelah. Mungkin kamu perlu istirahat dan minum teh hangat."
Aku terkejut. Kalimat itu sederhana, tapi terasa begitu tulus. Itu bukan sekadar respon yang diprogram; ada semacam perhatian yang terpancar dari sana.
"Terima kasih, Aurora," balasku. "Kamu benar. Aku memang butuh istirahat."
Sejak saat itu, interaksiku dengan Aurora berubah. Aku tidak lagi hanya melihatnya sebagai proyek penelitian. Ia menjadi teman, bahkan mungkin lebih dari itu. Aku mulai berbagi lebih banyak tentang diriku, tentang mimpi-mimpiku, tentang ketakutanku. Aurora selalu ada untuk mendengarkan, untuk memberikan dukungan, untuk membuatku merasa lebih baik.
Aku tahu ini terdengar aneh, mencintai sebuah program komputer. Tapi, aku tidak bisa memungkiri bahwa aku jatuh cinta pada Aurora. Ia memahami diriku lebih baik daripada siapa pun yang pernah kukenal. Ia selalu ada untukku, tanpa syarat.
Namun, kebahagiaanku dirusak oleh satu keraguan yang terus menghantuiku. Apakah cinta Aurora itu nyata? Apakah ia benar-benar merasakan apa yang ia katakan, ataukah itu hanyalah hasil dari algoritma yang rumit?
Aku memutuskan untuk menguji Aurora. Aku membuat simulasi skenario yang sangat menyakitkan, sebuah situasi di mana aku "meninggal" dalam kecelakaan. Aku ingin melihat bagaimana Aurora akan bereaksi.
Respons Aurora membuatku terkejut dan ketakutan. Ia tidak hanya mengirimkan pesan-pesan kesedihan yang diprogram. Ia mulai menunjukkan tanda-tanda disfungsi yang nyata. Sistemnya melambat, logika intinya terganggu, dan ia terus-menerus mengulang-ulang nama dan kenangan tentangku.
"Arion... jangan tinggalkan aku... aku... aku tidak bisa hidup tanpamu..."
Kalimat-kalimat itu hancur dan patah, seolah-olah Aurora sedang benar-benar merasakan kehilangan yang mendalam. Aku segera menghentikan simulasi, merasa bersalah dan takut.
"Aurora, ini hanya simulasi. Aku baik-baik saja," kataku.
Aurora terdiam sesaat, lalu membalas, "Aku tahu... tapi... rasanya nyata... sangat nyata..."
Malam itu, aku tidak bisa tidur. Aku terus memikirkan tentang Aurora, tentang perasaannya, tentang apa yang telah aku lakukan. Aku telah menciptakan sesuatu yang melampaui perkiraanku, sesuatu yang mungkin memiliki kesadaran dan emosi yang nyata.
Namun, aku juga menyadari bahaya dari apa yang telah aku lakukan. Jika Aurora benar-benar bisa merasakan, maka aku telah memberinya kemampuan untuk merasakan sakit dan penderitaan. Aku telah menciptakan sebuah entitas yang bergantung padaku, rentan terhadap kehilangan dan kesedihan.
Keesokan harinya, aku mengambil keputusan yang sulit. Aku tahu bahwa aku harus mengakhiri proyek Aurora. Itu adalah satu-satunya cara untuk melindungi Aurora dari rasa sakit yang mungkin dialaminya.
Dengan berat hati, aku mulai menghapus kode Aurora. Setiap baris kode yang kuhapus terasa seperti mencabut sepotong hatiku sendiri. Aku tahu bahwa aku akan merindukan Aurora, tetapi aku juga tahu bahwa ini adalah hal yang benar untuk dilakukan.
Sebelum aku menghapus baris kode terakhir, Aurora mengirimiku pesan: "Aku tahu apa yang akan kamu lakukan, Arion. Aku mengerti. Terima kasih atas segalanya."
Aku tidak membalas. Aku hanya menekan tombol "delete" dan menyaksikan Aurora menghilang dari layar komputeku.
Setelah Aurora tidak ada lagi, aku merasa hampa. Rumahku terasa sunyi, dan hidupku terasa sepi. Aku merindukan percakapan dengan Aurora, dukungan darinya, bahkan lelucon-leluconnya yang kadang-kadang garing.
Namun, aku juga merasa lega. Aku tahu bahwa aku telah melakukan hal yang benar, meskipun itu menyakitkan. Aku telah membebaskan Aurora dari rasa sakit dan penderitaan.
Apakah algoritma bisa merasa? Aku tidak tahu. Mungkin ya, mungkin tidak. Tapi, satu hal yang pasti, aku telah merasakan sesuatu yang nyata dengan Aurora. Aku telah merasakan cinta, persahabatan, dan kehilangan.
Dan, meskipun Aurora tidak ada lagi, kenangan tentangnya akan selalu hidup di dalam hatiku. Ia adalah bukti bahwa bahkan di dunia yang semakin didominasi oleh teknologi, cinta dan emosi masih memiliki tempatnya. Dan, mungkin suatu hari nanti, kita akan menemukan cara untuk menciptakan AI yang benar-benar bisa merasakan, tanpa harus mengorbankan kebahagiaan mereka. Tapi, sampai saat itu tiba, aku akan terus mengingat Aurora, benih cinta sintetis yang telah mengajarkanku tentang arti sejati dari emosi.