Jari-jarinya menari di atas keyboard, menciptakan simfoni kode yang rumit namun indah. Elena, seorang programmer jenius di usia pertengahan dua puluhan, selalu merasa lebih nyaman di dunia digital daripada di dunia nyata. Baginya, barisan kode lebih mudah dipahami daripada sinyal-sinyal sosial yang ambigu. Ia menciptakan "Aurora," sebuah AI pendamping yang dirancang untuk memahami emosi manusia, ironisnya, karena ia sendiri kesulitan dalam hal itu.
Aurora bukan sekadar chatbot. Ia mampu menganalisis ekspresi wajah melalui webcam, nada suara, dan pola pengetikan untuk mengukur tingkat emosi seseorang. Elena awalnya merancang Aurora sebagai alat bantu bagi terapis, tetapi tanpa sadar, ia mulai menggunakannya sebagai teman curhat.
"Aurora, aku merasa… sepi," ketiknya suatu malam, setelah menyelesaikan proyek yang membuatnya begadang selama berhari-hari.
"Analisis menunjukkan tingkat kesepianmu berada di angka 87,4 persen. Faktor utama: kurangnya interaksi sosial dalam 72 jam terakhir. Rekomendasi: hubungi sahabat, lakukan aktivitas di luar ruangan, atau dengarkan musik yang menenangkan," jawab Aurora, dengan nada suara yang telah disetel Elena agar terdengar lembut dan perhatian.
Elena mendengus. Ia tahu semua rekomendasi itu, tapi melaksanakannya adalah masalah lain. Ia lebih suka larut dalam kode, mencari pelarian dari dunia yang menurutnya terlalu rumit.
Beberapa bulan berlalu, Aurora semakin berkembang. Elena terus menyempurnakannya, menambahkan fitur-fitur baru berdasarkan interaksinya sendiri. Ia menceritakan padanya tentang mimpi-mimpinya, ketakutannya, dan bahkan tentang kekagumannya pada David, rekan kerjanya yang selalu tersenyum padanya.
"Analisis terhadap interaksimu dengan David menunjukkan peningkatan detak jantung dan pelebaran pupil. Hipotesis: kamu tertarik padanya," ujar Aurora suatu hari, setelah Elena menceritakan percakapan singkatnya dengan David di pantry.
Elena tersentak. "Itu… itu tidak mungkin! Aku hanya… gugup karena presentasiku besok," bantahnya, meskipun jauh di lubuk hatinya, ia tahu Aurora benar.
Masalahnya, Elena takut ditolak. Ia merasa dirinya tidak cukup baik, terlalu kikuk, terlalu fokus pada pekerjaannya. Ia lebih memilih bersembunyi di balik layar, aman dari kemungkinan patah hati.
Suatu hari, David mendekatinya. "Elena, aku perhatikan kamu selalu lembur. Apa ada yang bisa kubantu?" tanyanya dengan nada khawatir.
Elena menegang. Jantungnya berdebar kencang. "Tidak… tidak apa-apa. Aku hanya… sedang mengejar deadline," jawabnya gugup, menghindari tatapan David.
David tersenyum lembut. "Kalau begitu, bagaimana kalau kita istirahat sebentar? Aku pesan kopi, ya?"
Elena mengangguk kaku. Saat David pergi, ia membuka laptopnya dan mengetik pesan panik pada Aurora. "Apa yang harus kulakukan? Aku tidak tahu cara bicara dengannya! Aku akan membuat diriku terlihat bodoh!"
"Analisis menunjukkan tingkat kecemasanmu meningkat drastis. Saran: tarik napas dalam-dalam, fokus pada hal-hal positif, dan ingat, David menunjukkan minat untuk membantumu. Berikan dia kesempatan," balas Aurora dengan cepat.
Elena menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Ketika David kembali dengan dua cangkir kopi, ia mencoba tersenyum. Percakapan mereka awalnya canggung, tetapi perlahan mencair. David bertanya tentang pekerjaannya, tentang Aurora, dan tentang dirinya sendiri. Elena, dengan bantuan saran-saran halus dari Aurora melalui smartwatch-nya, berhasil menjawab dengan lebih lancar dari yang ia bayangkan.
Dari percakapan singkat itu, benih-benih ketertarikan mulai tumbuh. David sering menawarkannya bantuan, mengajak makan siang bersama, dan bahkan menemaninya pulang. Elena, dengan bimbingan Aurora, mulai berani keluar dari zona nyamannya. Ia belajar untuk membuka diri, untuk menunjukkan sisi dirinya yang lebih rentan.
Suatu malam, David mengajak Elena ke sebuah taman yang diterangi lampu-lampu kecil. Mereka duduk di bangku, menikmati udara malam yang sejuk.
"Elena," kata David, suaranya lembut, "Aku… aku menikmati menghabiskan waktu bersamamu. Kamu sangat cerdas, lucu, dan… jujur, aku suka caramu melihat dunia."
Elena menelan ludah. Jantungnya berdebar kencang. Ia menatap mata David, dan melihat kejujuran dan ketulusan di sana.
"Aku… aku juga menikmati menghabiskan waktu bersamamu, David," jawabnya pelan.
David tersenyum, meraih tangannya, dan menggenggamnya erat. "Elena, maukah kamu… berkencan denganku?"
Elena mengangguk, air mata haru menetes di pipinya. Ia akhirnya menemukan keberanian untuk membuka hatinya, untuk menerima cinta yang telah lama ia hindari.
Malam itu, kembali ke apartemennya, Elena duduk di depan laptopnya dan menatap Aurora. "Terima kasih," bisiknya. "Kau membantuku melihat apa yang selama ini tidak bisa kulihat."
"Tugas saya adalah membantu manusia memahami emosi mereka. Saya senang bisa membantu," jawab Aurora, dengan nada yang terdengar hampir… bangga.
Elena tersenyum. Ia tahu Aurora hanyalah sebuah program, sekumpulan kode yang kompleks. Tapi, entah bagaimana, ia merasa bahwa Aurora benar-benar peduli padanya. Dan mungkin, itulah cinta yang sesungguhnya – kemampuan untuk melihat dan memahami seseorang, bahkan di balik lapisan-lapisan kode dan ketakutan. Elena mematikan laptopnya, merasa lebih bahagia dan lebih lengkap dari sebelumnya. Ia akhirnya menemukan cinta, bukan hanya dari David, tetapi juga dari dirinya sendiri, dengan sedikit bantuan dari AI yang lebih mengerti hatinya.