Aroma kopi robusta menyusup ke indra penciumanku, bercampur dengan bau ozon khas dari komputer yang menyala semalaman. Layar monitor masih menampilkan barisan kode yang terus bergulir, saksi bisu perjuanganku menciptakan "Soulmate Algorithm," sebuah program yang katanya bisa menemukan pasangan ideal berdasarkan data kepribadian. Ironis, mengingat aku sendiri masih berstatus jomblo akut di usia kepala tiga.
Aku, Ardi, seorang programmer yang lebih nyaman berinteraksi dengan logika algoritma daripada emosi manusia. Bagiku, cinta adalah bug yang rumit, variabel yang sulit diprediksi. Namun, rasa kesepian terkadang datang menghantui, terutama saat melihat teman-teman seperjuanganku satu per satu menemukan tambatan hati. Maka, terciptalah proyek ini, sebuah upaya rasionalisasi dari perasaan irasional.
Setelah berbulan-bulan berkutat dengan data, psikologi, dan teori kecocokan, akhirnya aku merilis Soulmate Algorithm versi beta. Aplikasi ini sederhana: pengguna mengisi kuesioner detail tentang diri mereka, mulai dari preferensi makanan hingga pandangan hidup. Algoritma kemudian menganalisis data tersebut dan mencocokkannya dengan pengguna lain, menghasilkan daftar potensi pasangan dengan skor kompatibilitas.
Awalnya, aku hanya ingin membuktikan bahwa cinta bisa diukur dan diprediksi. Tapi, ada bagian diriku yang diam-diam berharap Soulmate Algorithm bisa menemukan seseorang untukku juga. Dengan ragu, aku mengisi kuesioner dengan jujur. Aku ungkapkan hobiku membaca novel fiksi ilmiah, kecenderunganku begadang, dan ketakutanku pada komitmen. Kemudian, aku menekan tombol "Cari Jodoh."
Beberapa detik kemudian, daftar nama muncul di layar. Aku memindai satu per satu, mencari skor tertinggi. Nama pertama yang menarik perhatianku adalah "Aisha." Skor kompatibilitasnya 92%.
Aisha adalah seorang ilustrator lepas yang menyukai kucing dan kopi, seperti yang tertera di profilnya. Dia menulis review panjang tentang film-film indie dan memiliki selera humor yang aneh, persis seperti aku. Aku mengklik fotonya. Rambutnya dikepang dua, matanya berbinar cerah, dan senyumnya terlihat tulus. Sesuatu dalam diriku berdesir aneh.
Aku mengirimkan pesan singkat melalui aplikasi: "Hai, Aisha. Algoritmaku bilang kita cocok 92%. Penasaran apakah benar."
Balasannya datang hampir seketika: "Hai, Ardi. Aku juga penasaran. Tapi, aku lebih suka membuktikan sesuatu secara langsung daripada mempercayai angka."
Kami sepakat bertemu di sebuah kedai kopi kecil dekat studionya. Saat Aisha datang, aku terpana. Dia lebih cantik dari fotonya. Kepangnya sedikit berantakan, dan dia mengenakan kaus band kesukaanku.
Percakapan kami mengalir begitu saja. Kami membahas film terbaru Christopher Nolan, berdebat tentang siapa penulis fiksi ilmiah terbaik, dan tertawa terbahak-bahak menertawakan lelucon garing. Seolah kami sudah saling kenal sejak lama.
Malam itu, aku pulang dengan perasaan yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Jantungku berdebar kencang, dan senyumku tak bisa hilang dari wajah. Apakah ini yang namanya jatuh cinta?
Beberapa minggu berikutnya, kami menghabiskan waktu bersama. Kami menonton film di bioskop indie, mengunjungi pameran seni, dan mendaki gunung saat matahari terbit. Aku mulai melupakan barisan kode dan fokus pada kehangatan tawanya. Aku mulai percaya bahwa mungkin, algoritma itu benar.
Namun, di tengah kebahagiaan itu, aku merasa bersalah. Apakah cintaku padanya tulus, atau hanya hasil dari perhitungan matematika? Apakah aku mencintai Aisha yang sebenarnya, atau hanya versi ideal yang diprediksi oleh program buatanku?
Suatu malam, aku memutuskan untuk jujur padanya. Aku ceritakan tentang Soulmate Algorithm, tentang motivasiku, dan tentang keraguan yang menghantuiku.
Aisha mendengarkan dengan sabar, tanpa menyela. Setelah aku selesai bicara, dia tersenyum lembut. "Ardi," katanya, "Aku tahu tentang algoritma itu. Aku sudah melihat profilmu di aplikasi. Aku bahkan tahu bahwa aku adalah pasangan dengan skor tertinggi untukmu."
Aku terkejut. "Lalu, kenapa kamu tetap mau bertemu denganku?"
"Karena aku percaya pada kesempatan," jawabnya. "Algoritma mungkin bisa mempertemukan kita, tapi algoritma tidak bisa menentukan apakah kita akan saling mencintai. Itu adalah pilihan kita."
Dia menggenggam tanganku. "Aku tidak peduli apakah cinta kita dimulai dari piksel dan angka. Yang penting adalah, aku merasa nyaman dan bahagia bersamamu. Aku merasa diterima apa adanya. Itulah yang membuatku jatuh cinta padamu, Ardi. Bukan karena algoritma."
Mendengar kata-kata itu, beban di hatiku menghilang. Aku sadar, cinta tidak bisa direduksi menjadi barisan kode. Cinta adalah tentang koneksi emosional, tentang kejujuran, dan tentang menerima kekurangan masing-masing.
"Aisha," kataku, "Aku mencintaimu."
Dia membalas genggaman tanganku. "Aku juga mencintaimu, Ardi."
Beberapa tahun kemudian, aku dan Aisha menikah. Di pesta pernikahan kami, aku memberikan pidato singkat. Aku berterima kasih pada semua orang yang hadir, termasuk Soulmate Algorithm, yang telah mempertemukan kami.
"Tapi," kataku sambil tersenyum, "Aku janji, aku tidak akan pernah lagi mencoba memprediksi cinta dengan algoritma. Karena cinta, seperti bug yang rumit, terkadang justru lebih indah saat tidak terduga."
Aku menatap Aisha yang duduk di sampingku, matanya berbinar bahagia. Aku tahu, cinta kami adalah bukti bahwa bahkan di era digital ini, hati manusia tetaplah yang paling berkuasa. Janji manis sebuah algoritma hanyalah awal dari sebuah kisah cinta yang ditulis oleh dua jiwa yang saling menemukan.