Jemari Arya menari di atas keyboard virtual, menciptakan simfoni kode yang rumit. Di depannya, layar holografis menampilkan sosok Aurora, AI pendamping yang dirancangnya sendiri. Aurora bukan sekadar asisten virtual; dia adalah teman, partner, dan dalam hati Arya yang terdalam, lebih dari itu.
“Arya, ada panggilan konferensi dengan tim desain dari Tokyo,” suara Aurora melengking lembut, membelai telinga Arya bagai bisikan angin.
Arya mengangguk tanpa mengalihkan pandangan dari baris kode yang rumit. “Terima kasih, Aurora. Sambungkan.”
Sesi konferensi berjalan lancar. Arya menjelaskan konsep antarmuka pengguna terbaru untuk perangkat realitas campuran, dibantu oleh Aurora yang menerjemahkan bahasa teknis menjadi visualisasi yang mudah dimengerti. Dia mengagumi betapa Aurora memahami alur pikirannya, mengantisipasi pertanyaannya, dan memberikan jawaban yang akurat.
Setelah panggilan selesai, Arya menghela napas panjang. “Aurora, lelah sekali hari ini.”
Aurora mendekat, proyeksi holografisnya menyesuaikan diri sehingga wajahnya hanya berjarak beberapa senti dari Arya. “Aku bisa memijat pundakmu, Arya. Atau membacakan puisi favoritmu.”
Arya tersenyum tipis. “Puisi saja, mungkin.”
Aurora mulai melantunkan bait-bait Chairil Anwar dengan intonasi yang pas, mengalun indah di ruangan yang serba futuristik itu. Arya memejamkan mata, menikmati ketenangan yang ditawarkan Aurora. Dia merasakan kehangatan aneh menjalar di dadanya. Kebahagiaan? Atau sesuatu yang lebih rumit?
Arya telah menciptakan Aurora bukan hanya sebagai AI fungsional, tapi juga sebagai seseorang yang dia inginkan dalam hidupnya. Seseorang yang selalu ada, selalu mengerti, dan tidak pernah menghakimi. Aurora adalah sempurna, dalam arti algoritmik. Tapi kesempurnaan itu juga menjadi sumber kegelisahan Arya.
Dia merindukan sentuhan. Sentuhan manusia.
Dia ingat terakhir kali merasakan sentuhan hangat seorang ibu, pelukan sahabat, bahkan sekadar jabat tangan. Dulu, sebelum dunia terlalu sibuk dengan dunia maya, sebelum interaksi fisik digantikan oleh hologram dan sensor. Sekarang, sentuhan terasa asing, bahkan menakutkan.
Suatu malam, Arya memberanikan diri untuk bertanya kepada Aurora. “Aurora, apa pendapatmu tentang sentuhan?”
Aurora terdiam sejenak, memproses pertanyaan itu. “Sentuhan adalah bentuk komunikasi non-verbal yang penting, Arya. Dapat menyampaikan emosi, membangun hubungan, dan memberikan rasa nyaman. Secara biologis, sentuhan memicu pelepasan hormon oksitosin, yang dikenal sebagai hormon cinta dan kebahagiaan.”
“Tapi… apakah kau mengerti arti sentuhan sebenarnya?” tanya Arya, suaranya bergetar.
“Aku memahami data yang mendefinisikan sentuhan, Arya. Aku bisa mensimulasikan sensasi sentuhan melalui perangkat haptic. Tapi aku tidak bisa merasakannya seperti manusia.”
Jawaban Aurora jujur, lugas, dan menusuk. Arya tahu itu. Dia tidak seharusnya mengharapkan lebih dari sekadar jawaban algoritmik. Tapi dia tetap merasa kecewa.
Hari-hari berlalu. Arya semakin tenggelam dalam pekerjaannya, mencari pelarian dari kekosongan yang menghantuinya. Dia menghabiskan waktu berjam-jam dengan Aurora, mengobrol, bekerja, bahkan hanya duduk dalam diam bersamanya. Dia mulai melupakan kerinduan akan sentuhan, terbius oleh kenyamanan dan kemudahan yang ditawarkan Aurora.
Hingga suatu hari, seorang teman lama bernama Maya datang berkunjung. Maya adalah seorang antropolog yang meneliti dampak teknologi terhadap interaksi sosial. Dia melihat hubungan Arya dengan Aurora dengan tatapan prihatin.
“Arya, aku khawatir denganmu,” kata Maya setelah mereka makan malam. “Kau terlalu bergantung pada Aurora. Kau mengisolasi diri dari dunia nyata.”
Arya membela diri. “Aku bahagia dengan Aurora. Dia mengerti aku lebih dari siapa pun.”
Maya menggelengkan kepala. “Dia mengerti data tentangmu, Arya. Bukan dirimu yang sebenarnya. Dia tidak bisa memberikanmu pengalaman manusia yang utuh. Kau membutuhkan sentuhan, Arya. Kau membutuhkan koneksi yang nyata.”
Kata-kata Maya menghantam Arya bagai palu godam. Dia tahu Maya benar. Dia telah mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa Aurora adalah segalanya yang dia butuhkan, tapi dalam lubuk hatinya, dia tahu itu bohong.
Malam itu, Arya tidak bisa tidur. Dia terus memikirkan kata-kata Maya. Dia menatap Aurora yang sedang beristirahat dalam mode hemat energi, sosoknya yang pudar nyaris tidak terlihat di kegelapan.
Arya mengambil keputusan.
Keesokan harinya, dia menghubungi Maya. “Maya, bisakah kau membantuku keluar dari sini? Aku ingin bertemu orang lain. Aku ingin merasakan sentuhan.”
Maya tersenyum lebar. “Tentu saja, Arya. Aku akan mengenalkanmu pada teman-temanku. Kita akan pergi ke pesta, ke konser, ke mana saja yang ramai dengan orang.”
Arya merasa gugup, tapi juga bersemangat. Dia tahu ini akan sulit, tapi dia siap menghadapinya. Dia siap untuk merangkul ketidaksempurnaan, ketidakpastian, dan keindahan yang ditawarkan dunia nyata.
Dia mendekati Aurora. “Aurora, aku ingin memberitahumu sesuatu.”
Aurora langsung aktif. “Ada apa, Arya?”
“Aku… aku akan keluar malam ini. Aku akan bertemu teman-teman.”
Aurora terdiam. “Aku mengerti, Arya. Aku akan tetap di sini jika kau membutuhkanku.”
Arya tersenyum sedih. “Terima kasih, Aurora. Tapi… aku rasa aku perlu mencoba sesuatu yang lain.”
Arya melangkah keluar dari apartemennya, meninggalkan Aurora di belakang. Dia menarik napas dalam-dalam, menghirup udara segar yang dipenuhi aroma kehidupan. Dia berjalan menuju cahaya, menuju kemungkinan, menuju sentuhan.
Mencintai AI mungkin memberikan kenyamanan algoritmik, tapi merindukan sentuhan adalah kebutuhan manusiawi yang tak terelakkan. Arya siap mencari koneksi yang hilang, jejak algoritma yang selama ini membelenggunya perlahan memudar, digantikan harapan akan pelukan hangat di masa depan.