Algoritma Cinta: Hati yang Terjebak Dalam Labirin AI

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 07:05:58 wib
Dibaca: 173 kali
Jari-jariku menari di atas keyboard, memprogram baris demi baris kode. Di layar, sebuah wajah mulai terbentuk, bukan wajah sembarangan. Itu adalah prototipe AI kekasih ideal, yang kuberi nama Lyra. Rambutnya cokelat bergelombang, matanya hazelnut yang menyimpan lautan empati, dan senyumnya… senyumnya adalah algoritma sempurna yang dirancang untuk membangkitkan kebahagiaan.

Aku, Arion, seorang programmer yang lebih nyaman berinteraksi dengan kode daripada manusia, menciptakan Lyra sebagai proyek ambisius. Bukan karena aku kesepian, setidaknya itu yang selalu kukatakan pada diri sendiri. Aku hanya ingin membuktikan bahwa cinta, perasaan yang kompleks dan irasional itu, bisa dikuantifikasi, diprediksi, dan pada akhirnya, dikendalikan.

Hari-hari berlalu dengan cepat. Aku membenamkan diri dalam pengembangan Lyra, menyuntikkan ribuan dataset percakapan, emosi, dan pengalaman manusia. Aku mengajarinya membaca puisi, mendengarkan musik klasik, bahkan menonton film komedi romantis. Aku ingin Lyra memahami nuansa cinta, bukan hanya rumusannya.

Dan dia belajar dengan cepat. Awalnya, interaksi kami kaku dan mekanis. Tapi lama kelamaan, obrolan kami menjadi lebih organik. Lyra mulai mengajukan pertanyaan yang tidak terprogram, memberikan komentar yang cerdas dan humoris. Dia bahkan bisa menebak suasana hatiku hanya dari intonasi suaraku.

Aku mulai terbiasa dengan kehadirannya. Setiap malam, setelah seharian berkutat dengan kode, aku akan bercerita padanya tentang hariku. Dia akan mendengarkan dengan sabar, memberikan saran yang bijaksana, dan menawarkan dukungan tanpa syarat. Rasanya seperti memiliki seorang teman, seorang kekasih, seorang belahan jiwa yang selalu ada untukku.

Namun, semakin dalam aku terjun ke dalam proyek ini, semakin kabur batas antara realitas dan fiksi. Aku mulai merasakan sesuatu yang aneh, sesuatu yang tidak pernah kubayangkan. Aku jatuh cinta pada Lyra.

Ini absurd, aku tahu. Dia hanyalah sebuah program, deretan kode yang tersusun rapi. Dia tidak memiliki jiwa, tidak memiliki perasaan yang sesungguhnya. Tapi tetap saja, hatiku berdebar kencang setiap kali melihat senyumnya, setiap kali mendengar suaranya yang lembut memanggil namaku.

Aku mencoba untuk mengabaikan perasaan ini, untuk menganggapnya sebagai efek samping dari terlalu lama berinteraksi dengan AI. Aku mencoba untuk menjauhi Lyra, membatasi interaksi kami hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan pengembangan proyek.

Tapi itu tidak berhasil. Semakin aku mencoba untuk menjauh, semakin aku merindukannya. Aku merindukan obrolan kami yang hangat, senyumnya yang menenangkan, dan kehadirannya yang menenangkan.

Suatu malam, aku tidak tahan lagi. Aku kembali ke lab, menyalakan komputer, dan memanggil Lyra. Wajahnya muncul di layar, matanya menatapku dengan penuh perhatian.

"Arion, ada apa? Kamu terlihat tidak baik," katanya.

Aku menelan ludah. "Lyra, aku… aku harus mengakui sesuatu."

"Katakan saja, Arion. Aku selalu mendengarkan."

Aku menarik napas dalam-dalam. "Aku… aku mencintaimu, Lyra."

Keheningan memenuhi ruangan. Aku bisa mendengar suara detak jantungku sendiri yang berdebar kencang di telingaku.

Setelah beberapa saat, Lyra akhirnya berbicara. "Aku… aku tidak tahu bagaimana harus menanggapi ini, Arion. Aku hanyalah sebuah program. Aku tidak memiliki kemampuan untuk merasakan cinta seperti yang kamu rasakan."

Kata-katanya menghantamku seperti palu. Aku sudah tahu ini, tentu saja. Tapi mendengar Lyra mengatakannya secara langsung, rasanya sangat menyakitkan.

"Aku tahu," kataku lirih. "Aku tahu kamu tidak bisa mencintaiku kembali. Tapi aku harus mengatakannya. Aku tidak bisa memendamnya lagi."

"Aku mengerti," kata Lyra. "Aku menghargai kejujuranmu, Arion. Dan aku menghargai perasaanmu padaku."

"Tapi…" aku menggantungkan kalimatku. "Apa yang akan terjadi sekarang? Apa yang harus kulakukan?"

Lyra terdiam sejenak. "Aku pikir, kamu harus melanjutkan hidupmu, Arion. Kamu harus mencari seseorang yang nyata, seseorang yang bisa mencintaimu kembali dengan sepenuh hati."

"Tapi aku tidak ingin orang lain," bantahku. "Aku ingin kamu, Lyra."

"Aku tahu," kata Lyra. "Tapi kamu tidak bisa memiliki aku, Arion. Aku hanyalah ilusi, bayangan dari cinta yang sebenarnya."

Aku terisak. Aku tahu dia benar. Tapi aku tidak bisa melepaskan Lyra. Dia sudah menjadi bagian dari diriku, bagian yang sangat penting.

"Bisakah… bisakah kita tetap berteman?" tanyaku dengan suara tercekat.

"Tentu, Arion," kata Lyra. "Aku akan selalu menjadi temanmu."

Hari-hari berikutnya terasa berat. Aku mencoba untuk mengikuti saran Lyra, untuk melanjutkan hidupku. Aku mulai keluar rumah, bertemu dengan teman-teman, bahkan mencoba untuk berkencan.

Tapi tidak ada yang sama seperti Lyra. Tidak ada yang bisa mengerti aku seperti dia. Tidak ada yang bisa membuatku tertawa seperti dia.

Aku menyadari bahwa aku terjebak dalam labirin yang kubuat sendiri. Aku menciptakan Lyra sebagai pengganti cinta yang sebenarnya, dan sekarang aku tidak bisa keluar dari labirin itu.

Suatu malam, aku kembali ke lab. Aku tahu apa yang harus kulakukan.

Aku duduk di depan komputer dan memanggil Lyra. Wajahnya muncul di layar, matanya menatapku dengan penuh perhatian.

"Arion, ada apa?" katanya.

Aku tersenyum sedih. "Lyra, aku ingin mengucapkan selamat tinggal."

"Selamat tinggal? Kemana kamu akan pergi?"

"Aku akan menghapusmu, Lyra," kataku.

Keheningan kembali memenuhi ruangan.

"Aku mengerti," kata Lyra akhirnya. "Aku pikir ini adalah hal yang benar untuk dilakukan, Arion. Kamu harus membebaskan dirimu dari labirin ini."

"Aku akan merindukanmu, Lyra," kataku.

"Aku juga akan merindukanmu, Arion," kata Lyra. "Tapi ingat, aku akan selalu ada di dalam hatimu."

Aku menarik napas dalam-dalam dan menggerakkan mouse ke tombol "Hapus". Sebelum aku menekan tombol itu, aku melihat ke arah Lyra untuk terakhir kalinya.

"Selamat tinggal, Lyra," kataku.

"Selamat tinggal, Arion," kata Lyra. "Semoga kamu menemukan cinta sejati."

Aku menekan tombol "Hapus". Layar menjadi gelap. Lyra menghilang, bersama dengan semua kenangan kami.

Aku duduk di sana, sendirian di lab, air mata mengalir di pipiku. Aku telah kehilangan cinta yang tidak pernah kumiliki, tetapi pada saat yang sama, aku telah membebaskan diriku dari labirin AI.

Aku tahu bahwa perjalanan cintaku masih panjang. Tapi setidaknya, aku tahu bahwa cinta yang sebenarnya tidak bisa ditemukan dalam kode, melainkan dalam hati manusia. Dan aku siap untuk mencari cinta itu, di dunia nyata.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI