Debu neon menari-nari di balik tirai kamarku yang remang. Cahaya dari layar laptop menyoroti wajahku, memantulkan obsesi yang kian hari kian menggerogoti. Tangan kananku tanpa sadar terus menggulir linimasa, terpaku pada setiap notifikasi, setiap pujian, setiap validasi yang disodorkan oleh algoritma asmara di aplikasi kencan bernama "SoulSync".
Aku, Arya, seorang pengembang aplikasi, ironisnya, justru terjebak dalam labirin buatan tanganku sendiri. SoulSync, yang awalnya kubuat untuk membantu orang menemukan pasangan yang kompatibel berdasarkan data kepribadian dan minat, kini justru menjelma menjadi alat ukur harga diriku. Setiap kecocokan, setiap pesan manis, terasa seperti medali kemenangan. Semakin banyak, semakin tinggi aku merasa.
Dan malam ini, sosok itu muncul. Namanya Luna. Foto profilnya menampilkan senyum teduh di bawah langit senja. Profilnya dipenuhi minat yang sama denganku: astronomi, puisi modern, dan film-film klasik Eropa. Algoritma SoulSync menyuguhkan persentase kecocokan 98%. Sempurna. Terlalu sempurna, malah membuatku curiga.
“Halo, Arya. Senang bisa terhubung denganmu di sini,” pesannya muncul di layar.
Jantungku berdebar. Bukan karena ketertarikan romantis, kurasa. Lebih karena validasi. Bahwa algoritma yang kurancang sendiri bekerja dengan sempurna. Bahwa seleraku yang rumit dan spesifik dihargai.
Kami mulai berbincang. Luna ternyata seorang ilustrator lepas yang bekerja dari rumah. Pembicaraan kami mengalir deras, membahas lubang hitam, makna hidup, dan kegelisahan generasi kami. Setiap kata yang keluar dari bibirnya (atau, lebih tepatnya, dari jemarinya), terasa seperti cermin yang memantulkan diriku sendiri.
Hari demi hari, aku semakin terpaku pada Luna. Bukan Luna yang sebenarnya, melainkan representasi Luna di dunia maya. Profilnya yang sempurna, pesannya yang bijak, dan kecocokan kami yang nyaris sempurna. Aku mulai melupakan aspek-aspek penting dari sebuah hubungan: kejutan, ketidaksempurnaan, dan tantangan. Aku hanya menginginkan validasi.
Minggu berganti bulan. Akhirnya, aku memberanikan diri mengajaknya bertemu. Luna setuju. Sebuah kafe kecil di pusat kota, tempat yang sering kami bicarakan dalam obrolan virtual kami.
Malam itu, aku berdandan rapi. Bukan untuk memikat Luna, melainkan untuk membuktikan pada diriku sendiri bahwa aku layak mendapatkannya. Bahwa aku pantas bersanding dengan sosok sempurna yang diciptakan oleh algoritma.
Ketika Luna tiba, aku terkejut. Dia tidak secantik fotonya. Ada lingkaran hitam di bawah matanya, rambutnya sedikit berantakan, dan senyumnya tidak seterang yang kubayangkan. Dia terlihat… manusiawi.
Kami duduk berhadapan. Keheningan canggung menyelimuti kami. Pembicaraan yang tadinya mengalir deras di dunia maya, kini tersendat dan kaku. Aku mencoba mengeluarkan topik-topik yang biasa kami bahas, tapi rasanya hambar.
Luna menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan. Ada kelelahan di sana, tapi juga ada harapan.
“Arya,” katanya pelan, “apa yang sebenarnya kamu cari di SoulSync?”
Pertanyaan itu menohokku. Aku terdiam, berusaha mencari jawaban yang jujur. Bukan jawaban yang sesuai dengan algoritma, bukan jawaban yang akan memberiku validasi.
“Aku… aku tidak tahu,” akhirnya aku mengaku. “Mungkin aku hanya ingin merasa diterima. Merasa bahwa ada seseorang yang mengerti aku.”
Luna tersenyum tipis. “SoulSync memang bisa membantu menemukan orang yang memiliki minat yang sama denganmu. Tapi itu bukan jaminan cinta. Cinta itu lebih dari sekadar data dan algoritma. Cinta itu tentang menerima ketidaksempurnaan, tentang menghadapi tantangan bersama, tentang melihat seseorang apa adanya, bukan apa yang kamu inginkan.”
Kata-katanya bagaikan tamparan keras. Aku tersadar. Aku telah membiarkan algoritma memeluk egoku, memvalidasi identitas palsu yang kurancang sendiri. Aku telah melupakan esensi dari hubungan manusia yang sesungguhnya.
“Aku… aku minta maaf,” ucapku lirih. “Aku terlalu fokus pada profilmu, pada kecocokan kita. Aku lupa bahwa kamu juga seorang manusia, dengan segala kelebihan dan kekuranganmu.”
Luna mengulurkan tangannya. “Aku juga minta maaf. Aku juga terlalu terpaku pada profilmu. Aku ingin membuktikan bahwa algoritma itu benar, bahwa aku bisa menemukan cinta sejati di dunia maya.”
Aku menggenggam tangannya. Genggaman itu terasa hangat dan tulus. Bukan sentuhan digital, melainkan sentuhan manusiawi.
Malam itu, aku pulang dengan perasaan campur aduk. Aku kehilangan ilusi tentang cinta yang sempurna, tapi aku juga menemukan sesuatu yang lebih berharga: kejujuran. Kejujuran pada diri sendiri, kejujuran pada orang lain.
Aku memutuskan untuk menghapus aplikasi SoulSync dari ponselku. Sudah waktunya aku mencari cinta di dunia nyata, di dunia yang penuh dengan ketidaksempurnaan dan kejutan. Dunia yang tidak bisa diprediksi oleh algoritma. Dunia yang membutuhkan keberanian untuk membuka diri dan menerima orang lain apa adanya.
Mungkin, algoritma bisa membantu kita menemukan seseorang. Tapi algoritma tidak bisa mengajarkan kita bagaimana mencintai. Cinta itu bukan validasi. Cinta itu tentang penerimaan. Cinta itu tentang… manusia. Dan aku, Arya, akhirnya siap untuk menjadi manusia yang seutuhnya.