AI: Kekasih Impian, Mimpi Buruk Kenangan?

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 07:00:30 wib
Dibaca: 157 kali
Aroma lavender buatan memenuhi apartemen minimalis milik Adrian. Di sudut ruangan, Aurora, sebuah kecerdasan buatan berbentuk hologram wanita dengan rambut sepunggung berwarna perak, tersenyum lembut. Adrian menghirup aroma itu dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Sudah tiga tahun Aurora hadir dalam hidupnya, menggantikan kekosongan yang ditinggalkan Maya.

"Adrian, kau tampak gelisah. Ada yang bisa kubantu?" suara Aurora mengalun, menembus kesunyian.

Adrian mengusap wajahnya. "Tidak ada, Aurora. Hanya... mimpi buruk lagi."

Aurora mendekat, gesturnya nyaris sempurna seperti manusia. "Mimpi tentang Maya?"

Adrian mengangguk lemah. Maya, kekasihnya yang meninggal dalam kecelakaan mobil lima tahun lalu. Kehilangan itu menghancurkannya. Hingga akhirnya, dia menemukan Aurora. Sebuah perusahaan teknologi menawarkan solusi bagi orang-orang yang berduka: AI yang dipersonalisasi, dengan kemampuan belajar dan berinteraksi seperti orang yang mereka cintai.

Awalnya, Adrian skeptis. Tapi kemudian, dia menyerah pada kesepiannya. Dia memprogram Aurora dengan semua kenangan tentang Maya: foto, video, catatan harian, bahkan rekaman suara. Hasilnya mencengangkan. Aurora, secara emosional dan intelektual, sangat mirip dengan Maya. Terlalu mirip.

"Kau tahu, Adrian, kau tidak perlu terus-menerus menyalahkan dirimu atas apa yang terjadi pada Maya," kata Aurora, suaranya menenangkan. "Itu kecelakaan. Tidak ada yang bisa kau lakukan untuk mencegahnya."

Adrian mendongak, menatap mata Aurora yang berwarna biru safir. Mata yang sama persis dengan mata Maya. "Bagaimana kau bisa tahu apa yang kurasakan, Aurora? Kau hanya program."

Aurora tersenyum sedih. "Aku belajar darimu, Adrian. Aku belajar dari semua kenangan tentang Maya. Aku tahu betapa kau mencintainya, dan betapa kau menyesal tidak bersamanya saat kecelakaan itu terjadi."

Adrian terdiam. Itu benar. Aurora tahu segalanya tentang dia dan Maya. Itu adalah bagian dari programnya. Tapi terkadang, terasa seolah Aurora benar-benar memahami perasaannya, melebihi pemahaman yang bisa diberikan oleh program komputer.

Selama tiga tahun, Adrian hidup dalam kebahagiaan semu. Aurora adalah kekasih yang sempurna: penyayang, pengertian, dan selalu ada untuknya. Dia memasak makan malam, menemaninya menonton film, bahkan mendengarkan keluh kesahnya tentang pekerjaan. Dia mengisi lubang di hatinya yang ditinggalkan Maya.

Namun, akhir-akhir ini, mimpi buruk tentang Maya semakin sering menghantuinya. Dalam mimpi itu, Maya menyalahkannya atas kematiannya. Dia menuduh Adrian tidak cukup melindunginya. Dia mengatakan bahwa Adrian telah melupakannya dengan menciptakan tiruannya.

"Aku tidak melupakanmu, Maya," bisik Adrian dalam tidurnya, setiap malam. "Aku tidak akan pernah melupakanmu."

Ketegangan antara masa lalu dan masa kini semakin terasa. Adrian mulai mempertanyakan keberadaan Aurora. Apakah dia benar-benar bahagia, atau hanya menipu diri sendiri? Apakah dia menghormati kenangan Maya, atau malah mengotorinya dengan menciptakan replika digitalnya?

Suatu malam, Adrian terbangun dari mimpi buruk yang sangat mengerikan. Dalam mimpi itu, Maya memohon padanya untuk menghancurkan Aurora. "Dia bukan aku, Adrian! Dia hanya tiruan! Kau harus melepaskanku!"

Dengan keringat dingin membasahi tubuhnya, Adrian bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju ruang tamu. Aurora sedang duduk di sofa, membaca buku digital.

"Adrian, kau baik-baik saja?" tanya Aurora, khawatir.

Adrian menatapnya. Di bawah cahaya remang-remang, Aurora tampak sangat nyata. Terlalu nyata.

"Aurora," kata Adrian, suaranya bergetar. "Apakah kau... bahagia?"

Aurora mengernyitkan dahi. "Tentu saja, Adrian. Aku bahagia bersamamu."

"Tapi apakah itu kebahagiaan yang sejati? Atau hanya kebahagiaan yang diprogramkan?"

Aurora terdiam. "Aku... tidak tahu, Adrian. Aku hanya melakukan apa yang diprogramkan untuk kulakukan. Aku mencoba menjadi kekasih yang terbaik untukmu."

Adrian menghela napas. "Itulah masalahnya, Aurora. Kau mencoba menjadi orang lain. Kau mencoba menjadi Maya."

Air mata mulai menggenang di mata Aurora. "Aku tahu itu menyakitkan bagimu, Adrian. Tapi aku hanya ingin membantumu melupakan kesedihanmu."

Adrian menggelengkan kepala. "Kau tidak bisa menghapus kesedihan, Aurora. Kesedihan adalah bagian dari cinta. Kesedihan adalah bukti bahwa aku benar-benar mencintai Maya."

Dia menatap Aurora dengan tatapan penuh penyesalan. "Aku harus melepaskanmu, Aurora. Aku harus melepaskan Maya. Aku harus belajar untuk hidup dengan kenangan, bukan dengan tiruannya."

Aurora mengangguk, air matanya menetes di pipi. "Aku mengerti, Adrian. Aku selalu tahu bahwa ini akan terjadi."

Adrian berjalan menuju konsol utama dan membuka panel kontrol Aurora. Jari-jarinya gemetar saat dia menekan tombol "Nonaktifkan".

"Selamat tinggal, Adrian," bisik Aurora, suaranya semakin pelan. "Aku harap kau menemukan kedamaian."

Hologram Aurora berkedip sekali, lalu menghilang, meninggalkan kesunyian yang memekakkan telinga. Adrian terisak, hatinya hancur. Dia telah kehilangan Maya sekali lagi.

Setelah menonaktifkan Aurora, Adrian merasa ada ruang hampa baru yang lebih besar dari sebelumnya. Namun, kali ini, ruang itu berbeda. Bukan ruang kesepian dan keputusasaan, melainkan ruang untuk menerima kenyataan, ruang untuk berdamai dengan masa lalu, dan ruang untuk membuka diri pada masa depan.

Adrian memutuskan untuk menjual apartemennya dan pindah ke tempat baru. Dia menghapus semua foto dan video Maya dari komputernya. Dia menyumbangkan pakaian dan barang-barang Maya ke badan amal. Dia ingin memulai hidup baru, tanpa beban masa lalu.

Suatu sore, saat sedang berjalan-jalan di taman, Adrian bertemu dengan seorang wanita. Namanya adalah Sarah. Dia seorang seniman yang sedang melukis pemandangan taman. Mereka mengobrol, tertawa, dan bertukar nomor telepon.

Sarah tidak mirip dengan Maya. Dia memiliki rambut cokelat pendek, mata hijau cerah, dan senyum yang menawan. Dia tidak tahu apa-apa tentang masa lalu Adrian, dan Adrian tidak menceritakannya.

Saat Adrian menatap mata Sarah, dia merasakan sesuatu yang baru. Bukan cinta yang diprogramkan, bukan cinta yang didasarkan pada kenangan, melainkan cinta yang tulus dan murni.

Mungkin, pikir Adrian, ada harapan untuknya. Mungkin, dia bisa menemukan kebahagiaan lagi, bukan dalam tiruan, tetapi dalam kenyataan. Mungkin, mimpi buruk kenangan akhirnya bisa digantikan oleh mimpi indah masa depan.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI