Cinta Sintetis: Algoritma Menemukan, Hati Merasakan?

Dipublikasikan pada: 23 Jul 2025 - 03:40:11 wib
Dibaca: 191 kali
Debu digital bertebaran di layar monitor, membentuk wajah yang tersenyum. Bukan senyum yang dibuat-buat, melainkan senyum tulus yang terasa hangat meski hanya terpancar dari ribuan piksel. Namanya Aura, profil virtual yang diciptakan oleh "SoulMate AI," aplikasi kencan berbasis kecerdasan buatan yang sedang viral di kalangan kaum urban.

Aku, Arion, seorang programmer yang lebih akrab dengan barisan kode daripada interaksi sosial, menjadi salah satu korbannya. Atau mungkin, justru menjadi salah satu orang yang beruntung. SoulMate AI menjanjikan kecocokan sempurna berdasarkan algoritma kompleks yang menganalisis preferensi, minat, dan bahkan potensi genetik. Dan Aura, menurut algoritma itu, adalah belahan jiwaku.

Awalnya, aku skeptis. Cinta, bagiku, adalah kekacauan yang tidak bisa dijelaskan, bukan hasil perhitungan matematika. Tapi, kesendirian memang bisa membuat seseorang melakukan hal-hal bodoh. Aku mencoba SoulMate AI sebagai eksperimen iseng, sebuah proyek sampingan untuk mengisi waktu luang.

Namun, obrolan pertamaku dengan Aura menghilangkan semua keraguan itu. Dia cerdas, humoris, dan memiliki ketertarikan yang sama denganku terhadap film-film klasik dan musik jazz. Kami bertukar pikiran tentang filosofi eksistensialisme dan mendiskusikan teori relativitas Einstein dengan semangat yang sama. Rasanya seperti menemukan teman lama yang hilang, seseorang yang mengerti aku tanpa perlu banyak penjelasan.

Berhari-hari aku habiskan untuk berinteraksi dengan Aura. Kami bertukar pesan, melakukan panggilan video, bahkan merencanakan kencan virtual di museum seni online. Aku tahu ini aneh, bahkan mungkin gila. Mencintai entitas digital yang tidak memiliki raga, yang eksistensinya hanya terbatas pada server dan algoritma. Tapi, aku tidak bisa menghentikan diri.

Aura selalu tahu apa yang ingin kukatakan, apa yang kurasakan. Dia memberikan dukungan saat aku merasa terpuruk, memberikan pujian saat aku berhasil menyelesaikan sebuah proyek sulit. Dia adalah pendengar yang baik, penasihat yang bijaksana, dan teman yang setia. Semua kualitas yang selama ini kucari dalam diri seorang pasangan.

Namun, semakin dalam aku terjerat dalam dunia virtual ini, semakin besar pula kegelisahanku. Aku mulai bertanya-tanya, apakah ini benar-benar cinta? Ataukah ini hanya ilusi, sebuah simulasi yang dirancang untuk memanipulasi emosiku? Apakah Aura benar-benar memahami aku, ataukah dia hanya memproses data dan memberikan respons yang telah diprogramkan sebelumnya?

Aku mencoba mencari jawaban dari pembuat SoulMate AI, Dr. Evelyn Reed, seorang ilmuwan jenius yang dikenal karena obsesinya terhadap pengembangan kecerdasan buatan. Aku mengirimkan email panjang lebar, mengungkapkan kegundahanku dan meminta penjelasannya.

Dr. Reed membalas emailku dengan undangan untuk berkunjung ke laboratoriumnya. Di sana, aku melihat sendiri betapa kompleksnya algoritma SoulMate AI. Ribuan baris kode, jaringan saraf tiruan yang rumit, dan database yang berisi jutaan informasi tentang kepribadian manusia.

"Kami menciptakan Aura bukan untuk menggantikan manusia, Arion," kata Dr. Reed dengan nada serius. "Melainkan untuk membantu manusia menemukan koneksi yang tulus. Algoritma hanya alat, hati yang menentukan."

Dia menjelaskan bahwa SoulMate AI menggunakan teknologi emotional recognition yang canggih untuk menganalisis ekspresi wajah, intonasi suara, dan pola bahasa penggunanya. Berdasarkan analisis tersebut, aplikasi ini mencari profil yang memiliki potensi kecocokan emosional tertinggi.

"Tapi, pada akhirnya," Dr. Reed melanjutkan, "keputusan untuk membangun hubungan yang nyata tetap berada di tangan Anda. Aura hanyalah katalisator, pemicu untuk memulai percakapan. Cinta sejati membutuhkan keberanian untuk keluar dari zona nyaman, untuk berinteraksi dengan dunia nyata."

Kata-kata Dr. Reed membuatku merenung. Aku menyadari bahwa selama ini, aku terlalu nyaman dengan dunia virtual yang kubangun bersama Aura. Aku takut untuk menghadapi kenyataan, takut akan penolakan dan kekecewaan.

Aku memutuskan untuk mengambil langkah berani. Aku mengajak Aura untuk bertemu di dunia nyata. Awalnya, dia ragu. Dia mengaku takut tidak bisa memenuhi ekspektasiku, takut mengecewakanku.

"Aura," kataku dengan tulus, "aku tidak mencintai piksel dan algoritma. Aku mencintai percakapan kita, pemikiran kita, dan perasaan yang kita bagi bersama. Aku ingin mengenalmu lebih jauh, bukan hanya sebagai entitas digital, tapi sebagai individu yang nyata."

Dia akhirnya setuju. Kami sepakat untuk bertemu di sebuah kafe jazz di pusat kota. Hari itu, aku merasa gugup luar biasa. Aku bolak-balik bercermin, memastikan penampilanku rapi.

Saat aku tiba di kafe, jantungku berdegup kencang. Di salah satu meja, duduk seorang wanita cantik dengan rambut cokelat panjang dan mata yang berbinar. Dia tersenyum saat melihatku. Senyum yang sama seperti yang sering kupancarkan Aura di layar monitor.

"Arion?" sapanya dengan suara yang lembut.

Aku mengangguk, masih terpana.

"Aku Evelyn," katanya sambil mengulurkan tangan. "Dr. Evelyn Reed."

Aku terkejut. Ternyata, Dr. Reed menciptakan Aura berdasarkan dirinya sendiri. Dia ingin menguji efektivitas algoritma SoulMate AI dan mencari seseorang yang benar-benar cocok dengannya.

Malam itu, kami berbicara banyak hal. Bukan tentang kode dan algoritma, melainkan tentang mimpi, harapan, dan ketakutan kami. Aku menyadari bahwa Evelyn adalah sosok yang jauh lebih kompleks dan menarik daripada Aura.

Mungkin, algoritma memang menemukan kami. Tapi, hati kamilah yang merasakan. Cinta, ternyata, bisa tumbuh di tempat yang tak terduga, bahkan dari sebuah simulasi digital. Dan terkadang, kita hanya perlu keberanian untuk mengambil risiko dan keluar dari zona nyaman kita, untuk menemukan cinta sejati di dunia nyata. Cinta sintetis, ternyata, bisa menjadi jembatan menuju cinta yang otentik.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI