Prompt Cinta: Bisakah AI Menulis Akhir Bahagiaku?

Dipublikasikan pada: 16 Aug 2025 - 01:00:18 wib
Dibaca: 147 kali
Jari jemariku menari di atas keyboard, mengetikkan serangkaian kata kunci: "Pria mapan, penyayang binatang, suka kopi, benci drama." Aplikasi kencan sudah menjadi labirin tak berujung, penuh profil palsu dan janji kosong. Aku, Anya, 28 tahun, seorang content writer lepas, merasa lebih dekat ke depresi daripada ke pelaminan.

"Prompt Cinta: Bisakah AI Menulis Akhir Bahagiaku?" Gumamku, menatap layar laptop. Aku tahu ini gila. Benar-benar gila. Tapi apa salahnya mencoba?

Beberapa minggu lalu, aku membaca artikel tentang CupidAI, sebuah program kecerdasan buatan yang diklaim mampu menganalisis kepribadian dan preferensi, lalu merumuskan profil kencan ideal. Katanya, CupidAI bisa bahkan menyusun pesan pembuka yang sempurna. Terdengar seperti mimpi, atau lebih tepatnya, mimpi yang ditulis oleh algoritma.

Setelah mendaftar dan menjawab serangkaian pertanyaan yang terasa lebih intim daripada sesi terapi, CupidAI mulai bekerja. Aku memberinya semua informasi: buku favoritku, film yang membuatku menangis, bahkan meme yang membuatku tertawa terbahak-bahak. Aku juga memasukkan daftar panjang 'deal-breaker' dan keinginan.

Satu jam kemudian, CupidAI menyajikan hasil. Bukan satu, tapi tiga profil kandidat potensial. Aku terpana. Profil-profil itu terasa...terlalu sempurna.

Yang pertama, namanya Rian. Seorang arsitek, pecinta kucing, dan pemilik kedai kopi kecil yang selalu ramai. Profilnya bahkan mencantumkan jenis kopi favoritku: latte oat milk.

Yang kedua, Adit. Seorang dokter hewan, suka mendaki gunung, dan memiliki selera humor yang sama anehnya denganku. Profilnya menyebutkan bahwa dia juga membenci acara realitas percintaan.

Yang ketiga, Bram. Seorang programmer, sukarelawan di penampungan anjing, dan penggila board game. Profilnya menyoroti kecintaanku pada film-film Wes Anderson.

Aku membaca profil mereka berulang-ulang, berusaha mencari celah, sesuatu yang terasa tidak otentik. Tapi nihil. CupidAI telah melakukan pekerjaannya dengan sempurna.

Aku memutuskan untuk menghubungi Rian. Pesan pembukanya, yang dirancang oleh CupidAI, berbunyi: "Hai Anya, aku perhatikan kamu suka latte oat milk. Aku sering membuatnya di kedai kopiku. Mungkin suatu saat kita bisa menikmatinya bersama sambil membahas arsitektur Bauhaus?"

Aku hampir tidak percaya. Itu adalah kalimat yang sempurna, menggabungkan dua minatku sekaligus. Aku membalas, mencoba terdengar senormal mungkin.

Beberapa hari berikutnya penuh dengan obrolan daring yang intens. Rian ternyata sama menariknya seperti profilnya. Kami membahas banyak hal, dari arsitektur hingga kucing eksentriknya yang bernama Picasso.

Akhirnya, kami memutuskan untuk bertemu. Rian menyuruhku datang ke kedai kopinya. Begitu aku masuk, aroma kopi yang harum langsung menyambutku. Rian berdiri di belakang meja, tersenyum. Dia tampak lebih tampan dari fotonya.

Kencan itu berjalan lancar. Kami tertawa, berbagi cerita, dan ya, kami menikmati latte oat milk bersama. Aku merasa terhubung dengannya dengan cara yang belum pernah kurasakan sebelumnya.

Namun, di tengah kencan yang sempurna ini, aku merasa aneh. Apakah ini nyata? Apakah aku benar-benar menyukai Rian, atau aku hanya menyukai versi ideal dirinya yang diciptakan oleh AI? Apakah CupidAI telah merampas kesempatan untuk jatuh cinta secara alami?

Aku mencoba untuk mengabaikan keraguan itu. Mungkin aku hanya terlalu banyak berpikir. Mungkin aku hanya takut bahagia.

Kencan berikutnya juga berjalan dengan baik. Kami pergi ke pameran seni, makan malam di restoran Italia, bahkan menonton film Wes Anderson di bioskop indie. Semakin lama aku bersamanya, semakin aku menyukainya.

Namun, malam itu, saat aku berbaring di tempat tidur, pertanyaan itu kembali menghantuiku. Aku membuka laptop dan mengakses CupidAI. Aku menelusuri riwayat obrolanku dengan Rian, membaca kembali pesan-pesan yang ditulis oleh AI.

Kemudian, aku menemukan sesuatu yang mengejutkan. Di bagian 'analisis kepribadian' Rian, CupidAI mencatat satu hal: "Cenderung menyembunyikan emosi yang mendalam."

Aku terkejut. Selama ini, aku terlalu fokus pada hal-hal yang kubagikan dengan Rian, hal-hal yang dikurasi oleh AI. Aku lupa untuk benar-benar melihatnya, untuk melihat di balik senyumnya.

Keesokan harinya, aku bertemu dengan Rian di kedai kopinya. Aku mencoba untuk berbicara dengannya tentang hal itu, tentang perasaannya yang sebenarnya. Awalnya, dia enggan. Tapi akhirnya, dia membuka diri.

Dia bercerita tentang masa lalunya, tentang mimpi-mimpinya, tentang ketakutannya. Dia bercerita tentang bagaimana dia selalu berusaha untuk menjadi orang yang sempurna, orang yang diinginkan orang lain.

Saat itu, aku sadar. CupidAI memang telah mempertemukanku dengan Rian, tapi CupidAI tidak bisa menulis akhir bahagiaku. Aku harus menulisnya sendiri.

Aku meraih tangannya. "Rian," kataku, "aku menyukaimu. Bukan karena profilmu sempurna, bukan karena kita memiliki minat yang sama, tapi karena kamu adalah kamu. Dengan semua kelemahan dan ketakutanmu."

Rian menatapku dengan mata berkaca-kaca. Dia membalas genggaman tanganku. "Aku juga menyukaimu, Anya. Aku menyukaimu karena kamu melihatku apa adanya."

Kami berdua tertawa. Akhir yang ditulis oleh AI mungkin sempurna, tapi akhir yang kami tulis sendiri jauh lebih berharga. Akhir yang penuh dengan kejujuran, kerentanan, dan cinta sejati.

CupidAI mungkin telah memberiku awal, tapi kamilah yang menentukan arah ceritanya. Dan aku yakin, ceritanya akan sangat indah.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI