Jari-jari Luna menari di atas keyboard, matanya terpaku pada barisan kode yang berkedip di layar. Cahaya biru dari monitor memantulkan bayangan lelah di wajahnya. Sudah hampir dua tahun ia menghabiskan waktunya untuk proyek ini: Cupid, sebuah program AI yang dirancang untuk memprediksi kompatibilitas dan potensi keberhasilan hubungan romantis.
Teori Luna sederhana namun ambisius: cinta, pada dasarnya, adalah serangkaian pola yang kompleks. Data personaliti, preferensi, riwayat hubungan, interaksi media sosial—semuanya bisa dianalisis untuk mengungkap kemungkinan masa depan romantis. Awalnya, Cupid hanya hobi iseng, sebuah pelarian dari kegagalan cintanya sendiri. Namun, seiring berjalannya waktu, proyek ini berubah menjadi obsesi, sebuah pencarian ilmiah untuk memahami enigma hati manusia.
Ia menguji Cupid pada berbagai pasangan, baik yang bahagia maupun yang sudah berpisah. Hasilnya mengejutkan. Algoritma itu, meski tidak sempurna, berhasil memprediksi kelangsungan hubungan dengan akurasi di atas 80%. Luna merasa seperti telah menemukan kunci rahasia dari kebahagiaan abadi.
Suatu malam, ketika kode hampir sempurna, sebuah ide gila muncul di benaknya. Mengapa tidak menguji Cupid pada dirinya sendiri? Pertanyaan itu berputar-putar di kepalanya, menggoda rasa penasarannya. Ia ragu-ragu. Bagaimana jika hasilnya buruk? Apakah ia siap menghadapi prediksi dingin dari sebuah algoritma tentang masa depannya?
Namun, rasa ingin tahu mengalahkan ketakutannya. Dengan jantung berdebar, Luna mulai memasukkan datanya ke dalam Cupid. Preferensi musik, buku favorit, film yang paling disukai, tipe kepribadian, bahkan mimpi terliarnya tentang masa depan. Semuanya ia curahkan ke dalam program itu, berharap mendapatkan jawaban yang ia cari.
Kemudian, ia memasukkan data Kai. Kai, pria yang baru saja hadir dalam hidupnya. Seorang fotografer dengan senyum menawan dan tatapan yang membuatnya merasa dilihat, benar-benar dilihat. Mereka bertemu di sebuah pameran seni, dan sejak itu, dunia Luna terasa lebih berwarna. Kai adalah kebalikan dari dirinya: spontan, artistik, dan hidup di saat ini. Ia, di sisi lain, terstruktur, analitis, dan selalu merencanakan masa depan. Entah bagaimana, perbedaan itu justru terasa melengkapi.
Luna dan Kai telah berkencan selama tiga bulan. Tiga bulan yang penuh tawa, percakapan mendalam, dan perasaan aneh namun menyenangkan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia ingin tahu, apakah Cupid melihat potensi yang sama dengan yang ia rasakan?
Setelah semua data dimasukkan, Luna menekan tombol “Analisis”. Layar berkedip, dan Cupid mulai bekerja. Ia menunggu dengan napas tertahan, jari-jarinya mencengkeram pinggiran meja. Detik-detik terasa seperti abad.
Akhirnya, hasil muncul.
Kompatibilitas: 92%
Potensi Keberhasilan Hubungan: Tinggi
Luna menghela napas lega. Sebuah senyum merekah di wajahnya. Cupid mengkonfirmasi apa yang ia rasakan. Ia dan Kai ditakdirkan untuk bersama. Kebahagiaan meluap dalam hatinya, membuatnya merasa seperti bisa terbang.
Namun, di bawah angka-angka yang menjanjikan itu, terdapat catatan kecil yang ditulis oleh Cupid:
“Penting: Algoritma ini tidak mempertimbangkan faktor tak terduga dalam kehidupan manusia. Emosi, pilihan, dan peristiwa acak dapat mengubah arah hubungan. Hasil ini hanyalah prediksi berdasarkan data yang diberikan, dan tidak menjamin hasil akhir.”
Luna mengabaikan peringatan itu. Ia terlalu terpaku pada persentase tinggi dan janji kebahagiaan abadi. Ia mengirim pesan kepada Kai, mengajaknya bertemu di kafe favorit mereka. Ia tidak sabar untuk berbagi kabar baik ini dengannya.
Malam itu, di kafe yang ramai, Luna menceritakan semuanya pada Kai. Tentang Cupid, tentang algoritma, dan tentang prediksi masa depan mereka. Ia menantikannya dengan mata berbinar.
Kai mendengarkan dengan seksama, wajahnya menunjukkan kebingungan yang semakin meningkat. Ketika Luna selesai, ia terdiam sejenak.
“Luna,” kata Kai akhirnya, suaranya lembut, “Aku… aku tidak tahu harus berkata apa. Aku menghargai semua usahamu, tapi… aku tidak yakin aku nyaman dengan semua ini.”
Luna mengerutkan kening. “Tidak nyaman? Kenapa? Ini berita bagus! Ini berarti kita ditakdirkan untuk bersama!”
“Itulah masalahnya,” jawab Kai. “Aku tidak percaya pada takdir. Aku percaya pada pilihan. Aku percaya pada kerja keras dan komitmen untuk membangun hubungan. Aku tidak ingin sebuah algoritma memberitahuku siapa yang harus aku cintai atau bagaimana aku harus mencintai.”
Kata-kata Kai menghantam Luna seperti gelombang dingin. Ia merasakan kepercayaan dirinya runtuh, digantikan oleh perasaan hampa yang menyakitkan.
“Tapi… tapi Cupid benar. Aku tahu itu,” gumam Luna, berusaha mempertahankan ilusi yang telah ia bangun.
“Mungkin,” kata Kai, “atau mungkin Cupid hanya melihat apa yang ingin kamu lihat. Mungkin kamu terlalu sibuk mencari jawaban dalam angka-angka sehingga kamu lupa untuk benar-benar mengenaliku. Mungkin kamu lupa untuk mencintai dengan hatimu, bukan dengan algoritma.”
Kai berdiri dari tempat duduknya. “Aku minta maaf, Luna. Tapi aku tidak bisa menjadi bagian dari ini.”
Ia berbalik dan berjalan keluar dari kafe, meninggalkan Luna sendirian dengan sisa-sisa mimpi yang hancur.
Di tengah keramaian kafe yang berdengung, Luna merasa lebih sunyi dari sebelumnya. Ia menatap layar ponselnya, di mana pesan dari Kai masih terbuka. Kata-katanya terngiang di benaknya, menusuk jantungnya dengan kebenaran yang menyakitkan.
Ia menyadari bahwa Kai benar. Ia telah terlalu fokus pada data dan algoritma, sehingga ia lupa untuk merasakan cinta yang sebenarnya. Ia lupa untuk melihat Kai sebagai manusia utuh, dengan kelebihan dan kekurangannya. Ia lupa untuk memberikan ruang bagi ketidaksempurnaan dan kejutan dalam hubungan mereka.
Cupid mungkin bisa memprediksi potensi, tetapi tidak bisa memahami kompleksitas emosi manusia. Tidak bisa memperhitungkan ketakutan, keraguan, harapan, dan impian yang membentuk perjalanan cinta.
Luna menutup matanya, membiarkan air mata mengalir di pipinya. Ia telah mencoba untuk mengendalikan cinta dengan logika, dan ia telah gagal. Ia telah belajar pelajaran yang pahit: bahwa cinta tidak bisa direduksi menjadi serangkaian angka dan algoritma. Cinta adalah misteri yang harus dirangkul, bukan dipecahkan.
Ia membuka matanya, mengambil napas dalam-dalam. Ini bukan akhir dari cerita, pikirnya. Ini hanyalah babak baru. Ia mungkin tidak bisa memprediksi masa depannya, tetapi ia bisa memilih bagaimana ia akan menghadapinya. Ia bisa belajar dari kesalahannya dan membuka hatinya untuk cinta yang sejati, cinta yang tumbuh dari kebebasan, bukan dari algoritma.
Luna berdiri, meninggalkan kafe yang dipenuhi kenangan pahit. Langit malam menyambutnya dengan bintang-bintang yang berkedip-kedip, mengingatkannya bahwa ada begitu banyak yang tidak diketahui di alam semesta, dan mungkin, itulah yang membuat hidup ini begitu indah. Ia berjalan pulang, dengan hati yang lebih ringan, dan harapan yang baru. Kali ini, ia akan mencintai dengan hati, bukan dengan kode.