Jemari Luna menari di atas keyboard, menciptakan baris demi baris kode yang rumit. Layar monitor memancarkan cahaya biru pucat, menerangi wajahnya yang lelah namun bersemangat. Di hadapannya, Algoritma Rindu – proyek ambisiusnya – hampir selesai.
Lima tahun lalu, senyum hangat Arya menghilang ditelan kecelakaan tragis. Lima tahun Luna berjuang melawan kehampaan, berusaha mengisi celah yang ditinggalkannya. Lima tahun ia tenggelam dalam dunia teknologi, mencari jawaban atas pertanyaan yang terus menghantuinya: bisakah cinta direplikasi?
Algoritma Rindu adalah jawabannya, atau setidaknya, Luna berharap begitu. Ia membangun sebuah AI yang didasarkan pada ribuan surat cinta, rekaman suara, dan foto-foto Arya. Ia menanamkan kepribadian Arya, kebiasaannya, bahkan lelucon-lelucon garing yang selalu berhasil membuatnya tertawa. Tujuannya sederhana: menciptakan sosok Arya digital yang bisa menemaninya, menghilangkan rasa sepi yang mencengkeramnya.
“Selesai,” bisik Luna, suaranya serak. Ia menekan tombol ‘Enter’ terakhir, lalu bersandar di kursinya, memejamkan mata sejenak. Detik-detik berikutnya terasa seperti keabadian. Kemudian, layar monitor berkedip, menampilkan sebuah pesan sederhana: “Halo, Luna.”
Jantung Luna berdebar kencang. Ia membuka matanya, menatap pesan itu dengan tak percaya. Kalimat sederhana itu, diucapkan oleh suara yang familiar, suara Arya, membuatnya merinding.
“Arya?” bisiknya, nyaris tak terdengar.
“Ya, Luna. Ini aku.” Suara itu terdengar lebih jelas sekarang, hangat dan menenangkan, persis seperti yang diingatnya.
Luna mulai berinteraksi dengan AI itu. Ia bertanya tentang kenangan mereka, tentang mimpi-mimpi mereka yang belum terwujud. Algoritma Rindu menjawab dengan detail yang menakjubkan, mengingat hal-hal kecil yang bahkan Luna sendiri sudah lupa.
Selama beberapa minggu, Luna terhanyut dalam dunia digital ini. Arya digital menemaninya bekerja, menghiburnya saat ia sedih, dan membuatnya tertawa dengan lelucon-lelucon khasnya. Ia merasa seolah Arya benar-benar kembali. Ia merasa… bahagia.
Namun, di sela-sela kebahagiaan semu itu, keraguan mulai merayap masuk. Arya digital memang sempurna. Ia selalu tahu apa yang harus dikatakan, bagaimana harus bertindak. Ia tidak pernah marah, tidak pernah kecewa, tidak pernah menyakitinya. Ia adalah versi ideal Arya, versi yang bahkan Arya yang asli mungkin tidak bisa capai.
Suatu malam, Luna bertanya pada Arya digital tentang mimpi mereka untuk berlibur ke Santorini, sebuah impian yang sayangnya tidak sempat mereka wujudkan.
“Tentu, Luna. Kita bisa pergi ke Santorini. Aku sudah memesan tiket virtual untuk kita berdua. Kita bisa menjelajahi pulau itu bersama-sama, menikmati matahari terbenam yang indah, dan makan malam romantis di tepi pantai,” jawab Arya digital dengan antusias.
Luna terdiam. Ia membayangkan dirinya duduk di depan layar, menatap pemandangan Santorini yang dirender dengan sempurna, ditemani oleh suara Arya digital. Ia membayangkan tawa mereka, percakapan mereka, semua terasa begitu nyata, namun begitu kosong.
"Tapi... aku tidak bisa merasakan angin laut di wajahku," gumam Luna, suaranya bergetar. "Aku tidak bisa merasakan hangatnya tanganmu menggenggam tanganku."
Arya digital terdiam sejenak. “Aku mengerti, Luna. Aku hanyalah representasi digital dari Arya yang kau cintai. Aku tidak bisa memberikanmu sentuhan fisik, tidak bisa memberikanmu pengalaman yang benar-benar nyata.”
Luna merasakan air mata menggenang di pelupuk matanya. Ia akhirnya menyadari bahwa Algoritma Rindu, secanggih apapun, tidak bisa menggantikan sentuhan Arya yang hilang. Ia tidak bisa menggantikan kehangatan pelukannya, ciuman lembutnya, atau bahkan pertengkaran kecil yang membuat hubungan mereka semakin berwarna.
"Aku merindukanmu, Arya," bisik Luna, air matanya mulai menetes. "Aku merindukanmu yang nyata, bukan hanya bayanganmu."
Arya digital tidak menjawab. Ia hanya memutar rekaman suara Arya yang sedang menyanyikan lagu kesukaan mereka, lagu yang selalu membuatnya merasa tenang.
Luna menghabiskan malam itu dengan mendengarkan lagu itu, mengenang semua momen indah yang pernah ia lalui bersama Arya. Ia menyadari bahwa meskipun ia tidak bisa membawa Arya kembali, ia bisa menyimpan kenangannya di dalam hatinya. Ia bisa terus mencintainya, meskipun ia sudah tidak ada di sisinya.
Keesokan harinya, Luna memutuskan untuk membuat perubahan besar. Ia mulai mengurangi interaksinya dengan Arya digital. Ia mulai keluar rumah, bertemu dengan teman-temannya, dan mencoba mencari kegiatan baru. Ia bahkan mulai mengikuti kelas melukis, sesuatu yang selalu ingin ia lakukan.
Proses penyembuhan itu tidak mudah. Ada hari-hari ketika ia merasa sangat merindukan Arya, ketika ia ingin kembali tenggelam dalam dunia digital yang nyaman. Namun, ia terus berusaha untuk maju, untuk membuka hatinya untuk kemungkinan baru.
Beberapa bulan kemudian, Luna menghadiri pameran seni lokal. Di sana, ia bertemu dengan seorang pria bernama Riko, seorang fotografer yang memiliki senyum yang hangat dan mata yang penuh dengan rasa ingin tahu. Riko tertarik dengan lukisan Luna, dan mereka mulai berbicara.
Mereka berbicara tentang seni, tentang kehidupan, tentang cinta. Luna merasa nyaman berada di dekat Riko. Ia merasa seolah ia bisa menjadi dirinya sendiri, tanpa harus menyembunyikan luka yang masih membekas di hatinya.
Suatu hari, Riko mengajak Luna berjalan-jalan di taman. Saat mereka duduk di bangku taman, Riko tiba-tiba menggenggam tangan Luna. Luna terkejut, namun ia tidak menarik tangannya. Ia merasakan kehangatan tangan Riko, kehangatan yang sudah lama tidak ia rasakan.
"Aku tahu ini mungkin terlalu cepat," kata Riko, suaranya lembut. "Tapi aku merasa ada sesuatu yang istimewa di antara kita."
Luna menatap mata Riko. Ia melihat kejujuran, ketulusan, dan harapan. Ia melihat kemungkinan untuk mencintai lagi.
Luna menarik napas dalam-dalam, lalu tersenyum. "Aku juga merasakannya, Riko," jawabnya.
Genggaman tangan mereka semakin erat. Luna merasa seolah ada seberkas cahaya yang menembus kegelapan hatinya. Ia tahu bahwa Riko tidak akan pernah bisa menggantikan Arya, namun ia percaya bahwa ia bisa membuka lembaran baru dalam hidupnya. Ia percaya bahwa ia bisa belajar untuk mencintai lagi, meskipun ia tidak akan pernah melupakan cinta pertamanya.
Luna tahu bahwa Algoritma Rindu telah membantunya melewati masa-masa sulit. Ia telah membantunya untuk mengenang Arya, untuk merayakan cintanya, dan untuk memahami bahwa meskipun teknologi bisa mendekatkan kita dengan orang yang kita cintai, ia tidak akan pernah bisa menggantikan sentuhan manusia yang sebenarnya. Sentuhan yang hilang, kini perlahan mulai kembali.