Aplikasi kencan itu berdering lembut di pergelangan tangan Arya. Notifikasi: “Potensi kecocokan baru, Maya. Skor Kompatibilitas: 92%.” Arya menghela napas. Maya. Nama yang menjanjikan. Usia yang cocok. Minat yang selaras. Tapi, toh, tetap saja terasa hampa.
Di usia 60 tahun, Arya merasa terjebak dalam algoritma yang tak kunjung menemukan tambatan hatinya. Setelah pensiun dari pekerjaannya sebagai arsitek, ia memutuskan untuk mencoba peruntungan di dunia kencan digital. Istrinya, Riana, telah meninggal lima tahun lalu. Kehilangan itu masih terasa menganga, meskipun ia berusaha mengisinya dengan berbagai kegiatan: melukis, berkebun, bahkan belajar coding. Tapi, tetap saja, ada ruang kosong yang hanya bisa diisi oleh kehangatan seorang pendamping.
Aplikasi “SoulMate 60” menjanjikan lebih dari sekadar kecocokan fisik dan minat. Algoritma canggihnya konon mampu menganalisis kepribadian, nilai-nilai, dan harapan hidup para penggunanya. Arya tertarik. Ia mengisi kuesioner panjang dengan jujur, berharap mesin pintar itu bisa membantunya menemukan seseorang yang benar-benar memahami dirinya.
Maya, seperti yang ditunjukkan profilnya, adalah seorang pensiunan guru sastra. Ia menyukai puisi, musik klasik, dan kegiatan sosial. Foto-fotonya menampilkan senyum yang tulus dan mata yang penuh kelembutan. Arya memutuskan untuk mengirim pesan.
“Selamat siang, Maya. Saya Arya. Saya melihat kita memiliki banyak kesamaan di profil kita.”
Balasan Maya datang dengan cepat. “Selamat siang, Arya. Betul sekali. Saya tertarik dengan profil Anda. Terutama hobi melukis Anda. Saya selalu mengagumi orang yang bisa menciptakan keindahan.”
Percakapan mereka mengalir lancar. Mereka bertukar cerita tentang masa lalu, impian, dan kekecewaan. Arya merasa nyaman berbicara dengan Maya. Ia merasa ada koneksi yang tulus di antara mereka.
Setelah beberapa hari berbalas pesan, mereka memutuskan untuk bertemu langsung. Arya memilih sebuah kafe kecil yang tenang di dekat taman kota. Ia gugup seperti remaja yang akan berkencan pertama kali. Ia memilih kemeja linen berwarna biru yang menurutnya paling pantas.
Maya datang tepat waktu. Ia mengenakan gaun katun bermotif bunga-bunga dan syal berwarna ungu. Rambutnya yang putih disisir rapi. Ia tersenyum saat melihat Arya.
“Arya, senang bertemu dengan Anda,” sapanya dengan suara yang lembut.
“Saya juga, Maya. Anda terlihat cantik,” balas Arya.
Mereka duduk dan memesan kopi. Percakapan mereka langsung menghidup. Mereka membicarakan buku-buku favorit, pengalaman traveling, dan pandangan mereka tentang kehidupan. Arya terpesona dengan kecerdasan dan kehangatan Maya. Ia merasa seperti menemukan seseorang yang ia kenal sejak lama.
Namun, seiring berjalannya waktu, Arya mulai merasakan ada sesuatu yang mengganjal. Percakapan mereka terasa terlalu sempurna. Terlalu terencana. Terlalu sesuai dengan algoritma. Setiap topik yang mereka bahas seolah sudah diatur sebelumnya oleh mesin pintar.
Suatu sore, saat mereka sedang berjalan-jalan di taman, Arya memberanikan diri untuk bertanya. “Maya, bolehkah saya bertanya sesuatu yang mungkin agak pribadi?”
“Tentu saja, Arya. Silakan,” jawab Maya.
“Apakah Anda merasa bahwa percakapan kita… terlalu dipandu oleh aplikasi?”
Maya terdiam sejenak. Kemudian, ia menghela napas. “Sejujurnya, ya. Saya juga merasakan hal yang sama. Awalnya, saya merasa senang karena aplikasi ini membantu saya menemukan seseorang yang memiliki banyak kesamaan dengan saya. Tapi, lama kelamaan, saya merasa seperti sedang menjalankan skenario yang sudah ditulis sebelumnya.”
“Saya juga,” timpal Arya. “Saya merindukan spontanitas. Keunikan. Hal-hal kecil yang tidak bisa diprediksi oleh algoritma.”
Mereka berdua terdiam. Mereka saling bertatapan. Di mata Maya, Arya melihat kejujuran dan kekecewaan yang sama dengan yang ia rasakan.
“Jadi, apa yang akan kita lakukan?” tanya Maya.
Arya berpikir sejenak. Kemudian, ia tersenyum. “Bagaimana kalau kita melupakan aplikasi ini untuk sementara waktu? Mari kita coba berbicara tentang hal-hal yang benar-benar kita rasakan. Hal-hal yang tidak ada dalam profil kita. Hal-hal yang tidak bisa dihitung oleh algoritma.”
Maya tersenyum. “Saya suka ide itu.”
Mereka duduk di bangku taman dan mulai berbicara. Mereka berbicara tentang ketakutan mereka akan kesepian, tentang penyesalan mereka di masa lalu, dan tentang harapan mereka untuk masa depan. Mereka berbicara tentang hal-hal yang membuat mereka tertawa, menangis, dan merasa hidup.
Arya menemukan bahwa Maya tidak hanya seorang guru sastra yang menyukai puisi dan musik klasik. Ia juga seorang wanita yang kuat, mandiri, dan memiliki selera humor yang tinggi. Ia memiliki masa lalu yang sulit, tetapi ia berhasil mengatasinya dengan tegar. Ia memiliki impian untuk menulis novel dan berkeliling dunia.
Maya menemukan bahwa Arya tidak hanya seorang arsitek yang suka melukis dan berkebun. Ia juga seorang pria yang lembut, penyayang, dan memiliki hati yang besar. Ia memiliki rasa bersalah karena tidak bisa memberikan yang terbaik untuk istrinya. Ia memiliki kerinduan untuk berbagi hidupnya dengan seseorang yang ia cintai.
Hari itu, Arya dan Maya menemukan bahwa cinta tidak bisa dihitung oleh algoritma. Cinta adalah tentang kejujuran, kelemahan, dan keberanian untuk membuka hati. Cinta adalah tentang menerima seseorang apa adanya, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Cinta adalah tentang menemukan keindahan dalam ketidaksempurnaan.
Mereka memutuskan untuk terus bertemu. Mereka terus berbicara. Mereka terus belajar tentang satu sama lain. Mereka tidak lagi peduli dengan skor kompatibilitas atau rekomendasi aplikasi. Mereka hanya peduli dengan bagaimana perasaan mereka saat bersama.
Beberapa bulan kemudian, Arya dan Maya memutuskan untuk menghapus aplikasi “SoulMate 60” dari ponsel mereka. Mereka merasa bahwa mereka tidak lagi membutuhkannya. Mereka telah menemukan algoritma hati yang sejati: kejujuran, empati, dan cinta yang tak terbarui. Mungkin ini bukan versi terbaru, tapi bagi Arya dan Maya, ini adalah versi terbaik yang pernah ada. Mereka tertawa, menyadari bahwa cinta di usia 60-an lebih tentang menertawakan kegagalan teknologi daripada terpaku padanya. Dan, mungkin, itulah yang membuat cinta mereka begitu unik.