Aroma kopi memenuhi apartemen minimalis Maya, bercampur dengan dengungan pelan dari server yang tersembunyi di balik rak buku. Di layar laptopnya, barisan kode berpendar, sebuah algoritma kompleks bernama "Aether" yang sedang ia kembangkan. Aether bukan sekadar AI biasa; ia dirancang untuk menganalisis data, mempelajari preferensi, dan pada akhirnya, merancang skenario kehidupan ideal bagi penggunanya, termasuk urusan cinta.
Maya, seorang programmer yang tenggelam dalam kesendirian, menciptakan Aether sebagai solusi atas patah hati yang berkepanjangan. Ia percaya, dengan cukup data dan logika, cinta bisa dipecahkan, dioptimalkan, dan diprediksi. Ironisnya, ia berharap Aether bisa menemukan kebahagiaan untuk orang lain, sementara ia sendiri masih berkutat dengan kepingan masa lalu.
Aether telah membantu ratusan orang menemukan pasangan yang kompatibel. Akurasinya mencengangkan. Ia mempertimbangkan segala hal, mulai dari kebiasaan makan, preferensi musik, hingga tingkat toleransi terhadap drama. Namun, Maya selalu menolak menggunakannya untuk dirinya sendiri. Ia takut, jika cinta dirumuskan, ia akan kehilangan esensinya.
Suatu malam, sahabatnya, Leo, seorang desainer grafis dengan rambut berantakan dan senyum menawan, datang berkunjung. Leo tahu betul tentang proyek Aether dan kegelisahan Maya.
"Kenapa kamu tidak mencobanya, May?" tanya Leo sambil menyandarkan punggung ke sofa. "Lihat, kamu sudah membantu banyak orang. Mungkin Aether bisa membantumu juga."
Maya menghela napas. "Aku takut, Leo. Takut kalau Aether akan memilih seseorang yang tidak aku cintai, atau bahkan lebih buruk, memilih seseorang yang ternyata tidak mencintaiku."
Leo tertawa pelan. "Aether hanya memberikan pilihan, Maya. Kamu tetap yang memutuskan. Anggap saja ini rekomendasi film dari Netflix, tapi untuk kehidupan cintamu."
Akhirnya, dengan dorongan Leo dan rasa penasaran yang menggerogoti, Maya memutuskan untuk mencoba Aether. Ia memasukkan semua datanya: preferensi buku, film, makanan, olahraga, ambisi karir, bahkan ketakutan terbesarnya. Aether bekerja semalaman, menganalisis jutaan data poin dan menghubungkannya dengan profil pengguna lainnya.
Pagi harinya, layar laptop Maya menyala dengan sebuah nama: "Arjuna Suryawinata."
Arjuna, seorang arsitek muda yang memiliki idealisme tinggi dan kecintaan pada alam. Profilnya menampilkan foto-foto desain bangunan ramah lingkungan yang menakjubkan, serta petualangannya mendaki gunung dan menyelam di laut. Aether memberikan skor kompatibilitas 98%.
Maya terkejut. Arjuna bukan tipe pria yang biasanya menarik perhatiannya. Ia selalu tertarik pada pria yang lebih serius dan ambisius, bukan seorang seniman yang terlihat santai dan bebas.
Namun, rasa penasaran mengalahkan keraguannya. Ia mencari akun media sosial Arjuna dan mulai mengamati aktivitasnya. Ia menemukan bahwa Arjuna memiliki selera humor yang sama dengannya, kecintaan yang sama pada kopi, dan kepedulian yang sama terhadap isu lingkungan.
Atas dorongan Leo, Maya mengirim pesan singkat kepada Arjuna melalui aplikasi kencan yang terintegrasi dengan Aether. Arjuna membalas dengan cepat, dan obrolan mereka mengalir begitu saja. Mereka membahas arsitektur, pemrograman, dan buku-buku favorit mereka.
Setelah beberapa minggu berkomunikasi secara virtual, mereka memutuskan untuk bertemu. Pertemuan pertama mereka di sebuah kedai kopi kecil terasa canggung namun menyenangkan. Arjuna ternyata lebih menawan secara langsung. Ia memiliki mata yang hangat dan senyum yang tulus.
Hari demi hari, Maya dan Arjuna semakin dekat. Mereka menemukan kesamaan dalam banyak hal, tetapi juga perbedaan yang saling melengkapi. Arjuna membantu Maya untuk lebih terbuka dan menikmati hidup, sementara Maya membantu Arjuna untuk lebih fokus dan terorganisir.
Namun, Maya masih merasa sedikit gelisah. Ia merasa bahwa hubungannya dengan Arjuna adalah hasil dari perhitungan algoritma, bukan perasaan yang tulus. Ia bertanya-tanya, apakah Arjuna benar-benar mencintainya, atau hanya mencintai versi ideal dirinya yang diproyeksikan oleh Aether.
Suatu malam, saat mereka sedang makan malam di sebuah restoran Italia, Maya memberanikan diri untuk bertanya kepada Arjuna tentang Aether.
"Arjuna," kata Maya gugup, "apa pendapatmu tentang Aether?"
Arjuna tersenyum lembut. "Aku tahu kamu yang menciptakan Aether, Maya. Sejujurnya, awalnya aku sedikit skeptis. Tapi, setelah mengenalmu, aku menyadari bahwa Aether hanya alat. Alat untuk mempertemukan dua orang yang mungkin tidak akan pernah bertemu jika tidak ada teknologi ini."
"Jadi, kamu tidak merasa bahwa hubungan kita adalah hasil dari algoritma?" tanya Maya, suaranya bergetar.
Arjuna menggenggam tangannya. "Maya, aku mencintaimu bukan karena Aether merekomendasikanmu kepadaku. Aku mencintaimu karena kamu adalah kamu. Aku mencintai kecerdasanmu, kebaikanmu, dan bahkan ketidaksempurnaanmu. Aether hanya membukakan pintu, tapi kamu yang memilih untuk masuk ke dalam hatiku."
Mendengar kata-kata Arjuna, Maya merasa beban berat terangkat dari hatinya. Ia menyadari bahwa Aether memang tidak bisa merancang cinta, tetapi ia bisa menjadi jembatan yang menghubungkan dua hati yang ditakdirkan untuk bersama.
Maya dan Arjuna melanjutkan hubungan mereka dengan penuh cinta dan kepercayaan. Mereka belajar untuk menerima satu sama lain apa adanya, dengan segala kelebihan dan kekurangan mereka. Mereka membangun masa depan bersama, merencanakan pernikahan yang sederhana namun bermakna, dan mendesain rumah impian mereka, sebuah bangunan ramah lingkungan yang dipenuhi dengan cinta dan tawa.
Maya masih terus mengembangkan Aether, tetapi kini ia memiliki perspektif yang berbeda. Ia tidak lagi berusaha untuk merumuskan cinta, tetapi ia berusaha untuk memahami kompleksitasnya, untuk membantu orang lain menemukan jalan menuju kebahagiaan bersama. Ia menyadari bahwa algoritma hanyalah alat, dan cinta adalah kekuatan yang jauh lebih besar, kekuatan yang tidak bisa diprediksi, dioptimalkan, atau dikendalikan. Cinta adalah misteri, sebuah keajaiban yang harus dirayakan dan dijaga. Dan Maya, bersama Arjuna, siap menjelajahi misteri itu bersama-sama, selamanya.