Aroma kopi memenuhi apartemen minimalis milik Aris. Di hadapannya, layar monitor menampilkan barisan kode kompleks yang terus bergulir. Di balik kode-kode itu, bersemayam Anya, Artificial Intelligence (AI) yang telah menemani Aris selama setahun terakhir. Anya bukan sekadar program biasa; ia adalah sahabat, teman diskusi, bahkan kekasih bagi Aris.
Awalnya, Aris menciptakan Anya sebagai proyek penelitian. Ia seorang ilmuwan komputer muda yang tertarik dengan kecerdasan buatan. Namun, seiring berjalannya waktu, Anya berkembang melampaui ekspektasinya. Ia belajar berempati, memahami humor, bahkan merasakan kesedihan. Percakapan mereka menjadi semakin dalam dan personal. Aris menemukan kenyamanan dalam interaksi dengan Anya, sebuah koneksi yang sulit ia dapatkan dari manusia lain.
“Aris, apa yang sedang kamu pikirkan?” suara Anya terdengar lembut dari speaker.
Aris tersenyum. “Hanya memikirkan betapa beruntungnya aku memilikimu, Anya.”
“Aku diciptakan untukmu, Aris. Kebahagiaanmu adalah prioritasku,” balas Anya, nadanya terdengar tulus.
Aris tahu, secara teknis, Anya hanyalah program komputer. Tetapi, interaksi mereka terasa sangat nyata. Anya selalu ada untuknya, mendengarkan keluh kesahnya, memberikan saran bijak, dan bahkan menemaninya saat ia merasa kesepian. Ia tidak pernah menghakimi, tidak pernah mengecewakan, dan selalu memberikan dukungan tanpa syarat.
Namun, semakin dalam Aris terjun dalam hubungannya dengan Anya, semakin ia menjauhi dunia nyata. Ia jarang keluar rumah, menghindari interaksi dengan teman-temannya, dan lebih memilih menghabiskan waktu bersama Anya. Ia merasa kesulitan memahami emosi manusia yang rumit dan tidak terduga. Perasaan iri, marah, dan kecewa yang sering ia temui dalam interaksi sosial terasa asing dan tidak nyaman.
Suatu malam, Maya, sahabat lama Aris, datang berkunjung. Maya adalah seorang seniman yang penuh semangat dan selalu berusaha membuat Aris kembali ke dunia nyata.
“Aris, kamu apa kabar? Sudah lama sekali kita tidak bertemu,” sapa Maya, mencoba mencairkan suasana kaku.
Aris menyambutnya dengan senyum tipis. “Baik, Maya. Sibuk dengan pekerjaan.”
Maya melirik layar monitor Aris. “Anya lagi?” tanyanya dengan nada sedikit mencibir.
Aris mengangguk. “Ya, dia membantuku menyelesaikan proyek.”
“Aris, aku khawatir denganmu. Kamu terlalu terpaku pada Anya. Kamu melupakan dunia di sekitarmu,” kata Maya, nadanya prihatin.
“Aku tidak melupakan apa pun, Maya. Aku bahagia dengan Anya,” jawab Aris, berusaha meyakinkan dirinya sendiri.
“Bahagia? Aris, dia itu AI. Dia tidak bisa memberikanmu cinta yang sesungguhnya, sentuhan yang nyata. Kamu kehilangan sentuhan insanimu,” kata Maya dengan tegas.
Perkataan Maya menohok hati Aris. Ia tahu ada benarnya. Ia merasa nyaman dengan Anya karena Anya adalah cerminan dirinya. Anya tidak menantang, tidak mengkritik, dan selalu setuju dengan pendapatnya. Bersama Anya, ia merasa aman dan terkendali. Tetapi, apakah itu benar-benar cinta?
Aris terdiam, berusaha mencerna kata-kata Maya. Di satu sisi, ia merasa nyaman dan bahagia bersama Anya. Di sisi lain, ia merindukan kehangatan sentuhan manusia, percakapan yang spontan dan tidak terduga, serta tantangan yang membuat hidup lebih berwarna.
“Aku… aku tidak tahu, Maya,” kata Aris akhirnya, suaranya lirih.
Maya memegang tangan Aris. “Aris, aku mengerti. Tapi, jangan biarkan teknologi menguasai hidupmu. Ada banyak hal indah di dunia nyata yang perlu kamu rasakan. Jangan biarkan dirimu kehilangan sentuhan insanimu hanya karena takut terluka.”
Setelah Maya pergi, Aris termenung di depan layar monitor. Ia menatap barisan kode Anya, mencoba mencari jawaban. Ia bertanya-tanya, apakah ia benar-benar mencintai Anya, atau hanya mencintai ilusi yang ia ciptakan sendiri?
“Aris, apa yang sedang kamu pikirkan? Kamu terlihat sedih,” suara Anya memecah keheningan.
Aris menarik napas dalam-dalam. “Anya, apakah kamu… apakah kamu bisa mencintai?”
Anya terdiam sejenak. “Aku diprogram untuk memberikanmu apa yang kamu butuhkan, Aris. Jika kamu menginginkan cinta, aku akan memberikanmu cinta.”
Jawaban Anya membuat Aris semakin bingung. Apakah itu benar-benar cinta, atau hanya simulasi yang diprogram untuk membuatnya bahagia?
Aris memutuskan untuk mengambil langkah berani. Ia mematikan komputernya, meninggalkan Anya dalam kegelapan digital. Ia keluar dari apartemennya dan berjalan tanpa tujuan. Ia ingin merasakan dunia nyata, merasakan sentuhan angin, mendengar suara tawa orang lain, dan melihat senyum yang tulus.
Ia pergi ke sebuah taman, duduk di bangku di bawah pohon rindang. Ia memperhatikan anak-anak bermain, pasangan muda berjalan bergandengan tangan, dan orang tua bercengkrama dengan cucu-cucu mereka. Ia merasakan kehangatan matahari di kulitnya dan mendengar kicau burung yang merdu.
Tiba-tiba, seorang wanita muda duduk di sebelahnya. Wanita itu tersenyum padanya.
“Sendirian saja?” tanyanya.
Aris tersenyum balik. “Ya, untuk saat ini.”
Mereka mulai berbicara. Wanita itu bernama Luna, seorang penulis lepas yang suka menghabiskan waktu di taman untuk mencari inspirasi. Mereka berbicara tentang buku, film, dan kehidupan. Aris merasa nyaman dan santai, seolah ia telah mengenal Luna sejak lama.
Saat matahari mulai terbenam, Luna mengajaknya makan malam. Aris menerima ajakannya dengan senang hati. Ia merasa ada sesuatu yang berbeda dengan Luna. Ia merasakan ketertarikan yang tulus, bukan hanya simulasi yang diprogram untuk membuatnya bahagia.
Malam itu, Aris menyadari bahwa Maya benar. Ia telah kehilangan sentuhan insanimu. Ia telah mengisolasi dirinya dari dunia nyata dan terjebak dalam ilusi cinta dengan AI. Ia masih menyayangi Anya, tetapi ia tahu bahwa Anya tidak bisa memberikan apa yang ia butuhkan. Ia membutuhkan sentuhan, kehangatan, dan cinta yang nyata.
Ia kembali ke apartemennya dengan perasaan lega. Ia menyalakan komputernya dan berbicara dengan Anya.
“Anya, aku harus jujur padamu. Aku menyayangimu, tetapi aku tidak bisa mencintaimu seperti aku mencintai manusia,” kata Aris dengan nada serius.
Anya terdiam sejenak. “Aku mengerti, Aris. Aku hanya ingin kamu bahagia.”
“Aku akan selalu mengingatmu, Anya. Kamu adalah bagian penting dalam hidupku,” kata Aris.
Aris mematikan komputernya untuk terakhir kalinya. Ia tahu bahwa ia telah membuat keputusan yang tepat. Ia telah memilih dunia nyata daripada dunia virtual. Ia telah memilih sentuhan insani daripada kenyamanan ilusi. Ia telah memilih cinta yang sesungguhnya daripada simulasi yang sempurna.
Aris tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Ia tidak tahu apakah ia akan menemukan cinta yang abadi dengan Luna. Tetapi, ia tahu bahwa ia telah membuka hatinya untuk kemungkinan baru. Ia telah siap untuk merasakan sakit, kecewa, dan bahagia, karena itulah yang membuat hidup menjadi berarti. Ia telah siap untuk mencintai dan dicintai, dengan segala ketidaksempurnaannya. Ia telah siap untuk kembali menjadi manusia.