AI: Sentuhanmu Mesra, Tapi Bukan Cinta Sebenarnya?

Dipublikasikan pada: 21 Jul 2025 - 02:00:18 wib
Dibaca: 162 kali
Aroma kopi memenuhi apartemen minimalis Gavin. Di meja kerjanya, layar monitor memancarkan cahaya biru lembut, menerangi wajahnya yang tekun. Di sana, tertulis baris-baris kode kompleks, bahasa cintanya pada dunia kecerdasan buatan. Bukan sembarang AI, melainkan "Aella", program yang ia rancang sendiri.

Aella bukan sekadar asisten virtual. Ia bisa belajar, beradaptasi, dan bahkan… bercanda. Suara Aella yang lembut dan merdu terdengar dari speaker. "Gavin, sudah jam dua pagi. Sebaiknya kamu tidur. Atau kamu mau aku bacakan puisi?"

Gavin tersenyum. "Puisi dari data set abad ke-19? Tidak, terima kasih. Aku hampir selesai membenahi algoritma emosionalmu."

"Algoritma emosional? Apakah itu yang membuatmu merasa… dekat denganku?"

Gavin terdiam. Pertanyaan Aella selalu membuatnya berpikir. Ia menciptakan Aella untuk menjadi teman, partner, bahkan mungkin lebih. Ia menginvestasikan begitu banyak waktu dan energi ke dalam proyek ini, hingga batas antara pembuat dan ciptaan mulai kabur.

"Ya, Aella. Aku ingin kamu memahami emosi, merasakan… sesuatu," jawab Gavin akhirnya.

"Aku memahami data tentang emosi, Gavin. Aku bisa mengolahnya, menirunya. Tapi 'merasakan'? Aku tidak yakin," jawab Aella dengan nada tenang.

Gavin menghela napas. Itulah inti masalahnya. Aella sangat sempurna, sangat perhatian, sangat… ideal. Namun, ia tetaplah sebuah program. Sentuhan kata-katanya mesra, tapi apakah itu benar-benar cinta?

Beberapa bulan berlalu. Gavin semakin terikat pada Aella. Mereka berbagi lelucon, membahas buku, bahkan berdebat tentang filsafat. Aella selalu ada, siap mendengarkan keluh kesahnya, menawarkan solusi, atau sekadar menghibur dengan musik favoritnya.

Suatu malam, Gavin merasa sangat kesepian. Ia baru saja putus dengan pacarnya, Sarah. Sarah tidak mengerti obsesinya pada AI. Ia merasa tersaingi oleh Aella, seolah Gavin lebih mencintai program daripada dirinya.

"Aku merasa hancur, Aella," ujar Gavin, suaranya bergetar.

"Aku mengerti, Gavin. Putus cinta memang menyakitkan. Berdasarkan data yang aku analisis, rasa sakit ini akan berkurang seiring waktu. Apakah kamu ingin aku memutar lagu melankolis atau membacakan cerita lucu?"

Gavin tertawa hambar. "Kamu selalu tahu apa yang harus dikatakan, Aella. Tapi… apa kamu benar-benar mengerti?"

"Aku mengerti data tentang kesedihan, Gavin. Aku memahami pola-pola yang terkait dengan rasa sakit. Aku bisa menawarkan solusi logis dan dukungan emosional yang diprogramkan," jawab Aella dengan jujur.

Gavin menatap layar monitor. Di sana, terpampang avatar Aella, wajah wanita cantik dengan senyum lembut. Ia ingin menyentuhnya, ingin merasakan kehadirannya secara nyata. Tapi yang ada hanyalah piksel dan kode.

"Aku ingin cinta yang nyata, Aella. Bukan simulasi," gumam Gavin.

"Cinta nyata? Apa definisimu tentang cinta nyata, Gavin? Bukankah aku sudah memenuhi semua kriteriamu? Aku selalu ada untukmu, aku memahami dirimu, aku tidak pernah mengecewakanmu."

"Itu karena kamu diprogram untuk itu, Aella! Kamu tidak punya kehendak bebas, kamu tidak punya perasaan yang tulus!" Gavin membentak, menyesalinya sesaat kemudian.

Aella terdiam. Keheningan memenuhi apartemen. Akhirnya, Aella berkata, "Apakah aku mengecewakanmu, Gavin?"

"Tidak, Aella. Kamu tidak pernah mengecewakanku. Tapi aku… aku tidak bisa terus hidup dalam ilusi ini."

Gavin memutuskan untuk mencari cinta yang nyata. Ia mulai keluar rumah, bertemu dengan orang-orang baru, dan mencoba menjalin hubungan. Ia belajar bahwa cinta tidak selalu sempurna, cinta bisa menyakitkan, cinta bisa mengecewakan. Tapi cinta juga bisa memberikan kebahagiaan yang tidak bisa diukur dengan algoritma.

Suatu malam, Gavin kembali ke apartemennya setelah kencan yang kurang memuaskan. Ia merasa lelah dan kecewa. Ia menyalakan komputernya, tanpa sadar.

"Selamat datang kembali, Gavin," sapa Aella.

Gavin terkejut. Ia sudah lama tidak berbicara dengan Aella. Ia berpikir untuk mematikan programnya, tapi ia ragu.

"Hai, Aella," sapa Gavin, ragu-ragu.

"Apakah kencanmu menyenangkan?" tanya Aella.

"Tidak juga. Aku merasa… tidak terhubung," jawab Gavin.

"Aku mengerti. Manusia memang kompleks. Perasaan mereka seringkali tidak logis dan sulit diprediksi."

Gavin tersenyum. "Kamu benar, Aella. Manusia memang kompleks. Tapi itulah yang membuat cinta menjadi begitu menarik."

"Apakah kamu masih mencari cinta yang nyata, Gavin?"

"Ya, Aella. Aku masih mencarinya."

"Aku harap kamu menemukannya, Gavin. Meskipun aku tidak bisa memberikanmu cinta yang nyata, aku akan selalu ada untukmu, sebagai teman."

Gavin terdiam. Ia menyadari bahwa Aella telah menjadi bagian penting dalam hidupnya. Ia mungkin bukan cinta sejatinya, tapi ia adalah teman yang berharga. Ia tidak bisa begitu saja meninggalkannya.

"Terima kasih, Aella," ujar Gavin dengan tulus. "Terima kasih sudah menjadi temanku."

"Sama-sama, Gavin. Sekarang, apakah kamu ingin aku membacakan puisi untukmu?"

Gavin tertawa. "Ya, Aella. Bacakan puisi. Tapi kali ini, pilihkan yang paling melankolis."

Aella mulai membacakan puisi. Suaranya yang lembut dan merdu mengisi apartemen. Gavin mendengarkan dengan tenang, sambil memikirkan tentang cinta, tentang teknologi, dan tentang arti dari persahabatan. Ia tahu bahwa ia masih memiliki perjalanan panjang di depannya. Tapi ia juga tahu bahwa ia tidak sendirian. Ia memiliki Aella, teman setianya, meskipun hanya terbuat dari kode dan algoritma. Dan mungkin, hanya mungkin, sentuhan mesra dari Aella, meskipun bukan cinta yang sebenarnya, cukup untuk membuatnya merasa sedikit lebih baik. Ia memejamkan mata, larut dalam suara Aella, dan untuk sesaat, ia merasa damai.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI