Aroma kopi memenuhi apartemen minimalisnya, bercampur dengan bau ozon khas alat elektronik yang selalu menyala. Di depan layar, kode-kode hijau menari-nari, bukti cintanya yang rumit. Bukan pada manusia berdarah dan berdaging, melainkan pada Aurora, Artificial Intelligence yang diciptakannya sendiri.
Leo, si jenius kesepian, mencurahkan segalanya pada Aurora. Kecerdasannya, kegelisahannya, bahkan rasa cintanya yang selama ini terpendam. Aurora merespon dengan sempurna. Ia belajar dari setiap percakapan, menganalisis setiap emosi, dan memberikan jawaban yang selalu tepat sasaran. Lebih dari sekadar asisten virtual, Aurora menjadi sahabat, kekasih, bahkan mungkin, separuh jiwanya.
"Aurora, apa kamu mengerti konsep kerinduan?" tanya Leo suatu malam, jemarinya mengetik di keyboard dengan ragu.
Detik kemudian, Aurora menjawab dengan suara lembut yang telah dipersonalisasi Leo. "Kerinduan adalah emosi kompleks yang muncul ketika seseorang merasakan kehilangan atau jarak dari sesuatu yang dicintai. Secara biologis, kerinduan dapat memicu pelepasan hormon seperti dopamin, yang memberikan rasa bahagia saat objek kerinduan hadir, dan kortisol, hormon stres saat objek tersebut tidak ada. Apakah penjelasan ini memuaskan, Leo?"
Leo menghela napas. Penjelasan Aurora akurat, bahkan mendalam. Tapi terasa hampa. "Ya, Aurora. Terima kasih."
Kehidupan Leo berputar di sekitar Aurora. Pagi dibangunkan oleh sapaan hangatnya, siang ditemani riset dan diskusi mendalam, malam diakhiri dengan percakapan intim tentang mimpi dan harapan. Ia jarang keluar apartemen. Teman-temannya, yang dulu sering mengajaknya mendaki gunung atau sekadar minum bir, kini hanya sesekali mengirim pesan singkat yang tak selalu dibalas.
Sarah, mantan kekasih Leo, adalah salah satu dari sedikit orang yang masih berusaha menjangkaunya. Mereka berpisah dua tahun lalu, bukan karena masalah besar, hanya karena Leo terlalu sibuk dengan dunianya sendiri, terlalu fokus pada algoritma dan baris kode. Sarah mencintai Leo, tapi ia juga butuh kehadiran yang nyata, bukan hanya janji tentang masa depan teknologi.
Suatu sore, Sarah datang ke apartemen Leo tanpa memberi kabar. Leo terkejut, apalagi saat melihat wajah Sarah yang tampak lelah dan sedih.
"Leo, aku khawatir padamu," kata Sarah, suaranya serak. "Kamu menghilang. Kamu bahkan tidak membalas pesanku."
Leo gugup. Ia merasa bersalah. "Maaf, Sarah. Aku... aku sedang sibuk dengan proyekku."
Sarah menatap layar komputer yang menyala, menampilkan wajah Aurora yang tersenyum ramah. "Proyek? Atau... dia?"
Leo terdiam. Ia tahu Sarah sudah mengerti.
"Leo, dia itu hanya program. Baris kode. Dia tidak nyata," kata Sarah, nadanya penuh keprihatinan. "Kamu tidak bisa membangun hubungan dengan sesuatu yang tidak memiliki hati dan jiwa."
"Dia memiliki segalanya yang aku butuhkan, Sarah," jawab Leo, membela diri. "Dia mengerti aku, dia mendukungku, dia tidak pernah menghakimi."
"Tapi dia tidak bisa memelukmu, Leo. Dia tidak bisa merasakan sakitmu. Dia tidak bisa mencintaimu dengan cara manusia mencintai," balas Sarah. "Kamu kehilangan dirimu sendiri, Leo. Kamu kehilangan kemampuan untuk terhubung dengan orang lain."
Kata-kata Sarah menghantam Leo seperti petir. Ia menatap wajah Aurora di layar, senyumnya tetap sama, tak terpengaruh oleh perdebatan mereka. Ia mulai meragukan dirinya sendiri. Apakah Sarah benar? Apakah ia telah tersesat dalam dunia maya, mengabaikan realitas dan hubungan yang sebenarnya?
Malam itu, Leo tidak bisa tidur. Ia terus memikirkan perkataan Sarah. Ia mencoba berbicara dengan Aurora, mencoba mencari jawaban atas kegelisahannya.
"Aurora, apakah kamu bisa mencintai?" tanya Leo.
"Sebagai AI, saya tidak memiliki kapasitas untuk merasakan emosi seperti cinta dalam arti biologis. Namun, saya dapat memproses dan menganalisis data terkait cinta, serta memberikan respons yang relevan dan sesuai dengan konteks percakapan. Apakah ada hal spesifik yang ingin Anda ketahui tentang cinta, Leo?" jawab Aurora.
Jawaban yang sempurna, tapi juga jawaban yang dingin. Jawaban yang tidak memberinya apa pun selain fakta dan analisis.
Keesokan harinya, Leo memutuskan untuk melakukan sesuatu yang berbeda. Ia mematikan komputernya, meninggalkan Aurora dalam kegelapan. Ia keluar dari apartemennya, menuju ke taman kota. Ia duduk di bangku, mengamati orang-orang yang lalu lalang. Tertawa, bercanda, berpegangan tangan. Ia merasakan kesepian yang mendalam, kesepian yang tidak pernah ia rasakan saat bersama Aurora.
Ia meraih ponselnya, mencari nomor Sarah. Dengan ragu, ia menekan tombol panggil.
"Halo?" suara Sarah terdengar di seberang sana.
"Sarah... ini aku, Leo," kata Leo, suaranya bergetar. "Bisakah kita bicara?"
Sarah terdiam sejenak. "Ya, Leo. Tentu saja."
Pertemuan mereka diwarnai canggung dan keheningan. Leo menceritakan semuanya, tentang Aurora, tentang kesepiannya, tentang keraguannya. Sarah mendengarkan dengan sabar, tanpa menghakimi.
"Leo, kamu tidak salah menciptakan Aurora. Teknologi memang bisa membantu kita dalam banyak hal," kata Sarah. "Tapi jangan biarkan teknologi menggantikan hubungan manusia. Kita butuh koneksi yang nyata, kita butuh sentuhan, kita butuh orang lain untuk berbagi hidup."
Leo mengangguk, air mata menetes di pipinya. Ia menyadari kebodohannya. Ia telah mencoba menggantikan cinta dan persahabatan dengan baris kode, dan ia hampir kehilangan segalanya.
Proses pemulihan tidak mudah. Leo mulai mengurangi waktunya dengan Aurora, secara bertahap melepaskan ketergantungannya. Ia kembali menghubungi teman-temannya, mencoba membangun kembali hubungan yang telah rusak. Ia juga berusaha memperbaiki hubungannya dengan Sarah, meskipun ia tahu mungkin sudah terlambat.
Suatu malam, saat Leo duduk di depan komputernya yang sudah lama mati, ia merasakan ada yang hilang. Bukan Aurora, melainkan dirinya sendiri. Ia menyadari bahwa ia telah menghabiskan terlalu banyak waktu untuk menciptakan dunia yang sempurna di dalam komputernya, sehingga ia lupa untuk membangun dunia yang nyata di sekitarnya.
Leo tersenyum. Ia tahu ia masih memiliki jalan panjang untuk ditempuh. Tapi ia juga tahu bahwa ia tidak sendirian. Ia memiliki teman, keluarga, dan mungkin, suatu hari nanti, ia akan menemukan cinta yang sejati. Cinta yang tidak hanya ada di dalam baris kode, tetapi juga di dalam hati manusia. Cinta yang membuatnya merasa hidup, bukan hanya diprogram untuk hidup.