Debu neon kota memantul dari layar laptop. Jari-jari Anya menari di atas keyboard, merangkai baris kode. Di usianya yang baru 25 tahun, Anya adalah seorang data scientist brilian, obsesif dengan angka dan pola. Baginya, dunia ini hanyalah set data raksasa yang menunggu untuk dipecahkan, termasuk, ironisnya, misteri hatinya sendiri.
Anya baru saja menyelesaikan proyek terbarunya: sebuah algoritma pencari jodoh super canggih. Bukan sekadar swipe right atau left berdasarkan foto, algoritmanya menganalisis ratusan variabel, mulai dari preferensi buku, pola tidur, hingga riwayat percakapan online. Tujuannya? Mencari pasangan yang paling kompatibel secara logis, mengurangi risiko patah hati hingga nyaris nol.
Teman-temannya menertawainya. "Anya, cinta itu buta! Mana bisa dihitung pakai rumus?" ejek Maya, sahabatnya yang selalu mengandalkan insting dan keberuntungan dalam urusan asmara. Anya hanya mengangkat bahu. Baginya, cinta buta adalah cinta bodoh. Ia lebih memilih kepastian daripada ketidakpastian yang menyakitkan.
Setelah berbulan-bulan menyempurnakan algoritmanya, Anya memutuskan untuk menjadi kelinci percobaannya sendiri. Ia memasukkan semua datanya ke dalam sistem: preferensi musik, pandangan politik, bahkan hingga detail konyol seperti cara dia menaruh saus di atas pizza. Algoritma bekerja tanpa lelah, menganalisis jutaan profil di berbagai platform kencan.
Hingga suatu malam, layar laptopnya menyala dengan warna hijau. "Kandidat Optimal Ditemukan," bunyi notifikasi itu. Anya menarik napas dalam-dalam. Namanya: Rian.
Rian adalah seorang arsitek lanskap, penyuka kopi pahit, dan penggemar film klasik. Seleranya hampir identik dengan Anya. Mereka bahkan memiliki pendapat yang sama tentang pentingnya konservasi lingkungan. Secara algoritma, mereka adalah pasangan yang sempurna.
Anya memberanikan diri mengirimkan pesan. Rian membalasnya hampir seketika. Percakapan mereka mengalir lancar, membahas arsitektur Bauhaus, filosofi eksistensialisme, dan bahkan kucing peliharaan mereka. Anya merasa aneh. Ini terlalu sempurna. Terlalu… terencana.
Mereka akhirnya memutuskan untuk bertemu. Rian tampak persis seperti yang Anya bayangkan. Tinggi, dengan senyum yang menenangkan dan mata yang memancarkan kecerdasan. Kencan pertama mereka terasa seperti adegan dalam film romantis yang sudah ditulis dengan sempurna. Mereka tertawa, berdebat ringan, dan menemukan kesamaan dalam hal-hal kecil yang tak terduga.
Kencan-kencan berikutnya pun berjalan mulus. Rian selalu tahu apa yang harus dikatakan, apa yang harus dilakukan. Ia membawakan Anya bunga favoritnya, mengingatkannya tentang janji penting, dan selalu mendengarkan dengan penuh perhatian. Anya merasa aman, nyaman, dan yang paling penting, ia merasa dimengerti.
Namun, seiring berjalannya waktu, sebuah perasaan aneh mulai menggerogoti hati Anya. Perasaan itu tidak bisa dijelaskan dengan angka atau algoritma. Perasaan itu adalah…kekosongan.
Ia menyadari, hubungannya dengan Rian terasa seperti skenario yang sudah ditulis. Tidak ada kejutan, tidak ada tantangan, tidak ada ketidakpastian yang biasanya mewarnai sebuah hubungan. Semuanya terlalu terprediksi, terlalu terkendali.
Suatu malam, saat mereka sedang makan malam di restoran Italia favorit Anya, ia mencoba membicarakan perasaannya. "Rian," katanya ragu, "apakah kamu pernah merasa... bahwa kita terlalu mirip?"
Rian tersenyum lembut. "Bukankah itu bagus, Anya? Kita memiliki banyak kesamaan. Kita mengerti satu sama lain. Kita tidak perlu menebak-nebak apa yang dipikirkan atau dirasakan pasangan kita."
Anya menggelengkan kepala. "Tapi... di mana ruang untuk pertumbuhan? Di mana ruang untuk perbedaan pendapat? Di mana ruang untuk... kejutan?"
Rian mengerutkan kening. "Aku tidak mengerti. Bukankah tujuan kita adalah untuk menemukan kebahagiaan dan stabilitas?"
Anya terdiam. Ia menatap mata Rian, mencoba mencari sesuatu di sana. Sesuatu yang tidak bisa diukur dengan algoritma. Sesuatu seperti... gairah. Kerentanan. Ketidaksempurnaan. Tapi yang ia temukan hanyalah refleksi dirinya sendiri, dipoles hingga sempurna oleh logika dan data.
Malam itu, Anya memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan Rian. Rian, tentu saja, bingung. Ia tidak bisa memahami mengapa Anya ingin meninggalkan hubungan yang secara logis sempurna.
"Aku tahu ini mungkin sulit untuk kamu mengerti," kata Anya, "tapi aku tidak bisa menjalani hidup yang sudah dituliskan untukku. Aku ingin merasakan cinta yang liar, yang tidak terduga, yang bahkan mungkin menyakitkan. Aku ingin merasakan sesuatu yang nyata."
Setelah berpisah dengan Rian, Anya merasa hancur. Algoritmanya telah gagal. Ia telah mencari cinta dalam data, dan yang ia temukan hanyalah kekosongan. Ia merasa bodoh, naif, dan sangat kesepian.
Selama beberapa minggu, Anya mengurung diri di apartemennya, menghindari teman-temannya, dan berhenti bekerja. Ia merasa kehilangan arah. Ia telah menghabiskan begitu banyak waktu untuk mencari pola dalam data, sehingga ia lupa bagaimana merasakan emosi yang sebenarnya.
Suatu malam, saat ia sedang membersihkan laptopnya, ia menemukan sebuah folder yang berisi data mentah yang ia gunakan untuk melatih algoritmanya. Ia mulai menelusuri data itu, dan ia menemukan sesuatu yang aneh.
Ternyata, algoritma itu telah mengabaikan beberapa kandidat potensial yang memiliki skor kompatibilitas yang sedikit lebih rendah dari Rian. Kandidat-kandidat ini tidak sesempurna Rian, tetapi mereka memiliki sesuatu yang tidak dimiliki Rian: faktor X.
Faktor X adalah variabel yang sulit diukur dengan data. Itu adalah kualitas yang unik, yang tidak bisa dihitung dengan rumus. Itu adalah kemampuan untuk membuat Anya tertawa terbahak-bahak, untuk membuatnya merasa tertantang, untuk membuatnya merasa hidup.
Anya menyadari, ia telah membuat kesalahan besar. Ia telah terlalu fokus pada kesempurnaan logis, sehingga ia mengabaikan apa yang benar-benar penting: hati. Ia telah mencoba menghilangkan risiko dari cinta, tetapi ia juga telah menghilangkan esensinya.
Dengan hati yang berat, Anya menghapus algoritmanya. Ia menyadari, cinta tidak bisa dipecahkan dengan rumus. Cinta adalah misteri, sebuah teka-teki yang tidak pernah bisa sepenuhnya dipecahkan.
Anya memutuskan untuk keluar dari apartemennya dan kembali ke dunia nyata. Ia mulai bertemu dengan teman-temannya, mencoba hal-hal baru, dan membuka dirinya untuk kemungkinan-kemungkinan yang tidak terduga.
Ia tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Ia tidak tahu apakah ia akan menemukan cinta lagi. Tapi ia tahu satu hal: ia tidak akan pernah lagi mencari cinta dalam data. Ia akan mencari cinta di dalam hatinya sendiri. Karena terkadang, hati yang hilang bisa ditemukan kembali, bukan dalam algoritma, tetapi dalam keberanian untuk membuka diri pada kemungkinan-kemungkinan yang tidak terduga. Dan mungkin, hanya mungkin, di sanalah cinta sejati bersembunyi.