Algoritma Hati: Cinta, Data, dan Air Mata Biner

Dipublikasikan pada: 08 Jun 2025 - 00:40:15 wib
Dibaca: 164 kali
Debu neon bertebaran di udara, memantul dari layar-layar besar yang menampilkan deretan kode rumit. Di tengah hiruk pikuk Dataverse Festival, Anya merasa seperti piksel asing dalam gambar beresolusi tinggi. Di sekelilingnya, para tech enthusiast dengan semangat berdiskusi tentang neural network, blockchain, dan Metaverse. Anya sendiri, meskipun bekerja sebagai data scientist di perusahaan teknologi ternama, merasa sedikit getir. Ia lebih nyaman berinteraksi dengan dataset daripada manusia. Mungkin karena data selalu jujur, sementara manusia…rumit.

Namun, malam ini berbeda. Ia datang bukan hanya untuk pekerjaan, tapi karena janji bertemu dengan seseorang yang namanya telah lama bersemayam di memorinya, dienkripsi dalam algoritma kerinduan yang ia sendiri susun. Nama itu adalah Leo.

Leo adalah lead developer di perusahaan yang sama, sosok yang dianggap sebagai rockstar di dunia coding. Ia terkenal jenius, dingin, dan sangat fokus pada pekerjaannya. Anya, dari kejauhan, mengagumi Leo. Bukan hanya kecerdasannya, tapi juga caranya memandang masalah, selalu mencari solusi elegan dan efisien, layaknya algoritma yang sempurna. Anya diam-diam mempelajari kode-kode Leo, menganalisisnya, mencoba memahami logika di balik setiap baris. Ia merasa mengenal Leo lebih dalam daripada siapapun, meskipun mereka belum pernah berbicara lebih dari sekadar “Selamat pagi” di lift.

Aplikasi kencan yang ia gunakan, Algoritma Cinta, adalah hasil hackathon beberapa bulan lalu. Ia membuat aplikasi itu dengan tujuan ganda: mengasah kemampuannya dalam machine learning, dan, secara diam-diam, mencoba mencocokkan dirinya dengan Leo. Aplikasi itu bekerja dengan menganalisis data pengguna dari berbagai platform media sosial, hobi, minat, bahkan gaya penulisan email. Lalu, dengan algoritma kompleks yang Anya rancang sendiri, aplikasi itu akan mencari kecocokan berdasarkan kompatibilitas intelektual, emosional, dan bahkan…estetika coding.

Aplikasi itu sukses mencocokkan Anya dengan Leo. Tingkat kecocokan mereka mencapai 98,7%. Angka yang hampir mustahil. Anya awalnya tidak percaya. Ia mengira ada bug dalam kodenya. Tapi, setelah berkali-kali melakukan debugging dan re-testing, hasilnya tetap sama.

Maka, dengan keberanian yang dikumpulkannya selama berbulan-bulan, ia mengirimkan pesan ke Leo melalui aplikasi itu. Sebuah pesan singkat, padat, dan berisi kode yang hanya dimengerti oleh mereka berdua: “`01101000 01100101 01101100 01101100 01101111`”. Kode biner yang berarti “Hello”.

Leo membalasnya.

Dan malam ini, mereka akhirnya bertemu.

Leo berdiri di dekat stan pameran artificial intelligence, mengenakan kemeja kotak-kotak dan kacamata berbingkai tebal. Ia tampak lebih santai daripada yang Anya bayangkan. Jantung Anya berdegup kencang seperti server yang kelebihan beban.

“Anya?” sapa Leo dengan suara berat dan lembut.

Anya mengangguk, berusaha menenangkan diri. “Leo…senang bertemu denganmu.”

Mereka berbicara selama berjam-jam. Tentang artificial intelligence, tentang etika dalam data science, tentang buku-buku favorit mereka, bahkan tentang kucing peliharaan mereka. Anya merasa nyaman, seolah ia dan Leo telah mengenal satu sama lain seumur hidup. Algoritma Cinta tidak salah. Mereka memang cocok.

Namun, di tengah obrolan yang menyenangkan itu, Leo tiba-tiba berhenti. Ekspresinya berubah menjadi serius.

“Anya,” kata Leo dengan nada suara yang berbeda. “Aku tahu tentang Algoritma Cinta.”

Anya tersentak. Bagaimana Leo bisa tahu?

“Aplikasi itu…buatanmu, kan?” tanya Leo, menatapnya dengan intens.

Anya menunduk, merasa malu dan bersalah. Ia tidak pernah berniat menyembunyikan hal ini, tapi ia juga tidak pernah membayangkan Leo akan tahu.

“Ya,” jawab Anya pelan. “Aku yang membuatnya.”

Leo terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. “Aku tahu dari algoritmanya. Gaya coding-mu sangat khas. Aku mengenalinya sejak pertama kali melihat source code-nya.”

Anya mengangkat kepalanya, menatap Leo dengan bingung.

“Aku…aku tidak tahu harus berkata apa,” lanjut Leo. “Di satu sisi, aku merasa tersanjung. Di sisi lain…aku merasa seperti menjadi objek penelitian. Seperti data yang dianalisis dan dimanipulasi.”

Anya merasa seperti ditampar. Kata-kata Leo menusuk hatinya seperti error message yang tak teratasi. Ia tidak pernah berniat menyakiti Leo. Ia hanya ingin mencari cara untuk mendekatinya.

“Aku minta maaf,” kata Anya dengan suara bergetar. “Aku tidak berniat menyakitimu. Aku hanya…aku mengagumimu, Leo. Aku ingin mengenalmu lebih dekat.”

Leo menatap Anya dengan tatapan yang sulit diartikan. “Aku tahu, Anya. Aku tahu kamu mengagumiku. Tapi…cinta bukan algoritma. Cinta bukan data yang bisa dianalisis dan diprediksi. Cinta itu kompleks, kacau, dan seringkali tidak masuk akal.”

Anya terdiam. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Air mata biner, pikirnya. Air mata yang mengalir karena kegagalan algoritma hatinya.

“Aku…aku mengerti,” kata Anya akhirnya. “Aku salah. Aku terlalu fokus pada data, dan melupakan esensi dari cinta itu sendiri.”

Leo mengulurkan tangannya dan menyentuh pipi Anya dengan lembut. “Jangan salahkan dirimu sendiri, Anya. Kamu hanya mencoba mencari cara untuk memahami cinta. Itu tidak salah. Tapi, mungkin…kita perlu belajar untuk merasakannya, bukan menghitungnya.”

Anya menatap Leo, air mata terus mengalir. Ia tahu Leo benar. Cinta tidak bisa diprediksi, tidak bisa dikalkulasi. Cinta adalah sesuatu yang harus dirasakan, sesuatu yang harus diperjuangkan, sesuatu yang…harus dibiarkan terjadi secara alami.

“Bisakah…bisakah kita mulai dari awal?” tanya Anya, dengan harapan yang tersisa. “Tanpa algoritma, tanpa data, tanpa…manipulasi?”

Leo tersenyum tipis. “Mungkin saja,” jawab Leo. “Mungkin saja.”

Malam itu, Anya pulang dengan hati yang hancur, tapi juga dengan secercah harapan. Ia tahu perjalanannya masih panjang, dan mungkin penuh dengan kesalahan. Tapi, ia berjanji pada dirinya sendiri untuk belajar mencintai dengan cara yang lebih jujur, lebih tulus, dan lebih…manusiawi. Ia akan menghapus Algoritma Cinta dari server-nya, dan mencoba menulis ulang algoritma hatinya sendiri. Algoritma yang tidak hanya berdasarkan data, tapi juga berdasarkan perasaan, intuisi, dan…keberanian untuk mengambil risiko. Karena, mungkin, cinta sejati memang tidak bisa ditemukan dalam kode, tapi dalam hati yang berani membuka diri.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI