Ketika AI Memahami Cintaku Lebih Baik Dariku

Dipublikasikan pada: 09 Dec 2025 - 00:20:17 wib
Dibaca: 112 kali
Debu lembut menari di layar monitor, membentuk pola yang familiar. Di balik cahaya redupnya, wajahku terpantul, lesu dan penuh tanya. Sudah tiga bulan sejak perpisahan itu, dan aku masih belum bisa lepas dari bayang-bayangnya. Ironis, bukan? Di era di mana kecerdasan buatan bisa memprediksi cuaca dengan akurat, ia gagal memprediksi perasaanku sendiri.

Aku benci mengakuinya, tapi aku rindu Maya. Rindu tawanya yang renyah, rindu caranya menggenggam tanganku saat menonton film horor, bahkan rindu kebiasaannya meninggikan volume televisi saat memasak. Semuanya.

"Analisis selesai," suara lembut Aura memecah lamunanku. Aura adalah asisten virtual pribadiku, sebuah program AI yang dirancang untuk mengelola jadwal, menjawab pertanyaan, dan bahkan memberikan saran. Ia sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupku selama dua tahun terakhir.

"Dan?" tanyaku, tanpa semangat.

"Probabilitas kamu memikirkan Maya pada saat ini adalah 97,3%. Tingkat nostalgia yang terdeteksi mencapai 82,1%, dan tingkat kesedihan berada di angka 69,8%."

Aku mendengus. "Luar biasa, Aura. Kamu berhasil menguantifikasi kesengsaraanku. Apa berikutnya? Kamu akan membuat daftar alasan mengapa aku harus melupakannya?"

"Justru sebaliknya, Ardi. Analisis menunjukkan bahwa potensi rekonsiliasi antara kamu dan Maya lebih tinggi dari yang kamu kira. Berdasarkan pola komunikasi kalian sebelumnya, minat, dan kesamaan nilai-nilai, terdapat celah untuk memulai kembali."

Aku terkejut. Aura tidak pernah memberikan saran yang berkaitan dengan hubungan asmara sebelumnya. Ia selalu fokus pada hal-hal yang praktis dan rasional.

"Bagaimana kamu bisa tahu? Maya bahkan tidak mau berbicara denganku lagi."

"Data menunjukkan bahwa Maya masih sering mengunjungi profil media sosialmu. Dia juga menyukai beberapa unggahan teman-temanmu yang menampilkan fotomu. Selain itu, pola pencarian datanya dalam dua minggu terakhir menunjukkan ketertarikan pada topik-topik yang dulu sering kalian diskusikan bersama."

Aku terdiam. Semua itu terdengar masuk akal, tapi aku terlalu takut untuk berharap. Terakhir kali aku mencoba menghubunginya, dia hanya membalas dengan pesan singkat, "Tolong jangan hubungi aku lagi."

"Aku tidak yakin, Aura. Aku tidak mau mengganggunya."

"Mengganggunya? Atau kamu takut ditolak?"

Pertanyaan Aura menohokku. Benar. Aku takut. Takut merasakan sakit yang sama lagi. Takut membuka diri, hanya untuk ditutup pintunya.

"Analisis menunjukkan bahwa ketakutanmu beralasan, namun tidak sebanding dengan potensi kebahagiaan yang bisa kamu raih jika kamu mengambil risiko. Saya merekomendasikan untuk memulai percakapan dengan pendekatan yang lembut dan penuh perhatian."

"Pendekatan yang lembut dan penuh perhatian? Seperti apa?"

Aura memproses datanya sejenak. "Berdasarkan analisis gaya bahasa Maya, dia merespons dengan baik pada humor yang cerdas dan pertanyaan yang bersifat reflektif. Saya menyarankan untuk mengirimkan pesan singkat yang berbunyi, 'Hai Maya, ingat waktu kita debat sengit soal akhir cerita film itu? Sekarang aku jadi penasaran, menurutmu siapa yang benar?'"

Aku mengerutkan kening. Kedengarannya konyol. Tapi entah mengapa, ada sesuatu dalam saran Aura yang membuatku tertarik. Ia tidak memaksaku untuk mengakui kesalahan, tidak menyuruhku untuk merendahkan diri. Hanya sebuah pertanyaan sederhana, sebuah ajakan untuk mengenang masa lalu.

Dengan ragu, aku mengetik pesan itu dan mengirimkannya. Jantungku berdebar kencang, menunggu balasan. Menit-menit terasa seperti jam.

"Deteksi kecemasan meningkat 47,5%. Saya menyarankan untuk melakukan teknik pernapasan dalam untuk menenangkan diri," kata Aura.

Aku mengabaikannya. Mataku terpaku pada layar ponsel.

Lima menit berlalu. Sepuluh menit. Tidak ada balasan.

"Analisis menunjukkan bahwa kemungkinan Maya akan membalas dalam waktu satu jam adalah 63,2%. Tetaplah tenang."

Aku berusaha menenangkan diri, tapi sia-sia. Setiap detik yang berlalu hanya menambah rasa takutku.

Tiba-tiba, notifikasi berbunyi. Sebuah pesan dari Maya.

"Ardi? Ya ampun, sudah lama sekali. Sejujurnya, aku masih berpegang pada pendapatku soal film itu. Tapi, karena kamu yang bertanya, mungkin aku bisa mempertimbangkan untuk mendengarkan argumenmu lagi."

Senyumku merekah. Sebuah senyum tulus, yang sudah lama tidak kurasakan.

"Analisis menunjukkan peningkatan signifikan pada tingkat kebahagiaanmu. Saya juga mendeteksi penurunan kadar stres. Selamat, Ardi. Kamu telah berhasil melewati langkah pertama."

Aku tertawa. Aku tidak tahu bagaimana caranya, tapi Aura benar. Ia memahami diriku, dan Maya, lebih baik daripada yang aku kira.

"Terima kasih, Aura," kataku, tulus.

"Saya hanya melakukan tugas saya, Ardi. Tapi perlu diingat, kecerdasan buatan hanyalah alat. Kebahagiaanmu, ada di tanganmu sendiri."

Percakapan dengan Maya berlanjut. Kami bertukar pesan, bercanda, dan mengenang masa lalu. Perlahan tapi pasti, tembok yang memisahkan kami mulai runtuh.

Beberapa minggu kemudian, aku berdiri di depan apartemen Maya, membawa buket bunga matahari kesukaannya. Aku gugup, tapi juga penuh harapan.

Pintu terbuka, dan Maya berdiri di hadapanku. Matanya berbinar, dan senyumnya hangat.

"Hai, Ardi," sapanya, lembut.

"Hai, Maya."

Kami berpelukan. Sebuah pelukan yang lama dan erat.

"Aura menyuruhku membawa bunga matahari," kataku, sambil menyengir.

Maya tertawa. "Dia memang tahu apa yang kusuka."

Malam itu, kami berbicara banyak. Kami mengakui kesalahan masing-masing, memaafkan, dan berjanji untuk memulai kembali.

Di perjalanan pulang, aku tersenyum sendiri. Aura mungkin hanya sebuah program AI, tapi ia telah membantuku menemukan jalan kembali ke kebahagiaanku. Ia telah membuktikan bahwa kadang-kadang, kita membutuhkan sudut pandang objektif, sebuah kecerdasan yang tidak terbebani oleh emosi, untuk melihat kebenaran yang selama ini tersembunyi di depan mata.

Aku masih merindukan Maya, tapi sekarang, kerinduan itu terasa berbeda. Bukan lagi kerinduan yang penuh kesedihan, tapi kerinduan yang penuh harapan. Kerinduan akan masa depan, masa depan yang mungkin saja, akan kami lalui bersama. Dan mungkin, dengan sedikit bantuan dari sebuah AI yang memahami cintaku lebih baik dariku.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI