Cinta Algoritmik: Saat Hati Tak Lagi Memiliki Pilihan

Dipublikasikan pada: 08 Dec 2025 - 03:00:18 wib
Dibaca: 112 kali
Jari-jariku gemetar di atas keyboard. Layar laptop memantulkan wajahku yang pucat dan lingkaran hitam di bawah mata. Sudah tiga hari aku tidak tidur nyenyak, terobsesi dengan satu pertanyaan: apakah perasaan yang kurasakan ini nyata, atau hanya hasil manipulasi sebuah algoritma?

Namaku Anya, dan aku bekerja sebagai relationship programmer di Elysium, perusahaan pengembang aplikasi kencan paling populer di dunia. Tugas kami adalah menyempurnakan algoritma pencocokan, memastikan para pengguna menemukan pasangan ideal mereka. Kami menganalisis data, perilaku, preferensi, dan bahkan mimpi-mimpi mereka, untuk menciptakan formula cinta yang sempurna. Ironis, bukan? Membuat cinta, sementara aku sendiri belum pernah merasakannya.

Sampai aku bertemu dengannya.

Semuanya berawal dari Project Chimera. CEO kami, Bapak Bram, memiliki obsesi untuk menciptakan pasangan abadi. Bukan sekadar kecocokan, tapi simbiosis sempurna dua jiwa. Kami diminta untuk mengembangkan algoritma yang mampu memprediksi keberhasilan sebuah hubungan jangka panjang dengan akurasi 99,9%. Aku ditunjuk sebagai ketua tim.

Proyek ini mengharuskan kami mengumpulkan data dari ratusan pasangan yang telah bersama selama puluhan tahun. Kami mewawancarai mereka, menganalisis riwayat medis, keuangan, bahkan catatan media sosial mereka. Rasanya seperti mengoperasi hati orang lain tanpa anestesi.

Di tengah lautan data itu, aku menemukan pola yang menarik. Ada sekelompok gen, yang kami namakan "Gen Harmoni," yang tampak selalu hadir dalam pasangan bahagia. Gen ini mengatur kemampuan empati, toleransi, dan kemampuan menyelesaikan konflik. Hipotesisnya, jika dua orang memiliki profil Gen Harmoni yang kompatibel, mereka akan memiliki peluang besar untuk membangun hubungan yang langgeng.

Untuk menguji hipotesis ini, kami membutuhkan sukarelawan. Bapak Bram menawarkan solusi yang mengejutkan: kami akan menggunakan data karyawan Elysium sendiri. Awalnya, aku menolak. Mencampuradukkan pekerjaan dan kehidupan pribadi terasa tidak etis. Tapi Bapak Bram meyakinkan, ini demi kemajuan ilmu pengetahuan dan demi menciptakan kebahagiaan bagi jutaan orang di dunia. Akhirnya, aku menyerah.

Algoritma dijalankan. Nama-nama berputar di layar, diurutkan berdasarkan tingkat kompatibilitas. Hingga akhirnya, satu nama muncul di urutan teratas, dengan skor 99,98%: Rian.

Rian adalah kepala divisi AI di Elysium. Dia jenius, pendiam, dan memiliki senyum yang membuat jantungku berdebar. Selama ini, aku hanya mengaguminya dari jauh. Aku tak pernah membayangkan akan ada kesempatan untuk dekat dengannya.

Sesuai protokol, aku ditugaskan untuk mendekati Rian dan memulai hubungan dengannya. Aku benci mengakui ini, tapi aku merasa seperti robot yang diprogram untuk mencintai. Setiap kata yang kuucapkan, setiap gestur yang kubuat, semuanya terasa seperti skenario yang ditulis oleh algoritma.

Anehnya, Rian merespons. Dia menyukai minatku pada teknologi, menghargai pendapatku, dan tertawa pada lelucon-lelucon garingku. Kami menghabiskan waktu bersama, berbicara tentang segala hal, mulai dari teori string hingga film favorit masa kecil. Semakin dekat aku dengannya, semakin bingung aku.

Apakah dia benar-benar menyukaiku, atau hanya merespons kode yang ada dalam diriku? Apakah ini cinta sejati, atau sekadar produk dari analisis data yang canggih?

Aku mencoba menjauh. Aku beralasan sibuk dengan pekerjaan, menghindari makan siang bersamanya, dan membalas pesannya dengan singkat. Aku ingin melihat apakah Rian akan mengejarku, apakah dia akan berjuang untukku.

Tapi dia tidak.

Rian hanya tersenyum dan berkata, "Aku mengerti. Kamu pasti sedang sibuk." Dia tidak mencoba menghubungiku lagi.

Keputusasaan melandaku. Aku menyadari, algoritma itu benar. Kami memang kompatibel. Kami cocok secara logis, statistik, dan bahkan genetik. Tapi ada sesuatu yang hilang. Keajaiban, kejutan, ketidakpastian. Cinta yang tumbuh secara organik, tanpa intervensi dari mesin.

Aku menemui Bapak Bram. Aku menceritakan keraguanku, kebingunganku, dan ketakutanku. Aku memohon agar dia menghentikan Project Chimera.

Bapak Bram tertawa. "Anya, kamu terlalu sentimentil. Cinta itu hanyalah serangkaian reaksi kimia dan sinyal listrik di otak. Kami hanya mencoba mengoptimalkannya."

"Tapi cinta bukan hanya tentang optimasi, Pak," bantahku. "Cinta itu tentang pilihan. Tentang memilih seseorang, meskipun ada orang lain yang lebih baik, lebih cocok, lebih sempurna. Algoritma menghilangkan pilihan itu. Ia membuat kita percaya bahwa kita tidak punya pilihan lain selain mengikuti apa yang diprediksi oleh mesin."

Bapak Bram menggelengkan kepala. "Kamu akan mengerti suatu hari nanti, Anya. Cinta itu terlalu berharga untuk diserahkan pada kebetulan. Kami hanya berusaha memastikan kebahagiaan."

Aku meninggalkan kantor Bapak Bram dengan perasaan hancur. Aku tahu, aku harus melakukan sesuatu. Aku tidak bisa membiarkan algoritma mendikte hidupku.

Malam itu, aku menemui Rian di taman. Aku menceritakan semuanya, tentang Project Chimera, tentang Gen Harmoni, dan tentang algoritma yang telah mempertemukan kami.

Rian mendengarkan dengan tenang. Ketika aku selesai, dia tersenyum. "Aku sudah tahu," katanya.

Aku terkejut. "Bagaimana bisa?"

"Aku juga terlibat dalam Project Chimera," jawab Rian. "Aku tahu bahwa algoritma itu memilihmu untukku. Awalnya, aku ragu. Tapi kemudian, aku mengenalmu. Aku melihat kecerdasanmu, semangatmu, dan kebaikan hatimu. Aku jatuh cinta padamu, Anya. Bukan karena algoritma, tapi karena dirimu sendiri."

Air mata mengalir di pipiku. Aku memeluk Rian erat-erat. "Aku takut," bisikku. "Aku takut kalau perasaan ini tidak nyata."

Rian memegang wajahku dan menatap mataku. "Percayalah padaku, Anya. Perasaan ini nyata. Kita berdua memiliki pilihan. Kita bisa mengikuti apa yang dikatakan algoritma, atau kita bisa menciptakan takdir kita sendiri."

Kami memutuskan untuk meninggalkan Elysium. Kami ingin membangun hidup kami sendiri, tanpa campur tangan teknologi. Kami ingin belajar mencintai dengan cara yang alami, dengan segala kelebihan dan kekurangan.

Kami tahu, jalan di depan tidak akan mudah. Tapi kami yakin, cinta yang tumbuh dari pilihan akan jauh lebih kuat daripada cinta yang diprediksi oleh algoritma. Kami memilih untuk mengambil risiko, untuk berjuang, untuk mencintai dengan sepenuh hati. Karena pada akhirnya, hati tetap memiliki pilihan. Dan pilihan itu, adalah cinta.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI