Jejak Digital Hati: Cinta, Algoritma, dan Akun yang Lupa

Dipublikasikan pada: 07 Dec 2025 - 02:20:13 wib
Dibaca: 116 kali
Debu digital beterbangan di antara notifikasi yang tak henti-hentinya berdatangan. Di balik layar laptopnya, Arina menghela napas. Algoritma kencan daring memang menjanjikan kemudahan, tapi juga rasa hampa yang mendalam. Sudah tiga bulan ia terjebak dalam siklus swipe, match, obrolan basa-basi, lalu menghilang tanpa jejak. Ia merindukan sentuhan nyata, bukan sekadar like atau emoji hati.

Malam itu, sebuah notifikasi baru muncul. "Kamu memiliki kecocokan tinggi dengan pengguna bernama 'Dev_87'." Foto profil Dev menampilkan siluet punggung seorang pria dengan rambut berantakan yang menatap bintang-bintang. Arina tertarik. Bukan karena ketampanan yang terpampang jelas, melainkan aura melankolis yang terpancar.

Mereka mulai bertukar pesan. Dev ternyata seorang programmer yang bekerja di bidang kecerdasan buatan. Mereka berdua larut dalam percakapan tentang kompleksitas algoritma, paradoks kebebasan di era digital, dan bagaimana teknologi bisa mendekatkan sekaligus menjauhkan manusia. Arina merasa menemukan seseorang yang sefrekuensi, seseorang yang mengerti kedalaman pikirannya.

"Kamu tahu, Arina," tulis Dev suatu malam, "aku sedang membuat algoritma yang bisa memprediksi cinta sejati."

Arina tertawa. "Itu terdengar seperti film fiksi ilmiah. Apa mungkin?"

"Mungkin saja. Aku memasukkan data preferensi, riwayat hubungan, bahkan jejak digital seseorang di media sosial. Tujuannya bukan untuk menggantikan perasaan, tapi untuk membantu orang menemukan seseorang yang benar-benar cocok."

Arina merasa tertarik sekaligus ngeri. Ide tentang cinta yang dihitung secara matematis terasa dingin dan mekanis. Tapi di sisi lain, ia penasaran, bisakah algoritma benar-benar memprediksi kebahagiaan?

Hari-hari berikutnya, obrolan mereka semakin intens. Mereka bertukar cerita tentang masa kecil, mimpi-mimpi yang belum terwujud, dan ketakutan terdalam. Arina merasa Dev semakin dekat, seolah ia mengenalnya selama bertahun-tahun. Suatu malam, Dev mengajaknya bertemu.

"Aku ingin melihat apakah chemistry kita sama kuatnya di dunia nyata," tulisnya.

Arina setuju dengan jantung berdebar. Ia memilih gaun terbaiknya, merias wajahnya dengan hati-hati, dan berusaha menenangkan kegugupan yang menyerang. Mereka sepakat bertemu di sebuah kedai kopi kecil yang nyaman di pusat kota.

Ketika Arina tiba, Dev sudah duduk di salah satu meja sudut. Ia mengenakan jaket kulit hitam dan celana jeans, persis seperti yang ia gambarkan di pesan-pesannya. Rambutnya memang berantakan, tapi matanya bersinar hangat.

Malam itu, mereka berbicara tanpa henti. Mereka tertawa, berdebat, dan berbagi pandangan tentang dunia. Arina merasa nyaman dan bahagia, seolah ia menemukan kepingan yang hilang dalam hidupnya. Dev bukan hanya pintar dan menarik, tapi juga tulus dan perhatian.

Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Beberapa minggu kemudian, Dev mulai menjauh. Ia jarang membalas pesan Arina, dan ketika mereka berbicara, suaranya terdengar dingin dan jauh. Arina merasa bingung dan sakit hati. Apa yang salah?

Suatu malam, Arina memberanikan diri bertanya. "Dev, apa yang terjadi? Kamu tidak lagi seperti dulu."

Dev terdiam sejenak, lalu menghela napas. "Arina, aku harus jujur padamu. Algoritma yang aku buat... algoritma itu tidak memprediksi kita akan bersama."

Arina terkejut. Jadi, selama ini Dev menguji hubungan mereka dengan algoritmanya? Ia merasa seperti kelinci percobaan, seperti data yang dianalisis dan disimpulkan.

"Aku tahu ini sulit diterima," lanjut Dev, "tapi aku percaya pada algoritma itu. Aku memasukkan semua data tentang kita, dan hasilnya... hasilnya menunjukkan bahwa kita tidak cocok dalam jangka panjang. Kita memiliki perbedaan mendasar yang tidak bisa diatasi."

Arina marah dan kecewa. "Jadi, kamu rela mengakhiri hubungan kita hanya karena sebuah algoritma? Kamu tidak percaya pada perasaan kita sendiri?"

"Aku percaya pada sains," jawab Dev dingin. "Aku percaya bahwa algoritma bisa memberikan panduan yang lebih akurat daripada emosi yang seringkali menyesatkan."

Arina berdiri dari tempat duduknya, air mata mengalir di pipinya. "Aku tidak percaya ini. Aku pikir kamu berbeda. Aku pikir kamu mengerti arti cinta yang sebenarnya."

Ia berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Dev yang terpaku di tempatnya.

Hari-hari berlalu dengan hampa. Arina berusaha melupakan Dev, tapi bayangannya selalu menghantuinya. Ia mencoba mencari penjelasan, mencoba memahami bagaimana mungkin seseorang bisa begitu terpengaruh oleh sebuah algoritma.

Suatu malam, Arina iseng membuka akun media sosial Dev. Ia sudah lama tidak mengikutinya, dan ia penasaran apa yang sedang dilakukannya. Ia menemukan sesuatu yang mengejutkan.

Di salah satu unggahan Dev, ia melihat foto seorang wanita. Wanita itu tersenyum bahagia, memeluk Dev dengan erat. Di keterangan foto, Dev menulis: "Akhirnya aku menemukan cinta sejati. Algoritma tidak pernah salah."

Arina merasa hatinya hancur berkeping-keping. Ia merasa dikhianati, bukan hanya oleh Dev, tapi juga oleh teknologi itu sendiri. Ia menyadari bahwa algoritma hanyalah alat, dan bagaimana alat itu digunakan tergantung pada niat penggunanya.

Beberapa bulan kemudian, Arina bertemu kembali dengan Dev di sebuah konferensi teknologi. Mereka saling bertatapan, canggung dan dingin. Dev mencoba menyapanya, tapi Arina mengabaikannya.

Saat Arina hendak beranjak, ia melihat sebuah anomali. Sebuah notifikasi muncul di layar ponsel Dev. Notifikasi itu dari aplikasi kencan yang sama, yang dulu mempertemukan mereka. Notifikasi itu berbunyi: "Kamu memiliki kecocokan tinggi dengan pengguna bernama Arina_90."

Arina menatap Dev dengan tatapan penuh tanya. Dev tampak pucat dan bingung. Ia berusaha menjelaskan, tapi Arina mengangkat tangannya.

"Simpan saja penjelasanmu," kata Arina dingin. "Aku tidak lagi percaya pada algoritma. Aku percaya pada hatiku sendiri."

Arina berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Dev yang terpaku dengan ponsel di tangannya. Ia menyadari bahwa algoritma mungkin bisa memprediksi kecocokan, tapi tidak bisa menjamin kebahagiaan. Kebahagiaan sejati terletak pada keberanian untuk mengikuti kata hati, bahkan ketika algoritma mengatakan sebaliknya.

Ia menutup akun kencannya. Saatnya mencari cinta, bukan dalam rumus, tapi dalam kehidupan nyata.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI