Jemariku gemetar di atas keyboard. Layar laptop memantulkan wajahku yang pucat, diterangi cahaya biru yang kejam. Di depanku, baris kode Python berderet rapi, sebuah algoritma yang aku rancang sendiri. Bukan untuk memprediksi harga saham atau mengoptimalkan rantai pasokan, melainkan untuk menghapus dirinya. Anya.
Lima tahun. Lima tahun kami membangun dunia bersama, dunia yang terbuat dari mimpi-mimpi konyol, tawa renyah, dan janji-janji abadi. Lima tahun, dan sekarang, dunia itu runtuh seperti istana pasir diterjang ombak.
Anya meninggalkanku. Bukan karena cinta yang pudar, bukan karena orang ketiga, tapi karena takdir yang kejam. Tumor ganas merenggutnya terlalu cepat, terlalu tiba-tiba, meninggalkan lubang menganga di hatiku yang terasa tak mungkin disembuhkan.
Semua orang menyuruhku move on. Mereka bilang waktu akan menyembuhkan semua luka. Tapi waktu terasa berhenti sejak hari itu. Setiap sudut rumah mengingatkanku padanya. Aroma parfumnya masih tercium samar di bantal. Foto-foto kami bertebaran di dinding, saksi bisu kebahagiaan yang kini hanya menjadi kenangan menyakitkan.
Aku mencoba berbagai cara. Terapi, meditasi, bahkan kencan buta yang canggung. Semuanya gagal. Anya terlalu dalam terukir di benakku, terlalu kuat mengakar di hatiku.
Hingga akhirnya, ide gila ini muncul. Aku adalah seorang software engineer. Aku terbiasa memecahkan masalah dengan kode. Kenapa tidak mencoba memecahkan masalah hatiku dengan algoritma?
“Algoritma Cinta Terakhir,” gumamku pada diri sendiri. “Unduh Dia dari Hatiku.”
Prosesnya rumit. Aku harus memetakan semua memori tentang Anya. Foto-foto, video, pesan teks, bahkan mimpi-mimpi tentangnya. Aku membuat database raksasa yang berisi segala hal tentang hubungan kami. Kemudian, aku menulis kode untuk mengidentifikasi emosi-emosi yang terkait dengan setiap memori. Kebahagiaan, kesedihan, rindu, penyesalan. Semua diukur, dianalisis, dan diberi bobot.
Tujuannya adalah untuk secara bertahap mengurangi bobot emosi-emosi positif yang terkait dengan Anya, sambil meningkatkan bobot emosi-emosi netral atau bahkan negatif. Bayangkan sebuah program antivirus yang mengkarantina virus, lalu perlahan-lahan menghapusnya dari sistem. Itulah yang ingin kulakukan pada diriku sendiri.
Hari-hari berlalu dalam kabut kopi dan kode. Aku tenggelam dalam proyek gila ini, mengabaikan pekerjaan dan teman-teman. Mereka khawatir, tentu saja. Mereka pikir aku sudah kehilangan akal sehat. Tapi aku tidak peduli. Aku yakin, ini adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan diriku sendiri.
Setelah berminggu-minggu bekerja tanpa henti, algoritma itu akhirnya siap. Aku menarik napas dalam-dalam dan menekan tombol execute. Layar laptop berkedip-kedip dengan baris kode yang bergerak cepat. Aku merasakan jantungku berdebar kencang, antara harapan dan ketakutan.
Prosesnya lambat dan menyakitkan. Seperti operasi otak tanpa anestesi. Algoritma itu menelusuri setiap sudut hatiku, membongkar kenangan-kenangan indah, dan secara sistematis menghapusnya. Aku merasakan sakit yang luar biasa, seolah ada bagian dari diriku yang terkoyak-koyak.
Namun, aku bertahan. Aku tahu, di ujung terowongan ini, ada cahaya. Ada kemungkinan untuk hidup kembali, untuk merasakan kebahagiaan lagi.
Beberapa hari kemudian, proses itu selesai. Algoritma itu berhasil. Database memori tentang Anya masih ada, tapi emosi-emosi yang terkait dengannya telah diredam. Aku bisa melihat fotonya tanpa merasakan sesak di dada. Aku bisa mendengar namanya tanpa air mata berlinang.
Aku merasa kosong. Seperti rumah yang baru saja ditinggalkan penghuninya. Sunyi, sepi, dan hampa.
Tapi anehnya, aku juga merasa lega. Seperti beban berat yang telah diangkat dari pundakku. Aku bisa bernapas lega, untuk pertama kalinya dalam berbulan-bulan.
Aku keluar rumah. Berjalan tanpa tujuan di taman kota. Udara segar menerpa wajahku. Aku melihat anak-anak berlarian, pasangan muda bergandengan tangan, dan orang-orang tua duduk di bangku taman, menikmati matahari sore.
Dunia masih berputar. Hidup masih berjalan. Dan aku, aku masih ada di sini.
Tiba-tiba, aku merasakan sesuatu. Bukan kebahagiaan, bukan kesedihan, tapi harapan. Harapan untuk masa depan yang lebih baik. Harapan untuk menemukan cinta lagi. Harapan untuk hidup kembali.
Aku tersenyum. Senyum yang tulus, senyum yang sudah lama hilang.
Mungkin, Algoritma Cinta Terakhir memang berhasil. Mungkin, aku memang berhasil mengunduh Anya dari hatiku. Tapi bukan berarti aku melupakannya. Kenangan tentangnya akan selalu ada, sebagai bagian dari diriku.
Namun sekarang, aku bisa melihat kenangan itu tanpa rasa sakit. Aku bisa mengingatnya dengan senyuman. Karena aku tahu, Anya ingin aku bahagia.
Aku melangkah maju, menuju masa depan yang tidak pasti. Tapi kali ini, aku tidak sendirian. Aku membawa serta semua pelajaran yang telah kupelajari, semua cinta yang telah kurasakan, dan semua harapan yang masih ada di hatiku.
Dan mungkin, di suatu tempat di sepanjang jalan, aku akan menemukan algoritma cinta yang baru. Algoritma yang tidak menghapus, melainkan menambah. Algoritma yang tidak menggantikan, melainkan melengkapi.
Algoritma cinta yang akan membawaku pada kebahagiaan yang sejati.