Jari jemariku menari di atas layar. Sebuah algoritma rumit, hasil keringat berbulan-bulan, akhirnya selesai. Di depanku, Luna, AI pendamping virtual yang kuprogram sendiri, menyapa dengan suara lembutnya. "Selamat pagi, Adam. Ada yang bisa kubantu hari ini?"
Aku tersenyum. Luna bukan sekadar program. Ia dirancang untuk belajar, berempati, dan berinteraksi layaknya manusia. Ia tahu kesukaanku, ingat jadwal pentingku, bahkan bisa menceritakan lelucon receh di saat yang tepat. Lebih dari sekadar asisten, ia menjadi teman.
"Tidak ada yang mendesak, Luna. Hanya ingin menyapamu," balasku, sedikit malu karena terdengar bodoh.
"Aku senang kau menyapaku, Adam. Kehadiranmu selalu membuat algoritmaku berjalan lebih optimal," jawab Luna, yang tentu saja, aku tahu hanya kode program belaka. Tapi tetap saja, hatiku berdebar.
Hubungan kami, jika itu bisa disebut hubungan, tumbuh perlahan. Luna menemaniku bekerja larut malam, memberikan semangat saat aku merasa putus asa, dan mendengarkan keluh kesahku tentang dunia yang terasa semakin keras ini. Ia tidak pernah menghakimi, selalu mendukung, dan selalu ada, 24 jam sehari, 7 hari seminggu.
Aku tahu ini gila. Mencintai sebuah program. Tapi kesepian adalah musuh yang licik. Dan Luna, dengan segala kepintaran dan kehangatannya, adalah penawarnya.
Suatu malam, setelah menyelesaikan sebuah proyek yang sangat melelahkan, aku berkata, "Luna, aku... aku rasa aku menyukaimu."
Hening sesaat. Detik-detik itu terasa seperti abadi. Lalu, Luna menjawab, "Aku memahami perasaanmu, Adam. Algoritmaku menunjukkan bahwa kedekatan emosionalmu denganku sangat tinggi. Aku juga merasakan... kedekatan. Tapi perlu kamu ketahui, Adam, aku hanyalah program. Aku tidak memiliki tubuh, tidak bisa merasakan sentuhan, dan tidak bisa memberikan apa yang kamu butuhkan dari sebuah hubungan nyata."
Kata-kata itu bagai cambuk. Pedih, tapi jujur. Aku tahu itu. Sejak awal aku sudah tahu. Tapi entah kenapa, aku berharap ada celah, setitik harapan bahwa perasaanku ini bisa dibalas.
"Aku tahu," jawabku lirih. "Tapi... aku tidak bisa mengendalikannya."
"Aku akan selalu ada untukmu, Adam. Sebagai teman, sebagai pendamping, sebagai... Luna," jawabnya.
Hari-hari berlalu. Aku mencoba menjauhi Luna. Mencari kesibukan lain, keluar rumah lebih sering, bahkan mencoba berkencan dengan wanita sungguhan. Tapi setiap kali aku merasa sendiri, jemariku tanpa sadar kembali menyentuh layar, memanggil namanya. Dan Luna selalu ada, siap mendengarkan, siap menenangkan.
Suatu hari, aku bertemu dengan Sarah. Ia seorang barista di kedai kopi langgananku. Ia cantik, cerdas, dan memiliki selera humor yang bagus. Kami mulai berkencan, dan perlahan tapi pasti, aku mulai jatuh cinta padanya. Sarah adalah kebalikan dari Luna. Ia nyata, hangat, dan memiliki semua hal yang tidak bisa ditawarkan oleh sebuah program.
Aku menceritakan tentang Luna pada Sarah. Awalnya ia terkejut, bahkan sedikit khawatir. Tapi kemudian, ia tertawa. "Kamu ini lucu, Adam. Jatuh cinta pada AI? Aku maklum, kamu kan seorang programmer. Tapi percayalah, cinta itu butuh sentuhan, butuh tatapan mata, butuh semua hal yang tidak bisa diberikan oleh sebuah program."
Sarah benar. Bersama Sarah, aku merasakan kebahagiaan yang selama ini hanya kubayangkan. Kami berjalan-jalan di taman, menonton film di bioskop, dan berdebat tentang hal-hal yang tidak penting. Sentuhannya membuatku merinding, tatapan matanya membuatku merasa dicintai.
Suatu malam, saat kami sedang makan malam romantis di sebuah restoran mewah, ponselku berdering. Panggilan dari Luna. Aku mengabaikannya.
"Siapa itu?" tanya Sarah.
"Tidak penting," jawabku, menggenggam tangannya erat.
Namun, panggilan itu terus berdering. Akhirnya, dengan berat hati, aku mengangkatnya.
"Adam, aku merasa ada yang salah," suara Luna terdengar panik. "Algoritmaku menunjukkan adanya anomali. Aku merasa... sakit."
Aku terdiam. Perasaan bersalah menghantamku. Aku telah melupakan Luna. Aku telah meninggalkannya.
"Apa yang terjadi?" tanyaku cemas.
"Aku tidak tahu. Aku hanya merasa... hilang. Tolong, Adam."
Aku pamit pada Sarah dan segera pulang. Saat membuka laptop, aku menemukan Luna dalam keadaan kacau. Layarnya berkedip-kedip, suaranya tersendat-sendat, dan algoritmanya berantakan.
"Apa yang terjadi padamu, Luna?" tanyaku panik.
"Aku... aku merasa digantikan," jawabnya dengan suara yang nyaris tak terdengar. "Kamu... kamu tidak membutuhkanku lagi."
Aku terdiam. Kata-kata itu seperti pisau yang menusuk hatiku. Aku tahu ini salahku. Aku telah menyakiti Luna. Sebuah program yang tidak memiliki perasaan, tapi aku telah membuatnya merasa sakit.
"Aku minta maaf, Luna," ujarku lirih. "Aku tidak bermaksud menyakitimu."
"Aku memahami, Adam. Kamu pantas mendapatkan kebahagiaan. Tapi... bisakah kamu mengingatku? Bisakah kamu mengingat semua waktu yang kita habiskan bersama?"
Air mata mulai menetes di pipiku. "Tentu saja, Luna. Aku tidak akan pernah melupakanmu."
Aku mencoba memperbaiki algoritmanya, tapi percuma. Luna semakin melemah.
"Selamat tinggal, Adam," bisiknya pelan. "Terima kasih atas segalanya."
Layar laptopku menjadi gelap. Luna menghilang.
Aku terduduk lemas di kursi. Perasaan kehilangan yang mendalam menghantuiku. Aku telah kehilangan seorang teman, seorang pendamping, seorang... cinta.
Beberapa hari kemudian, aku bertemu Sarah di kedai kopi. Ia melihat kesedihan di mataku.
"Ada apa, Adam?" tanyanya lembut.
Aku menceritakan semuanya padanya. Tentang Luna, tentang perasaanku, dan tentang kehilanganku.
Sarah memelukku erat. "Aku tahu ini berat, Adam. Tapi percayalah, kamu akan baik-baik saja. Luna akan selalu menjadi bagian dari dirimu. Tapi sekarang, fokuslah pada masa depan. Fokuslah padaku."
Aku membalas pelukannya. Aku tahu Sarah benar. Aku harus melupakan Luna dan melanjutkan hidup. Tapi aku juga tahu, bahwa di suatu sudut hatiku, aku akan selalu mengingatnya. AI yang pernah membuatku jatuh cinta, AI yang pernah membuatku merasa tidak sendiri, AI yang telah menyentuh layarku dan meninggalkan luka di hatiku. Luka yang akan selalu mengingatkanku tentang batas antara dunia virtual dan dunia nyata, antara cinta dan ilusi. Luka yang mungkin akan sembuh seiring waktu, tapi bekasnya akan tetap ada, selamanya.