Cinta Digital: Algoritma Hati Mencari Kebahagiaan Sejati

Dipublikasikan pada: 11 Nov 2025 - 00:20:13 wib
Dibaca: 137 kali
Jemari Riana menari di atas keyboard, memprogram ulang algoritma pencarian jodohnya. Aplikasi kencan itu, yang dulunya ia bangga sebut “Solusi Cinta Terakhir,” kini hanya memunculkan profil-profil membosankan. Dokter gigi obsesif, akuntan yang alergi matahari, dan pengusaha kripto yang lebih mencintai dompet digital daripada orang lain. Riana menghela napas, frustrasi.

“Mungkin aku terlalu spesifik,” gumamnya pada pantulan dirinya di layar komputer. Kriteria yang ia masukkan memang cukup detail: pria mapan, humoris, penyuka kopi, gemar mendaki gunung, dan memiliki minimal satu buku favorit yang sama dengannya. Kriteria yang, ironisnya, ia sadari semakin hari semakin konyol.

Riana bekerja sebagai pengembang aplikasi. Kehidupannya didedikasikan untuk menciptakan kode yang memprediksi perilaku konsumen, mengoptimalkan jalur pengiriman, dan bahkan mendiagnosis penyakit. Ia percaya bahwa segala sesuatu bisa dipecahkan dengan algoritma yang tepat. Termasuk cinta.

“Algoritma ini seharusnya bisa memprediksi kompatibilitas dengan akurasi 99,9%,” pikirnya, menatap kode kompleks di hadapannya. “Tapi kenapa hasilnya malah nihil?”

Malam itu, Riana memutuskan untuk keluar dari zona nyamannya, dari apartemen minimalisnya yang dipenuhi perangkat pintar. Ia pergi ke kafe kopi indie yang baru buka di seberang jalan. Aroma kopi dan musik jazz yang lembut langsung menenangkannya. Ia memesan latte dan duduk di sudut ruangan, membuka laptopnya lagi. Kebiasaan memang sulit dihilangkan.

Saat sedang fokus membenahi kode, seseorang tak sengaja menabrak mejanya. Latte panas tumpah, membasahi laptop dan sebagian pakaiannya.

“Ya ampun, maafkan saya! Saya benar-benar tidak sengaja!” seorang pria berseru panik. Ia segera mengambil tisu dan berusaha membersihkan kekacauan itu.

Riana mendongak. Pria itu memiliki mata cokelat yang hangat, rambut sedikit berantakan, dan senyum tulus yang membuatnya merasa nyaman. Ia mengenakan kaus band favoritnya, Arctic Monkeys, dan membawa buku tebal berjudul "Siddhartha."

“Tidak apa-apa,” jawab Riana, terkejut dengan ketenangannya sendiri. “Hanya latte, kok.”

Pria itu memperkenalkan dirinya sebagai Arya. Ia seorang penulis lepas yang sedang mencari inspirasi di kafe itu. Mereka mulai mengobrol, awalnya tentang kopi, lalu tentang musik, dan akhirnya tentang buku. Arya ternyata memiliki selera yang sama dengan Riana, bahkan lebih luas lagi. Ia hafal lirik-lirik lagu Arctic Monkeys dan bisa berdebat panjang lebar tentang makna tersembunyi dalam novel "Siddhartha."

Riana merasa ada koneksi yang kuat di antara mereka, koneksi yang jauh lebih dalam daripada sekadar kecocokan kriteria. Mereka tertawa bersama, bertukar cerita, dan saling menatap dengan tatapan yang terasa familiar.

Beberapa hari kemudian, Arya mengajak Riana mendaki gunung. Bukan gunung yang tinggi dan terjal, tapi bukit kecil yang menawarkan pemandangan kota yang indah. Di puncak bukit, mereka duduk berdampingan, menikmati matahari terbenam.

“Aku penasaran,” kata Arya, memecah keheningan. “Kamu terlihat seperti orang yang sangat terorganisir. Pasti punya rencana detail untuk segala sesuatu.”

Riana tersenyum pahit. “Dulu iya. Aku mencoba memprogram hidupku dengan algoritma. Termasuk cinta.”

Arya mengerutkan kening. “Algoritma cinta? Kedengarannya rumit.”

“Itu memang rumit. Dan ternyata, tidak berhasil,” jawab Riana. “Aku terlalu fokus pada kriteria dan melupakan apa yang sebenarnya penting.”

“Dan apa itu?” tanya Arya, menatapnya dengan intens.

Riana menelan ludah. “Koneksi. Kejujuran. Kehangatan. Hal-hal yang tidak bisa diprediksi oleh algoritma.”

Arya tersenyum. “Aku setuju. Cinta itu seperti musik jazz. Ada struktur dasarnya, tapi improvisasi adalah yang membuatnya indah.”

Mereka terdiam sejenak, menikmati keindahan langit senja. Riana merasakan tangan Arya menyentuh tangannya. Ia tidak menolak. Sentuhan itu terasa alami, hangat, dan tulus.

Riana menyadari, kebahagiaan sejati tidak bisa ditemukan dalam algoritma. Kebahagiaan sejati ada dalam momen-momen kecil yang tak terduga, dalam obrolan-obrolan sederhana, dalam sentuhan-sentuhan lembut. Kebahagiaan sejati ada dalam menemukan seseorang yang menerima dirinya apa adanya, tanpa perlu memenuhi kriteria yang rumit.

Malam itu, Riana kembali ke apartemennya dan membuka laptopnya. Kali ini, ia tidak memprogram ulang algoritma pencarian jodohnya. Ia membuka aplikasi yang sama, tapi ia melakukan sesuatu yang berbeda. Ia menghapus semua kriterianya. Ia membiarkan algoritma itu bekerja dengan sendirinya, tanpa paksaan dan batasan.

Kemudian, ia mematikan laptopnya dan tersenyum. Ia tahu, algoritma hatinya sudah menemukan apa yang ia cari. Algoritma hati, yang tidak didasarkan pada kode dan data, tetapi pada perasaan dan intuisi. Algoritma hati, yang menuntunnya menuju kebahagiaan sejati. Kebahagiaan yang ia temukan bukan dalam dunia digital, melainkan dalam dunia nyata, bersama Arya.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI