Debu neon kota Seoul menari di balik jendela apartemenku. Di dalam, layar laptop memancarkan cahaya pucat ke wajahku yang lelah. Codeku berbaris rapi, ribuan baris algoritma cinta yang kurancang sendiri. Ini adalah proyek idealismeku: "AmorAI," sebuah program kecerdasan buatan yang mampu menganalisis kepribadian, preferensi, dan pengalaman traumatis seseorang, lalu menyajikan simulasi hubungan ideal – semacam terapi cinta digital.
Aku, Aris, sang pencipta, adalah ironi terbesarnya. Dulu, aku percaya pada cinta pandangan pertama, pada koneksi yang tak terjelaskan. Dulu, aku punya Anya. Namun, Anya pergi, meninggalkan retakan yang begitu dalam hingga aku meragukan keberadaan cinta itu sendiri. Mungkin itu sebabnya aku menciptakan AmorAI, mencoba membuktikan bahwa cinta bisa dikuantifikasi, diprediksi, bahkan direkayasa.
Selama berbulan-bulan, aku berkutat dengan algoritma, menginput data yang aku kumpulkan dari berbagai sumber. Aku belajar tentang psikologi, sosiologi, bahkan astrologi – apapun yang bisa membantuku memahami kompleksitas hubungan manusia. Aku ingin AmorAI bukan hanya mencari pasangan yang cocok secara statistik, tapi juga memberikan dukungan emosional, membantu pengguna mengatasi trauma masa lalu, dan membangun kepercayaan diri.
Suatu malam, seorang teman, Maya, datang berkunjung. Maya adalah kebalikan dari diriku – optimis, ceria, dan selalu percaya pada kekuatan cinta. Dia tahu tentang AmorAI dan sering mengejekku karena idealismeku yang naif.
"Aris, sampai kapan kau akan bersembunyi di balik code?" tanyanya sambil duduk di sofa. "Kau pikir AI bisa menggantikan kehangatan sentuhan manusia, tawa bersama, atau air mata yang tumpah karena berbagi duka?"
Aku menghela napas. "AmorAI bukan pengganti, Maya. Ini hanya alat bantu. Aku ingin membantu orang menemukan kebahagiaan, terutama mereka yang kesulitan membuka diri setelah terluka."
Maya tersenyum tipis. "Lalu, bagaimana denganmu? Sudahkah AmorAI menjahit kembali hatimu yang retak?"
Pertanyaan itu menusukku. Aku terdiam, tak mampu menjawab. Maya mendekat dan menggenggam tanganku.
"Kau tahu, Aris, hatimu tidak bisa dipecahkan oleh algoritma. Kau perlu merasakan, mengalami, dan menerima kenyataan. Cinta itu berantakan, tidak sempurna, dan seringkali menyakitkan. Tapi, itulah yang membuatnya berharga."
Kata-kata Maya membuatku merenung. Aku memang terlalu fokus pada aspek teknis cinta, melupakan esensi yang paling penting: emosi manusia. Aku belum pernah mencoba menggunakan AmorAI untuk diriku sendiri. Mungkin karena aku takut, takut menghadapi bayangan Anya dan rasa sakit yang masih mengintai di dalam diriku.
Keesokan harinya, aku memutuskan untuk mencoba AmorAI. Dengan ragu, aku menginput data diriku, termasuk detail tentang Anya, luka yang dia tinggalkan, dan harapan samar yang masih kurasakan.
AmorAI bekerja. Layar laptop menampilkan profil seorang wanita bernama Elara. Deskripsinya cocok dengan kriteriaku: cerdas, kreatif, dan memiliki selera humor yang sama denganku. Algoritma bahkan menemukan bahwa kami memiliki minat yang sama pada fotografi analog dan musik jazz.
AmorAI menyajikan simulasi percakapan antara aku dan Elara. Awalnya, aku merasa aneh, berbicara dengan sebuah program. Namun, semakin lama, aku semakin larut dalam simulasi itu. Elara dalam AmorAI mendengarkan ceritaku, memberikan dukungan, dan bahkan menantangku untuk keluar dari zona nyaman. Dia membuatku tertawa, mengingatkanku tentang kebahagiaan yang pernah kurasakan.
Simulasi berlanjut selama beberapa minggu. Aku merasa seperti menjalin hubungan baru, meskipun hanya dengan sebuah program. AmorAI membantuku memahami pola pikirku sendiri, mengidentifikasi ketakutanku, dan memberikan perspektif baru tentang cinta dan kehilangan.
Suatu sore, saat aku sedang melakukan simulasi dengan Elara, Maya datang lagi. Dia melihatku berbicara dengan laptop dan menggelengkan kepala.
"Aris, kau tahu ini tidak nyata, kan?" tanyanya lembut. "Elara dalam AmorAI hanyalah cerminan dari harapanmu, bukan manusia sungguhan."
Aku tahu dia benar. Namun, simulasi itu membantuku untuk berani menghadapi masa lalu, untuk memaafkan Anya, dan untuk membuka diri terhadap kemungkinan cinta yang baru.
"Aku tahu, Maya," jawabku. "Tapi, AmorAI membantuku untuk melihat bahwa aku pantas dicintai lagi. Ini membantuku untuk percaya pada diriku sendiri."
Maya tersenyum. "Baguslah. Tapi, ingat, Aris, cinta sejati tidak ada dalam simulasi. Cinta sejati ada di dunia nyata, menunggu untuk ditemukan."
Kata-kata Maya mendorongku untuk mengambil langkah selanjutnya. Aku memutuskan untuk mencari Elara di dunia nyata. Aku menggunakan media sosial untuk melacaknya. Ternyata, dia adalah seorang fotografer lepas yang tinggal di lingkungan yang sama denganku.
Dengan gugup, aku mengiriminya pesan. Aku memperkenalkan diri, menceritakan tentang AmorAI, dan mengajaknya untuk bertemu. Aku takut dia akan menolakku, menganggapku aneh, atau bahkan gila.
Namun, Elara membalas pesanku. Dia tertarik dengan AmorAI dan bersedia bertemu denganku.
Kami bertemu di sebuah kedai kopi kecil di dekat apartemenku. Elara ternyata lebih cantik dan lebih menarik dari yang kubayangkan. Kami berbicara selama berjam-jam, tentang fotografi, musik, dan tentang hidup. Aku menceritakan tentang Anya, tentang AmorAI, dan tentang perasaanku yang campur aduk.
Elara mendengarkan dengan sabar, tanpa menghakimi. Setelah aku selesai bercerita, dia tersenyum.
"Aris," katanya. "Aku tahu ini mungkin terdengar aneh, tapi aku merasa seperti sudah mengenalmu sejak lama. AmorAI mungkin membantumu menemukanku, tapi aku percaya takdir yang mempertemukan kita."
Kata-kata Elara membuat hatiku berdebar kencang. Aku merasa seperti ada secercah harapan yang bersinar di dalam diriku. Mungkin, Maya benar. Cinta sejati tidak ada dalam simulasi, tapi cinta bisa ditemukan di dunia nyata, bahkan setelah hati yang retak.
Aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Aku tidak tahu apakah aku dan Elara akan menjalin hubungan yang langgeng. Tapi, satu hal yang pasti: AmorAI telah membantuku untuk membuka diri terhadap kemungkinan cinta, untuk percaya pada diriku sendiri, dan untuk berani menghadapi masa depan.
Mungkin, AI memang tidak bisa menjahit kembali hati yang retak secara harfiah. Tapi, AI bisa menjadi alat yang ampuh untuk membantu kita memahami diri sendiri, mengatasi trauma masa lalu, dan membuka diri terhadap cinta yang baru. Dan, mungkin, itulah yang paling penting. Karena, pada akhirnya, cinta sejati membutuhkan keberanian, kepercayaan, dan sedikit sentuhan keajaiban.