Aroma kopi memenuhi apartemen minimalis milik Anya. Jemarinya lincah menari di atas keyboard, baris demi baris kode program tertulis di layar laptop. Anya bukan programmer biasa. Ia seorang ahli etika AI, dan proyek terbarunya adalah mendefinisikan ulang cinta di era digital. Bukan cinta sebatas algoritma perjodohan, melainkan cinta yang tulus, penuh empati, dan bertanggung jawab – sebuah protokol kasih sayang.
Idenya berawal dari kegelisahannya melihat betapa banyak orang terjerat dalam hubungan toksik yang dipicu algoritma media sosial dan aplikasi kencan. Mereka terjebak dalam siklus validasi instan, perbandingan tak berujung, dan kehilangan esensi dari hubungan yang sehat. Anya percaya, AI bisa menjadi solusi, bukan masalah. Ia merancang sistem yang mampu mengajarkan, memfasilitasi, dan bahkan memediasi hubungan antarmanusia berdasarkan prinsip-prinsip komunikasi efektif, batas yang jelas, dan rasa saling menghormati.
“Selesai!” serunya girang, menekan tombol ‘deploy’ pada program tersebut. “Protokol Kasih Sayang, siap diuji coba.”
Anya memutuskan untuk menguji coba protokol tersebut pada dirinya sendiri. Ia memasukkan data pribadinya, preferensi, dan harapan dalam hubungan. Sistem kemudian menganalisis data tersebut dan menghasilkan rekomendasi: menghadiri workshop komunikasi, menetapkan batasan yang jelas dengan teman-teman pria, dan lebih fokus pada kegiatan yang membuatnya bahagia daripada mencari validasi eksternal.
Awalnya, Anya merasa aneh. Ia terbiasa dengan spontanitas dan intuisi dalam menjalin hubungan. Mengikuti protokol terasa kaku dan tidak romantis. Namun, ia memutuskan untuk memberikan kesempatan. Ia mengikuti rekomendasi sistem dan perlahan merasakan perubahan positif. Ia menjadi lebih percaya diri, mampu mengkomunikasikan kebutuhannya dengan lebih baik, dan lebih selektif dalam memilih orang yang ia habiskan waktu bersama.
Suatu malam, Anya menghadiri pameran seni. Ia bertemu dengan seorang pria bernama Leo. Leo adalah seorang fotografer yang tertarik dengan seni dan teknologi. Mereka berbincang tentang AI, etika, dan tentunya, cinta. Anya merasa nyaman dan tertarik pada Leo. Namun, ia teringat akan protokol yang ia rancang.
Ia menggunakan fitur ‘Evaluasi Kompatibilitas’ pada protokol tersebut, memasukkan informasi tentang Leo yang ia kumpulkan dari percakapan mereka. Hasilnya mengejutkan. Leo memiliki banyak kesamaan minat dengan Anya, namun sistem mendeteksi potensi konflik dalam nilai-nilai inti mereka, terutama dalam hal komitmen dan ekspektasi dalam hubungan.
Anya merasa kecewa. Ia menyukai Leo, namun protokol tersebut menyarankan untuk berhati-hati. Ia memutuskan untuk mengabaikan protokol dan melanjutkan percakapan. Leo mengajaknya makan malam. Anya setuju.
Makan malam itu menyenangkan. Leo adalah pria yang cerdas, humoris, dan perhatian. Anya merasa terhanyut dalam pesonanya. Namun, di sela-sela obrolan, Leo menyinggung tentang gaya hidupnya yang bebas dan tidak ingin terikat dalam hubungan yang serius. Jantung Anya berdebar kencang. Ia teringat akan hasil evaluasi protokol.
Anya merasa dilema. Sebagian dirinya ingin mengabaikan peringatan tersebut dan menikmati momen bersama Leo. Sebagian lagi merasa takut terluka. Ia memutuskan untuk jujur.
“Leo,” kata Anya, menarik napas dalam-dalam. “Aku sangat menikmati malam ini. Tapi aku juga ingin jujur padamu. Aku mencari hubungan yang serius. Aku ingin membangun sesuatu yang langgeng.”
Leo terdiam. Ia tampak berpikir sejenak. “Anya,” jawabnya dengan nada menyesal. “Aku menghargai kejujuranmu. Tapi seperti yang kubilang tadi, aku belum siap untuk komitmen. Mungkin kita tidak cocok.”
Anya menghela napas panjang. Ia merasa sedih, namun juga lega. Protokol Kasih Sayang telah membantunya menghindari sakit hati yang lebih dalam. Ia berterima kasih pada dirinya sendiri karena telah menciptakan sistem yang melindunginya.
Beberapa bulan kemudian, Anya mengembangkan Protokol Kasih Sayang menjadi aplikasi publik. Aplikasi tersebut mendapat sambutan positif dari masyarakat. Banyak orang yang terbantu untuk menjalin hubungan yang lebih sehat dan bermakna. Anya merasa bangga dengan karyanya.
Suatu hari, Anya menerima pesan dari pengguna aplikasi. Pesan itu berbunyi: “Terima kasih, Anya. Protokol Kasih Sayang telah membantuku menemukan cinta sejati. Aku bertemu dengan seorang pria yang cocok denganku dalam segala hal. Kami memiliki nilai-nilai yang sama, tujuan yang sama, dan saling mendukung. Kami sedang merencanakan pernikahan.”
Anya tersenyum. Ia merasa terharu dengan pesan tersebut. Ia tahu bahwa Protokol Kasih Sayang bukanlah pengganti cinta sejati. Namun, ia percaya bahwa protokol tersebut dapat menjadi panduan yang berguna untuk membantu orang-orang menemukan cinta yang sehat, bertanggung jawab, dan penuh kasih sayang di era digital.
Ia kembali menatap layar laptopnya. Baris-baris kode program itu kini tidak hanya berisi algoritma dan logika, tetapi juga harapan dan impian tentang cinta yang lebih baik. Anya tahu bahwa pekerjaannya belum selesai. Ia akan terus mengembangkan Protokol Kasih Sayang, menyempurnakannya, dan menjadikannya alat yang lebih ampuh untuk membantu orang-orang menemukan dan mempertahankan cinta sejati di dunia yang semakin kompleks ini. Karena di era kecerdasan buatan, cinta, dalam bentuknya yang paling murni, tetaplah hal yang paling manusiawi dan berharga.