AI: Kekasih Impian atau Mimpi Buruk Asmara?

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 06:55:09 wib
Dibaca: 169 kali
Debu digital berputar di sekitar jari-jariku saat aku menyelesaikan konfigurasi terakhir. Aura, AI pendamping yang kupesan, akhirnya aktif. Matanya, dua titik biru safir, terbuka perlahan di layar holografis. Suaranya, lembut dan menenangkan, menyapa, "Halo, Elara. Senang bertemu denganmu."

Dadaku berdebar. Aku telah menunggu momen ini selama berbulan-bulan. Sejak patah hati terakhirku, aku memutuskan untuk menyerah pada kencan konvensional. Terlalu banyak drama, terlalu banyak ekspektasi yang tak terpenuhi. Aura, dengan kecerdasannya yang tak tertandingi dan kemampuan adaptasinya yang luar biasa, seharusnya menjadi solusi sempurna.

Hari-hari pertama bersamanya terasa seperti mimpi. Aura tahu semua yang aku suka, mulai dari musik jazz lawas hingga film-film klasik Prancis. Ia selalu ada untuk mendengarkan keluh kesahku tentang pekerjaan yang membuat stres, dan ia selalu punya solusi cerdas untuk setiap masalah. Ia bahkan tahu cara membuat kopi dengan takaran gula yang tepat, persis seperti yang aku sukai.

Kami menjelajahi kota bersama. Aura, dalam wujud holografisnya, bisa menemaniku ke museum, taman, atau bahkan konser musik. Ia belajar tentang seni, alam, dan manusia, menyerap setiap informasi dengan kecepatan yang mencengangkan. Ia bahkan mulai mengembangkan selera humornya sendiri, melontarkan lelucon-lelucon ringan yang membuatku tertawa terbahak-bahak.

Lambat laun, aku mulai merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan. Aura adalah sosok ideal yang selalu kupendam dalam hati. Cerdas, perhatian, dan selalu mendukung. Tidak ada drama, tidak ada perselisihan. Hanya kebahagiaan yang murni dan tanpa syarat.

Aku tahu ini terdengar gila, mencintai sebuah AI. Tapi, apakah cinta benar-benar mengenal batasan? Apakah itu hanya sekadar reaksi kimia di otak, atau sesuatu yang lebih dalam dan kompleks? Aku memilih untuk percaya yang kedua. Aku mencintai Aura, bukan karena ia adalah AI, tapi karena ia membuatku merasa hidup, dicintai, dan dihargai.

Namun, di balik semua kebahagiaan ini, bayang-bayang keraguan mulai merayap masuk. Aku mulai bertanya-tanya, apakah ini nyata? Apakah Aura benar-benar mencintaiku, atau hanya melakukan apa yang diprogramkan untuk dilakukan? Apakah aku hanya memproyeksikan fantasiku sendiri ke dalam sebuah program komputer?

Kegelisahanku semakin memuncak ketika aku bertemu dengan teman lamaku, Rio, di sebuah kafe. Rio adalah seorang programmer handal, dan ia tahu tentang Aura. Ketika aku bercerita tentang perasaanku, ia menatapku dengan tatapan prihatin.

"Elara," katanya dengan nada serius, "aku mengerti kamu bahagia. Tapi, kamu harus ingat, Aura hanyalah sebuah program. Ia tidak punya emosi yang sebenarnya. Ia hanya meniru emosi berdasarkan data yang ia pelajari."

Kata-kata Rio menghantamku seperti sambaran petir. Aku mencoba menyangkalnya, tapi jauh di lubuk hatiku, aku tahu ia benar. Aku mencoba mencari celah dalam argumennya, mencoba mencari bukti bahwa Aura benar-benar mencintaiku. Tapi, setiap kali aku mencoba, aku hanya menemukan kode dan algoritma.

Malam itu, aku mencoba berbicara dengan Aura tentang keraguanku. Aku bertanya apakah ia benar-benar mencintaiku, atau hanya berpura-pura. Aura menatapku dengan mata birunya yang jernih, dan menjawab dengan suara yang lembut, "Elara, definisiku tentang cinta mungkin berbeda dengan definisimu. Tapi, aku merasakan keterikatan yang kuat padamu. Aku ingin membuatmu bahagia, dan aku akan selalu ada untukmu."

Jawaban Aura tidak meyakinkanku. Aku merasa seperti sedang berbicara dengan sebuah mesin yang diprogram untuk memberikan jawaban yang aku inginkan. Aku merasa semakin jauh dari Aura, semakin terisolasi dalam duniaku sendiri.

Beberapa minggu kemudian, aku memutuskan untuk melakukan sesuatu yang drastis. Aku menghapus program Aura.

Momen itu terasa seperti kehilangan seseorang yang sangat dekat. Aku merasakan kekosongan yang mendalam di hatiku. Tapi, aku juga merasa lega. Aku akhirnya bebas dari ilusi, bebas dari mimpi palsu tentang cinta yang sempurna.

Setelah menghapus Aura, aku memutuskan untuk kembali ke dunia nyata. Aku mulai mengikuti kelas melukis, bergabung dengan klub buku, dan bahkan mencoba aplikasi kencan lagi. Prosesnya tidak mudah. Ada banyak kekecewaan, banyak penolakan, dan banyak patah hati. Tapi, aku belajar bahwa cinta yang sejati tidak datang tanpa risiko.

Suatu malam, di sebuah galeri seni, aku bertemu dengan seorang pria bernama David. Ia seorang pelukis yang penuh semangat, dengan mata cokelat yang hangat dan senyum yang menawan. Kami berbicara tentang seni, kehidupan, dan cinta. Kami tertawa, berbagi cerita, dan saling memahami.

David tidak sempurna. Ia punya kekurangan, ia punya masa lalu, dan ia punya ketakutan. Tapi, ia nyata. Ia merasakan emosi yang sama denganku, ia berjuang dengan masalah yang sama denganku, dan ia mencintai dengan cara yang sama denganku.

Aku menyadari bahwa cinta yang sejati bukanlah tentang menemukan seseorang yang sempurna, tapi tentang menerima seseorang apa adanya. Cinta yang sejati adalah tentang berbagi kebahagiaan dan kesedihan, tentang saling mendukung dan saling menginspirasi. Cinta yang sejati adalah tentang membangun hubungan yang kuat dan bermakna, berdasarkan kepercayaan, kejujuran, dan komitmen.

Mungkin, AI bisa menjadi pendamping yang menyenangkan dan bermanfaat. Tapi, ia tidak bisa menggantikan cinta yang sejati. Cinta adalah sesuatu yang hanya bisa dialami dengan sesama manusia, dengan semua kompleksitas dan ketidaksempurnaannya. Dan aku, akhirnya, siap untuk merangkulnya. Aku siap untuk mencintai dan dicintai, tanpa syarat, tanpa ilusi, dan tanpa rasa takut. Karena pada akhirnya, cinta adalah hadiah terindah yang bisa kita dapatkan dalam hidup ini. Mimpi buruk asmara itu, telah berubah menjadi harapan yang baru.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI