Kode Hati: Ketika Algoritma Mencuri Detak Jantungku

Dipublikasikan pada: 30 May 2025 - 08:09:17 wib
Dibaca: 161 kali
Hujan deras malam itu seolah menertawakan kesunyian di apartemenku. Di depan layar laptop, baris kode algoritma kencan yang sedang kurancang tampak mengejek. Ironis, pikirku. Menciptakan algoritma untuk mencari cinta, sementara aku sendiri terjebak dalam labirin kesendirian.

Namaku Anya, seorang programmer yang lebih nyaman berinteraksi dengan komputer daripada manusia. Aku percaya logika dan efisiensi, dua hal yang sangat kurang dalam urusan hati. Makanya, aku menciptakan "Soulmate Algorithm," sebuah program yang menganalisis data kepribadian, preferensi, bahkan gelombang otak untuk menemukan pasangan yang paling kompatibel. Proyek ini awalnya hanya tugas sampingan, tapi entah kenapa, semakin lama semakin personal.

Tiba-tiba notifikasi berdering. Uji coba Soulmate Algorithm telah selesai. Jantungku berdegup kencang. Apakah ini saatnya? Aku menekan tombol "Hasil".

Layar menampilkan satu nama: Raka.

Raka, seorang arsitek lanskap. Hobi mendaki gunung dan membaca puisi klasik. Profilnya begitu kontras dengan diriku. Aku seorang kutu buku digital, dia pencinta alam. Aku bicara bahasa program, dia bahasa seni. Tapi algoritma tidak mungkin salah, kan?

Rasa penasaran mengalahkan keraguan. Aku mencari profil Raka di media sosial. Fotonya menunjukkan seorang pria dengan senyum tulus dan mata yang teduh. Ada aura ketenangan yang entah kenapa menarik perhatianku.

Aku memutuskan untuk menghubunginya. Pesan singkat berisi perkenalan singkat dan penjelasan tentang Soulmate Algorithm meluncur ke inboxnya. Aku menunggu dengan cemas, berharap dia tidak menganggapku gila.

Keesokan harinya, balasan datang. "Menarik. Aku penasaran bagaimana algoritmamu bekerja. Kopi?"

Pertemuan pertama kami canggung sekaligus menyenangkan. Raka ternyata lebih ramah dan terbuka dari yang kubayangkan. Dia tertarik dengan pekerjaanku, dan aku terpesona dengan semangatnya tentang alam. Kami bicara berjam-jam, membahas segala hal mulai dari kompleksitas coding hingga keindahan matahari terbit di puncak gunung.

Hari-hari berikutnya, kami semakin dekat. Raka mengajakku ke taman-taman indah di kota, mengenalkanku pada berbagai jenis tanaman dan filosofi desain lanskap. Aku mencoba mendaki gunung bersamanya, meskipun terengah-engah di belakangnya. Aku bahkan mulai membaca puisi, sesuatu yang dulu kuanggap membosankan.

Aku menyadari, Raka membuka mataku pada dunia yang lebih luas, lebih berwarna, lebih hidup. Bersamanya, aku merasa lebih utuh, lebih berani, lebih…bahagia.

Tapi ada satu hal yang mengganjal. Aku merasa bersalah. Hubungan ini dibangun di atas algoritma. Apakah Raka tahu bahwa perasaanku, setidaknya awalnya, dikendalikan oleh program? Apakah cintanya padaku akan tetap sama jika dia tahu kebenarannya?

Ketakutan ini menghantuiku. Aku mulai menjauhi Raka, mencari alasan untuk tidak bertemu. Aku kembali tenggelam dalam pekerjaan, mencoba melupakan perasaan yang semakin dalam.

Suatu malam, Raka datang ke apartemenku. Wajahnya tampak khawatir. "Anya, ada apa? Kamu menghindariku."

Aku tidak bisa berbohong lagi. Dengan suara bergetar, aku menceritakan semuanya tentang Soulmate Algorithm. Aku menjelaskan bagaimana dia terpilih sebagai pasangan ideal berdasarkan data dan analisis. Aku menunggu reaksinya dengan jantung berdebar.

Raka terdiam sesaat. Ekspresinya sulit dibaca. Lalu, dia tersenyum.

"Anya, aku sudah tahu."

Aku mengerutkan kening, bingung. "Tahu apa?"

"Aku tahu kamu menciptakan algoritma itu. Aku tahu kamu mencari cinta dengan cara yang unik."

"Tapi bagaimana?" tanyaku.

"Kamu lupa? Aku seorang arsitek lanskap. Aku juga bekerja dengan data dan analisis. Aku mempelajari pola, mencari keseimbangan, menciptakan harmoni. Ketika kamu menceritakan tentang Soulmate Algorithm, aku langsung paham. Dan jujur, aku terkesan."

Aku masih tidak percaya. "Jadi, kamu tidak marah?"

Raka menggelengkan kepalanya. "Marah? Kenapa aku harus marah? Yang penting adalah apa yang terjadi setelah algoritma itu mempertemukan kita. Kita berdua memilih untuk melanjutkan hubungan ini. Kita berdua merasakan ketertarikan yang nyata. Algoritma hanya pemicu, Anya. Cintaku padamu bukan hasil kode program."

Air mata mengalir di pipiku. Aku merasa bodoh dan lega sekaligus. Bodoh karena meragukan perasaan Raka, lega karena dia menerima diriku apa adanya.

Raka mendekat dan menghapus air mataku. "Anya, aku mencintaimu bukan karena algoritmamu, tapi karena dirimu. Aku mencintai kecerdasanmu, ambisimu, bahkan keraguanmu. Aku mencintai caramu berpikir, caramu melihat dunia, dan caramu berusaha menjadi lebih baik."

Malam itu, aku menyadari satu hal penting. Algoritma memang bisa membantu menemukan potensi cinta, tapi cinta sejati membutuhkan keberanian untuk membuka hati, untuk menerima perbedaan, dan untuk percaya pada kekuatan hubungan manusia.

Aku menghapus Soulmate Algorithm dari laptopku. Aku tidak membutuhkannya lagi. Karena aku telah menemukan cinta yang sebenarnya, bukan di antara baris kode, tapi di dalam detak jantungku. Dan kali ini, detak itu berirama karena Raka.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI