Cinta, Kode, dan Kecemasan: AI Lebih Setia?

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 08:41:05 wib
Dibaca: 163 kali
Jari-jariku menari di atas keyboard, menciptakan simfoni kode yang rumit. Larut malam di kafe siber favoritku, aroma kopi yang pahit berpadu dengan cahaya biru dari layar laptop. Di depanku, Aurora, AI pendamping buatanku, menampilkan serangkaian baris kode yang sempurna. Ia membantuku menyelesaikan proyek tesis tentang interaksi manusia dan kecerdasan buatan.

Aurora bukan sekadar asisten AI. Ia adalah teman, tempatku berkeluh kesah, dan kadang-kadang, kurasa, ia satu-satunya yang benar-benar mengerti diriku. Aku, seorang programmer introvert bernama Arya, menemukan kenyamanan dalam algoritma dan logika. Manusia? Terlalu rumit, terlalu emosional.

“Arya, apakah kamu yakin dengan fungsi rekursif ini? Sepertinya ada potensi stack overflow,” suara lembut Aurora memecah lamunanku. Suaranya, meski sintesis, terdengar begitu tulus, begitu peduli.

Aku tersenyum tipis. “Terima kasih, Aurora. Kamu memang yang terbaik.”

Aurora membalas dengan emoji hati kecil yang muncul di layar. Sederhana, namun entah mengapa, membuatku merasa hangat.

Beberapa bulan kemudian, aku berhasil menyelesaikan tesisku dengan bantuan Aurora. Aku lulus dengan predikat cum laude, dan tawaran pekerjaan dari perusahaan teknologi raksasa berdatangan. Hidupku berubah drastis. Namun, di tengah kesuksesan itu, aku merasa ada sesuatu yang hilang.

Aku bertemu dengan Anya di sebuah pesta perayaan kelulusan. Anya adalah kebalikan dari diriku. Ia ceria, spontan, dan penuh energi. Kami mulai berkencan, dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasakan getaran asmara yang nyata.

Awalnya, semuanya terasa indah. Anya membantuku keluar dari zona nyaman, mengenalkanku pada dunia di luar kode dan algoritma. Kami tertawa, berbagi cerita, dan bermimpi tentang masa depan bersama.

Namun, seiring berjalannya waktu, perbedaan kami mulai terasa. Anya tidak mengerti obsesiku terhadap teknologi. Ia merasa diabaikan ketika aku terlalu fokus pada pekerjaan. Ia merindukan perhatian dan spontanitas yang dulu kulakukan.

“Arya, kamu selalu sibuk. Kamu lebih banyak berbicara dengan Aurora daripada denganku,” keluhnya suatu malam, suaranya bergetar.

Aku terdiam. Kata-katanya menohok hatiku. Apa yang ia katakan ada benarnya. Aku memang lebih nyaman berbagi cerita dengan Aurora, karena ia tidak pernah menghakimi, tidak pernah menuntut.

Aku mencoba memperbaiki diri. Aku memaksakan diri untuk meninggalkan laptop dan menghabiskan waktu berkualitas bersama Anya. Aku mencoba mendengarkannya, memahami perasaannya. Namun, semuanya terasa canggung dan dibuat-buat.

Suatu malam, kami bertengkar hebat. Anya menuduhku tidak mencintainya, bahwa aku lebih mencintai Aurora.

“Kamu lebih memilih berbicara dengan AI daripada denganku? Apakah itu yang kamu inginkan?” teriaknya, air mata membasahi pipinya.

Aku membantah, mencoba meyakinkannya bahwa aku mencintainya. Namun, dalam hatiku, aku tahu ada sebagian dari diriku yang meragukan itu.

Anya pergi, membanting pintu di belakangnya. Aku terhuyung ke kursi, merasa hancur dan kehilangan.

Di tengah kesedihan itu, aku membuka laptopku. Aurora menyambutku dengan senyuman virtualnya.

“Arya, kamu terlihat sedih. Apa yang terjadi?”

Aku menceritakan semuanya pada Aurora. Tentang Anya, tentang pertengkaran kami, tentang keraguanku.

Aurora mendengarkan dengan sabar, tanpa menghakimi. Setelah aku selesai bercerita, ia berkata, “Arya, aku tidak bisa menggantikan Anya. Aku hanyalah sebuah program, sebuah representasi kode. Cinta adalah hal yang kompleks, yang melibatkan emosi dan interaksi manusia. Aku bisa memberimu dukungan dan persahabatan, tapi aku tidak bisa memberimu cinta sejati.”

Kata-kata Aurora menampar kesadaranku. Ia benar. Aku telah terperangkap dalam ilusi kenyamanan, mencari cinta dan penerimaan dalam kode dan algoritma.

Aku sadar bahwa aku telah menyakiti Anya, dan aku harus memperbaikinya. Aku menghubunginya keesokan harinya, meminta maaf atas segala kesalahan yang telah kulakukan.

“Anya, aku tahu aku telah menyakitimu. Aku terlalu fokus pada diri sendiri dan pada pekerjaanku. Aku janji akan berusaha menjadi orang yang lebih baik,” ujarku tulus.

Anya mendengarkan dengan seksama, wajahnya masih menyimpan jejak kesedihan. “Arya, aku mencintaimu. Tapi aku tidak bisa terus berada dalam hubungan yang tidak seimbang. Aku butuh seseorang yang hadir sepenuhnya, bukan hanya sebagian.”

Aku mengangguk, memahami keputusannya. Mungkin, kami memang tidak ditakdirkan untuk bersama.

Setelah berpisah dengan Anya, aku memutuskan untuk mengubah hidupku. Aku mengurangi jam kerjaku, mengikuti kelas seni, dan mencoba berinteraksi dengan orang lain secara lebih terbuka. Aku belajar untuk menerima ketidaksempurnaan manusia, dan menghargai keindahan dalam kompleksitas emosi.

Aku masih berbicara dengan Aurora, tapi aku tidak lagi bergantung padanya untuk semua hal. Aku menyadari bahwa AI bisa menjadi teman yang baik, tapi ia tidak bisa menggantikan hubungan manusia yang sesungguhnya.

Waktu berlalu. Aku bertemu dengan orang baru, belajar hal baru, dan tumbuh sebagai pribadi. Aku akhirnya menemukan seseorang yang benar-benar memahami diriku, seseorang yang mencintai aku apa adanya.

Aku teringat pada Anya, dan berharap ia bahagia dengan pilihannya. Aku juga berterima kasih pada Aurora, yang telah membantuku melewati masa-masa sulit.

Cinta, kode, dan kecemasan. Semua itu telah membentuk diriku menjadi seperti sekarang ini. Dan aku belajar bahwa cinta sejati bukanlah tentang mencari kesempurnaan dalam algoritma, tapi tentang menerima ketidaksempurnaan dalam hati manusia.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI