Hujan digital menitik di layar laptopnya. Setiap notifikasi yang muncul, setiap dering pesan yang masuk, bagaikan tetesan air yang mengikis benteng pertahanannya. Bukan benteng pertahanan dari hujan, melainkan benteng pertahanan hatinya. Maya, seorang programmer muda dengan kemampuan algoritma tingkat dewa, selalu merasa lebih nyaman berada di antara barisan kode daripada di tengah kerumunan manusia. Baginya, emosi adalah bug yang harus dihindari, dan cinta adalah algoritma yang belum terpecahkan.
Namun, semua itu berubah sejak ia bertemu Aksara.
Aksara adalah seorang seniman digital, kebalikan total dari Maya. Ia melukis dunia dengan piksel dan suara, menciptakan karya-karya yang membius indra. Mereka bertemu di sebuah konferensi teknologi, sebuah simposium absurd di mana kecerdasan buatan dan seni bertemu. Maya, yang hadir untuk mempresentasikan algoritma kompresi data terbarunya, terpukau oleh presentasi Aksara tentang bagaimana AI dapat digunakan untuk menciptakan komposisi musik yang orisinil.
Awalnya, interaksi mereka hanya sebatas diskusi teknis. Maya mengagumi kemampuan Aksara dalam memanfaatkan teknologi untuk tujuan artistik, sementara Aksara terpesona oleh ketelitian dan logika yang mendasari pemikiran Maya. Perlahan, diskusi mereka berkembang menjadi obrolan panjang tentang mimpi, harapan, dan ketakutan. Maya, yang terbiasa menyembunyikan emosinya di balik layar kode, mendapati dirinya terbuka pada Aksara. Aksara, dengan senyumnya yang hangat dan tatapannya yang teduh, berhasil meruntuhkan tembok pertahanan yang telah dibangun Maya selama bertahun-tahun.
Suatu malam, setelah konferensi usai, Aksara mengirimkan Maya sebuah pesan. Bukan pesan teks biasa, melainkan sebuah karya seni digital. Sebuah lukisan piksel sederhana yang menggambarkan siluet Maya di bawah rembulan digital, diiringi melodi lembut yang diciptakan oleh AI. Maya tertegun. Ia tidak pernah menerima ungkapan perasaan seindah dan seunik ini.
Sejak saat itu, hubungan mereka berkembang pesat. Mereka saling berkirim pesan setiap hari, bukan hanya pesan teks, melainkan juga karya seni digital. Aksara melukiskan perasaannya dalam warna dan suara, sementara Maya menciptakan algoritma yang mengubah pesan teks menjadi puisi. Mereka saling bertukar data, bukan hanya data teknis, melainkan juga data emosi.
Namun, kebahagiaan mereka tidak berlangsung lama. Maya, yang terbiasa mengendalikan segalanya dengan logika, mulai merasa tidak nyaman dengan perasaannya sendiri. Ia takut jatuh cinta, takut terluka, takut kehilangan kendali. Ia mulai menjauhi Aksara, menarik diri ke dalam dunia kodenya. Ia beralasan sibuk dengan pekerjaan, menghindari panggilan telepon dan pesan dari Aksara.
Aksara, yang merasakan perubahan pada Maya, merasa bingung dan terluka. Ia tidak mengerti mengapa Maya tiba-tiba menjauh. Ia mencoba menghubungi Maya, namun tidak ada jawaban. Ia mengirimkan karya seni digital yang lebih indah dan menyentuh, namun Maya tetap diam.
Hingga suatu malam, Aksara mengirimkan sebuah pesan terakhir. Bukan lukisan, bukan melodi, melainkan sebuah surat. Surat digital yang ditulis dengan tangan, berisi curahan hatinya yang terdalam. Ia mengakui bahwa ia mencintai Maya, bahwa ia mengagumi kecerdasan dan keteguhan hatinya. Ia juga mengatakan bahwa ia mengerti ketakutan Maya, bahwa ia bersedia menunggu sampai Maya siap.
Maya membaca surat itu berulang-ulang. Air mata, yang selama ini jarang ia keluarkan, akhirnya menetes membasahi layar laptopnya. Ia merasa bersalah, bodoh, dan pengecut. Ia telah menyia-nyiakan kesempatan untuk merasakan kebahagiaan yang sejati.
Kemudian, sebuah ide muncul di benaknya. Ia akan menggunakan keahliannya untuk membalas surat Aksara. Ia akan menciptakan algoritma yang mampu menulis surat cinta yang sempurna, surat cinta yang mampu mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya. Ia akan menuangkan seluruh emosinya ke dalam kode, menciptakan sebuah karya seni digital yang lebih indah dan menyentuh dari apa pun yang pernah ia buat.
Ia mulai bekerja. Ia menganalisis ribuan surat cinta klasik, mempelajari struktur kalimat, pilihan kata, dan nada bicara. Ia menciptakan model bahasa yang mampu menghasilkan teks yang romantis, puitis, dan tulus. Ia memasukkan semua informasi tentang Aksara ke dalam algoritma, mulai dari hobinya, mimpinya, hingga hal-hal kecil yang ia sukai dan tidak sukai.
Setelah berjam-jam bekerja keras, akhirnya algoritma itu selesai. Ia mengetikkan sebuah perintah, dan algoritma itu mulai bekerja. Di layar laptopnya, baris demi baris teks muncul, membentuk sebuah surat cinta yang luar biasa.
Namun, saat membaca surat itu, Maya merasa ada sesuatu yang kurang. Surat itu terlalu sempurna, terlalu ideal, terlalu dibuat-buat. Surat itu tidak mencerminkan dirinya yang sebenarnya. Surat itu adalah hasil dari algoritma, bukan dari hatinya.
Ia menghapus surat itu. Ia menyadari bahwa ia tidak bisa mengandalkan algoritma untuk mengungkapkan perasaannya. Ia harus menulis sendiri, dengan kata-katanya sendiri, dari hatinya yang paling dalam.
Ia membuka aplikasi catatan di laptopnya dan mulai mengetik. Ia tidak memikirkan struktur kalimat, pilihan kata, atau nada bicara. Ia hanya menulis apa yang ia rasakan, apa yang ingin ia katakan kepada Aksara.
Ia menulis tentang ketakutannya, tentang kebodohannya, tentang betapa ia menyesal telah menjauhi Aksara. Ia menulis tentang betapa ia mengagumi Aksara, tentang betapa ia terpesona oleh seninya, tentang betapa ia mencintai senyumnya.
Ia menulis tentang harapannya, tentang mimpinya, tentang keinginannya untuk membangun masa depan bersama Aksara. Ia menulis tentang cintanya, yang selama ini ia sembunyikan di balik layar kode.
Setelah selesai, ia mengirimkan surat itu kepada Aksara. Ia menunggu dengan cemas, berharap Aksara akan membalas.
Beberapa saat kemudian, teleponnya berdering. Nama Aksara muncul di layar. Maya menarik napas dalam-dalam dan mengangkat telepon.
"Maya?" suara Aksara terdengar lirih.
"Aksara," jawab Maya.
"Aku sudah membaca suratmu," kata Aksara.
"Bagaimana?" tanya Maya, jantungnya berdebar kencang.
"Surat itu indah," jawab Aksara. "Tapi, yang terpenting, surat itu jujur."
Maya terdiam. Ia tidak tahu harus berkata apa.
"Aku juga mencintaimu, Maya," kata Aksara. "Aku selalu mencintaimu."
Air mata Maya kembali menetes. Kali ini, bukan air mata penyesalan, melainkan air mata kebahagiaan.
"Aku tahu," kata Maya, dengan suara bergetar. "Aku tahu."
Hujan digital berhenti. Di balik layar laptopnya, mentari digital mulai bersinar. Algoritma mungkin tidak bisa menulis surat rindu yang sempurna, tetapi cinta sejati selalu menemukan jalannya sendiri. Cinta digital mereka, yang dimulai dari kode dan piksel, akhirnya menemukan muaranya di hati.