Jari-jemariku lincah menari di atas keyboard. Baris demi baris kode program terangkai menjadi sebuah algoritma rumit, sebuah sistem kecerdasan buatan yang aku beri nama “Amara”. Tujuan utamanya sederhana, namun ambisius: mencari cinta sejati. Bukan untukku, tentu saja. Aku, Adrian, seorang programmer berusia 28 tahun yang lebih nyaman berinteraksi dengan barisan kode daripada manusia, merasa bahwa cinta bukanlah keahlianku.
Aku lebih tertarik menciptakan Amara sebagai sebuah eksperimen. Bisakah AI, dengan menganalisis jutaan data profil, preferensi, dan pola interaksi, menemukan pasangan yang benar-benar cocok untuk seseorang? Bisakah algoritma mengalahkan intuisi, firasat, dan semua keajaiban tak terduga yang konon mewarnai kisah cinta manusia?
Target pertamaku adalah Luna. Sahabatku sejak kuliah, seorang wanita cerdas, cantik, dan sukses sebagai arsitek. Tapi ironisnya, di usianya yang menginjak 30, Luna masih saja sendiri. Ia sibuk mengejar karier dan selalu gagal dalam urusan percintaan. Katanya, ia selalu bertemu dengan pria yang "tidak tepat".
"Adrian, kali ini serius, ya," Luna berkata padaku suatu sore sambil menyesap teh chamomile di apartemennya yang minimalis. "Aku lelah dengan kencan buta yang berakhir mengenaskan. Kalau Amara gagal juga, mungkin aku memang ditakdirkan jadi perawan tua."
Aku terkekeh. "Jangan pesimis begitu. Amara sudah menganalisis semua profilmu. Ia tahu persis apa yang kamu inginkan dan butuhkan."
Amara bekerja dengan sistem yang kompleks. Ia mempelajari riwayat kencan Luna, mengurai buku-buku favoritnya, menganalisis musik yang didengarkannya, bahkan sampai memantau postingan media sosialnya. Berdasarkan data itu, Amara menghasilkan daftar calon pasangan potensial.
Setelah melalui serangkaian proses seleksi yang ketat, Amara mengerucutkan daftar itu menjadi tiga nama. Yang pertama adalah Rian, seorang pengusaha muda yang sukses dan memiliki hobi traveling. Yang kedua adalah Arya, seorang penulis novel yang introvert dan gemar berdiskusi tentang filsafat. Dan yang ketiga adalah Bayu, seorang fotografer alam yang artistik dan memiliki jiwa petualang.
Luna setuju untuk berkencan dengan ketiganya. Aku memantau setiap kencan secara diam-diam melalui video call yang disamarkan. Amara memberikan panduan untuk Luna, mengirimkan pesan singkat berisi tips dan trik untuk memenangkan hati para pria itu.
Kencan pertama dengan Rian berjalan lancar. Mereka memiliki kesamaan dalam hal ambisi dan gaya hidup. Luna terlihat senang dan bersemangat. Namun, setelah beberapa kali kencan, Luna merasa ada sesuatu yang hilang. "Dia terlalu perfeksionis, Adrian," keluhnya suatu malam. "Semuanya serba terencana dan terstruktur. Aku merasa seperti sedang menjalankan proyek bisnis, bukan menjalin hubungan."
Kencan dengan Arya lebih menarik. Mereka berdiskusi tentang buku-buku klasik, bertukar pikiran tentang makna kehidupan, dan tertawa bersama. Luna merasa nyaman dan dihargai. Tapi, Arya terlalu pendiam dan sulit mengungkapkan perasaannya. Luna membutuhkan seseorang yang lebih ekspresif dan romantis.
Kencan dengan Bayu adalah yang paling mengejutkan. Mereka mendaki gunung bersama, berjemur di pantai, dan menikmati keindahan alam. Luna merasa bebas dan bahagia. Bayu mampu membangkitkan sisi petualang dalam diri Luna yang selama ini terpendam. Namun, Luna merasa Bayu terlalu idealis dan kurang realistis.
Setelah melalui semua kencan, Luna merasa bingung. "Adrian, aku tidak tahu lagi. Amara memang menemukan pria-pria yang secara teori cocok denganku. Tapi, tidak ada satupun yang membuatku merasakan 'klik' yang sesungguhnya."
Aku mulai meragukan efektivitas Amara. Apakah cinta sejati benar-benar bisa ditemukan melalui algoritma? Apakah ada faktor X yang tidak bisa diukur dan diprediksi oleh kecerdasan buatan?
Aku memutuskan untuk mempelajari lebih dalam tentang Luna. Aku mulai menghabiskan lebih banyak waktu bersamanya, bukan hanya sebagai programmer dan klien, tapi sebagai teman. Kami berbicara tentang mimpi, ketakutan, dan harapan kami. Aku menyadari bahwa Amara hanya melihat permukaan Luna, profil dan preferensinya. Amara tidak melihat ke dalam hatinya.
Suatu malam, saat kami sedang menonton film di apartemennya, Luna bercerita tentang masa kecilnya. Ia tumbuh besar di sebuah desa kecil yang dikelilingi oleh sawah dan hutan. Ia selalu bermimpi untuk pergi ke kota besar dan menjadi arsitek terkenal. Tapi di lubuk hatinya, ia merindukan kesederhanaan dan ketenangan desa halamannya.
Tiba-tiba, aku tersadar. Amara telah mengabaikan satu aspek penting dari diri Luna: kerinduannya pada masa lalu.
Aku kembali ke laboratoriumku dan memodifikasi algoritma Amara. Aku menambahkan variabel baru yang berkaitan dengan nilai-nilai tradisional, nostalgia, dan kerinduan pada kampung halaman. Setelah beberapa jam melakukan uji coba, Amara menghasilkan satu nama baru: Bapak Sudirman.
Bapak Sudirman adalah seorang petani berusia 60 tahun yang tinggal di desa tempat Luna dibesarkan. Ia adalah teman baik kakek Luna dan sering bercerita tentang dongeng-dongeng masa lalu.
Luna awalnya menolak ide untuk berkencan dengan Bapak Sudirman. "Adrian, kamu gila ya? Aku bukan mencari kakek, tapi pacar!"
Tapi, aku bersikeras. Aku meyakinkan Luna untuk memberikan Bapak Sudirman kesempatan. "Siapa tahu, Luna. Mungkin dia adalah orang yang selama ini kamu cari."
Luna akhirnya setuju. Aku mengatur pertemuan antara Luna dan Bapak Sudirman di sebuah kafe sederhana di desa. Aku tidak ikut campur, aku hanya memantau dari jauh.
Setelah beberapa jam, aku melihat Luna dan Bapak Sudirman tertawa bersama. Mereka berbicara tentang sawah, hujan, dan kenangan masa kecil. Luna terlihat bahagia dan tenang.
Beberapa bulan kemudian, aku menerima undangan pernikahan dari Luna. Ia menikah dengan Bapak Sudirman.
Aku tersenyum. Amara mungkin tidak menemukan cinta sejati untuk Luna secara langsung. Tapi, ia telah membantuku memahami apa yang sebenarnya dicari oleh Luna. Ia telah membantuku melihat ke dalam hatinya.
Aku belajar bahwa cinta sejati bukanlah sesuatu yang bisa ditemukan melalui algoritma. Ia adalah sesuatu yang tumbuh dan berkembang melalui interaksi manusia, melalui empati, pengertian, dan penerimaan.
Dan mungkin, itulah keajaiban yang tidak akan pernah bisa dipahami oleh kecerdasan buatan. Walaupun begitu, aku merasa bangga karena Amara, pada akhirnya, membantu Luna menemukan kebahagiaannya. Aku pun merasa sedikit lebih mengerti tentang cinta. Mungkin, suatu hari nanti, aku akan mencoba menggunakan Amara untuk mencari cinta sejati untuk diriku sendiri. Tapi untuk sekarang, aku akan menikmati kebahagiaan Luna dan Bapak Sudirman. Kebahagiaan yang, ironically, ditemukan bukan di era digital, melainkan di tengah hamparan sawah yang hijau.