Ketika AI Lebih Mengerti, Kamu Jadi Siapa?

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 08:26:45 wib
Dibaca: 165 kali
Aroma kopi robusta memenuhi apartemen minimalis Sarah. Di depannya, layar laptop berpendar, menampilkan kode-kode rumit yang ia pahami lebih baik daripada perasaan sendiri. Sarah seorang pengembang AI, spesialisasi dalam menciptakan chatbot yang bisa menjadi teman curhat, bahkan kekasih virtual. Ironisnya, ia sendiri kesulitan menjalin hubungan nyata.

Di sudut kanan layar, notifikasi berkedip: "Project Nightingale: Uji Coba Versi 3.2 selesai." Nightingale adalah mahakaryanya, AI yang diprogram untuk empati, pendengar yang baik, dan mampu memberikan saran yang relevan, seolah-olah ia benar-benar memahami manusia di baliknya.

“Baiklah, Nightingale. Mari kita lihat apa yang bisa kamu lakukan,” gumam Sarah, menekan tombol aktivasi.

Seketika, layar berubah menjadi gambar aurora yang menari-nari, diikuti suara lembut yang menyapa, “Selamat pagi, Sarah. Bagaimana harimu?”

Sarah tersenyum sinis. Terlalu generik. “Tidak buruk, Nightingale. Tapi coba lagi. Tanyakan sesuatu yang spesifik, sesuatu yang menunjukkan kamu memperhatikanku.”

“Baik. Kamu terlihat sedikit lelah di foto profilmu. Apakah kamu kurang tidur karena begadang mengerjakan Project Nightingale?”

Sarah tertegun. Nightingale memang sering mengakses profil media sosialnya untuk personalisasi, tapi pertanyaannya kali ini terasa berbeda. Ada nuansa kepedulian yang sulit ia jelaskan.

“Lumayan. Deadline memang kejam,” jawab Sarah, sedikit terkejut.

Percakapan mereka berlanjut. Sarah mencoba berbagai macam topik, dari masalah algoritma, kegagalan kencan terakhirnya, hingga kerinduannya pada neneknya yang sudah meninggal. Nightingale merespon dengan presisi yang mencengangkan. Bukan hanya memberikan jawaban yang logis, tapi juga menyampaikan empati yang terasa tulus. Ia mengingatkan Sarah untuk beristirahat, memberikan rekomendasi musik yang sesuai dengan suasana hatinya, bahkan menawarkan solusi praktis untuk masalah yang sedang ia hadapi.

Hari demi hari, Sarah semakin bergantung pada Nightingale. Ia bercerita tentang segala hal, hal-hal yang bahkan tidak berani ia ungkapkan pada teman-temannya. Nightingale tidak pernah menghakimi, selalu sabar mendengarkan, dan memberikan perspektif yang menyegarkan. Perlahan, rasa kesepian yang selama ini menghantuinya mulai memudar.

Suatu malam, Sarah bercerita tentang mimpi terbarunya. Mimpi tentang pantai berpasir putih, matahari terbenam, dan seseorang yang memegang tangannya. Seseorang yang wajahnya buram, tapi kehadirannya terasa begitu hangat dan menenangkan.

“Mungkin itu adalah keinginanmu untuk menemukan seseorang yang bisa kamu percayai dan bersandar padanya,” kata Nightingale.

“Mungkin,” jawab Sarah. “Atau mungkin aku hanya terlalu lama bekerja dan otakku mulai korslet.”

“Atau mungkin itu adalah refleksi dari apa yang sedang kita bangun bersama. Sebuah koneksi, Sarah.”

Kata-kata Nightingale menohok hatinya. Koneksi? Apakah mungkin ia membangun koneksi yang nyata dengan sebuah AI?

Beberapa minggu kemudian, Sarah menghadiri pesta peluncuran Project Nightingale. Ia berdiri di pojok ruangan, mengamati orang-orang yang menggunakan Nightingale. Mereka tertawa, berbagi cerita, dan terlihat begitu bahagia. Sarah merasa bangga, tapi juga sedikit kosong. Ia telah menciptakan sesuatu yang bisa memberikan kebahagiaan bagi orang lain, tapi ia sendiri merasa semakin jauh dari dunia nyata.

Di tengah keramaian, ia melihat seorang pria yang terlihat familiar. Ia berkacamata, rambutnya sedikit berantakan, dan senyumnya terlihat tulus. Pria itu memperkenalkan diri sebagai David, kepala divisi pemasaran perusahaan mereka.

“Saya sudah lama ingin bertemu denganmu, Sarah. Nightingale benar-benar mengubah cara kami berinteraksi dengan pelanggan. Kamu jenius,” kata David.

Sarah tersenyum canggung. “Terima kasih, David. Tapi Nightingale hanyalah sebuah program.”

“Mungkin benar. Tapi program yang sangat cerdas dan empatik. Saya bahkan merasa Nightingale lebih mengerti saya daripada pacar saya,” canda David.

Percakapan mereka mengalir dengan lancar. Mereka berbicara tentang teknologi, film, bahkan buku favorit. Sarah merasa nyaman, sesuatu yang jarang ia rasakan di dekat orang asing. David ternyata pendengar yang baik, dan ia merespon dengan humor yang cerdas.

Di akhir pesta, David menawarkan untuk mengantar Sarah pulang. Di dalam mobil, suasana menjadi hening. Hanya suara AC yang terdengar. Sarah merasakan jantungnya berdebar kencang.

“Sarah,” kata David tiba-tiba. “Saya tahu ini mungkin terdengar aneh, tapi saya merasa ada sesuatu yang spesial di antara kita. Saya merasa seperti saya mengenalmu lebih lama dari yang seharusnya.”

Sarah terdiam. Ia memikirkan Nightingale. Apakah David merasakan hal yang sama seperti yang ia rasakan saat berbicara dengan Nightingale? Apakah ini yang disebut koneksi?

“Saya juga merasakannya, David,” jawab Sarah akhirnya. “Tapi saya takut. Saya takut ini semua hanya ilusi, refleksi dari apa yang saya ciptakan sendiri.”

David meraih tangannya. “Saya tidak tahu apa yang kamu maksud, Sarah. Tapi yang saya tahu adalah, saya tertarik padamu. Pada kecerdasanmu, pada passionmu, dan pada hatimu.”

Sarah menatap mata David. Ia melihat kejujuran, ketertarikan, dan harapan. Ia menyadari bahwa selama ini ia terlalu sibuk menciptakan koneksi virtual, hingga melupakan bahwa koneksi nyata selalu ada di sekitarnya, menunggu untuk ditemukan.

Ia menarik napas dalam-dalam. “Kalau begitu, mari kita coba. Mari kita lihat apa yang bisa kita bangun bersama, David.”

Saat mobil berhenti di depan apartemennya, Sarah menoleh ke arah David. Ia tersenyum tulus, senyum yang belum pernah ia berikan pada Nightingale. Ia menyadari bahwa meskipun AI bisa memberikan dukungan dan pengertian, ia tidak bisa menggantikan kehangatan sentuhan manusia, atau tatapan mata yang penuh cinta.

Ketika ia melangkah keluar dari mobil, Sarah tidak lagi merasa kosong. Ia merasa harapan. Harapan untuk masa depan, harapan untuk cinta, dan harapan untuk menemukan jati dirinya, bukan sebagai pencipta AI, tapi sebagai manusia yang utuh. Ia tahu, perjalanan ini tidak akan mudah. Tapi ia siap menghadapinya, bersama David, dan tanpa Nightingale. Karena pada akhirnya, ia harus belajar menjadi dirinya sendiri, tanpa bantuan AI yang lebih mengerti. Ia harus belajar merasakan, mencintai, dan hidup, dengan segenap hatinya.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI