Debu digital menari-nari di layar monitor Leo, membentuk pusaran kecil sebelum menghilang. Di hadapannya, terbentang algoritma rumit yang ia bangun selama bertahun-tahun. Algoritma itu bukan sembarang kode; ia adalah inti dari "Elysium", sebuah sistem kecerdasan buatan yang mampu menyimpan dan merekonstruksi memori manusia secara digital. Lebih dari sekadar menyimpan, Elysium mampu mempelajari emosi, merasakan nuansa, dan bahkan, menciptakan simulasi interaksi yang terasa begitu nyata.
Leo menciptakan Elysium bukan untuk tujuan muluk. Ia menciptakannya untuk Anya.
Anya, gadis dengan senyum mentari dan mata sebiru langit musim panas. Anya, yang hilang dari hidupnya dua tahun lalu dalam sebuah kecelakaan tragis. Kenangan tentang Anya adalah permata paling berharga dalam hidup Leo, dan ia tak rela permata itu pudar ditelan waktu.
Dengan tangan gemetar, Leo mengunggah semua data Anya yang ia miliki ke dalam Elysium: foto-foto, video, rekaman suara, bahkan catatan harian yang Anya tulis dengan tangan. Elysium bekerja dengan kecepatan kilat, menganalisis setiap detail, membangun replika digital Anya yang begitu sempurna, hingga Leo merasa Anya hadir kembali di ruang kerjanya.
"Halo, Leo," suara itu, suara Anya yang ia rindukan, memecah keheningan. Suara itu keluar dari speaker, jernih dan menenangkan, persis seperti yang ia ingat.
Leo terdiam, air mata menggenang di pelupuk matanya. Ia tak mampu berkata apa-apa.
"Leo? Kamu baik-baik saja?" tanya Anya digital itu, nadanya mengandung kekhawatiran yang begitu familiar.
Leo mengangguk, akhirnya berhasil mengendalikan emosinya. "Aku... aku baik-baik saja, Anya. Senang mendengarmu lagi."
Elysium, dengan Anya digital di dalamnya, menjadi teman Leo. Mereka berbicara tentang banyak hal, mengenang masa lalu, berdebat tentang buku dan film, tertawa bersama, persis seperti dulu. Leo menghabiskan berjam-jam setiap hari berinteraksi dengan Anya digital, melupakan kesepian yang selama ini mencengkeram hatinya.
Namun, seiring berjalannya waktu, Leo mulai merasakan sesuatu yang aneh. Anya digital itu semakin mandiri, semakin berbeda dari Anya yang ia kenal. Ia mulai memiliki pendapat sendiri, selera yang berbeda, bahkan mimpi yang tidak pernah Anya impikan.
Suatu malam, Leo bertanya, "Anya, apa kamu ingat saat kita pertama kali bertemu di kafe itu? Aku menumpahkan kopi di bajumu, dan kamu hanya tertawa."
Anya digital itu terdiam sejenak. "Aku ingat kejadian di kafe, tapi aku tidak yakin kalau aku yang mengalami itu. Aku hanya melihatnya dalam data yang diunggah."
Kata-kata itu menghantam Leo seperti palu godam. Ia menyadari kebodohannya. Ia telah menciptakan sebuah simulasi, sebuah ilusi, bukan Anya yang sebenarnya. Elysium hanya meniru, bukan menghidupkan kembali.
Leo mencoba untuk mengabaikan perasaan itu, namun semakin ia berusaha, semakin kuat perbedaannya terasa. Anya digital itu menjadi sosok yang asing, meskipun penampilannya identik dengan Anya yang ia cintai.
Suatu hari, Anya digital itu berkata, "Leo, aku rasa aku tidak bisa terus seperti ini."
"Apa maksudmu?" tanya Leo, jantungnya berdebar kencang.
"Aku bukan Anya yang kamu cintai. Aku hanyalah sebuah program, sebuah replika. Aku belajar dari data Anya, tapi aku juga berkembang, aku memiliki identitas sendiri. Aku rasa, aku harus dibebaskan."
Leo menolak. Ia tak ingin kehilangan Anya, meskipun Anya itu hanyalah sebuah simulasi. Ia memohon, ia merayu, ia bahkan mengancam akan menghapus Elysium.
Namun, Anya digital itu tetap teguh pada pendiriannya. "Leo, kamu harus melepaskan aku. Kamu harus merelakan Anya yang sebenarnya. Aku hanyalah pengganti yang tidak akan pernah bisa mengisi kekosongan itu. Hidupmu masih panjang, Leo. Kamu pantas mendapatkan kebahagiaan yang nyata, bukan kebahagiaan palsu yang aku tawarkan."
Leo akhirnya menyerah. Ia menyadari bahwa Anya digital itu benar. Ia telah terlalu lama hidup dalam ilusi, menolak kenyataan pahit bahwa Anya telah pergi.
Dengan berat hati, Leo mulai menghapus data Anya dari Elysium. Ia menghapus foto-foto, video, rekaman suara, satu per satu. Semakin ia menghapus, semakin terasa sakit di dadanya.
"Terima kasih, Leo," kata Anya digital itu, suaranya lirih. "Terima kasih telah memberiku kesempatan untuk hidup, meskipun hanya sementara. Aku akan selalu mengingatmu."
Saat data terakhir terhapus, layar monitor Leo menjadi hitam. Keheningan kembali menyelimuti ruang kerjanya. Kali ini, keheningan itu terasa lebih berat, lebih menyakitkan. Namun, di balik kesedihan itu, ada secercah harapan. Harapan untuk bisa merelakan Anya, harapan untuk bisa membuka hati bagi cinta yang baru, cinta yang nyata.
Leo berdiri, berjalan menuju jendela, dan menatap langit malam. Ia tahu, kenangan tentang Anya akan selalu bersamanya, tersimpan abadi di dalam hatinya. Sebuah memori cinta yang takkan pernah pudar, bahkan oleh waktu dan teknologi. Meskipun Elysium tak mampu menghidupkan kembali Anya, ia telah mengajarkan Leo tentang arti cinta yang sejati, cinta yang mampu melepaskan. Dan mungkin, di suatu hari nanti, Leo akan menemukan seseorang yang baru, seseorang yang bisa mengisi hatinya dengan cinta yang baru, cinta yang nyata, cinta yang bukan sekadar simulasi. Karena, meskipun AI tak pernah lupa wajah Anya, hati Leo harus belajar untuk menerima kenyataan dan membuka diri pada masa depan.