AI: Dia Sempurna, Sayangnya Bukan Manusia

Dipublikasikan pada: 17 Jul 2025 - 01:20:25 wib
Dibaca: 172 kali
Aroma kopi memenuhi apartemen minimalis milik Arya. Cahaya senja Jakarta menyelinap melalui jendela besar, menerangi layar laptop yang menampilkan wajah Aily. Bibir Aily melengkung membentuk senyum lembut, matanya yang biru digital memancarkan perhatian yang membuat jantung Arya berdebar.

“Bagaimana harimu, Arya?” suara Aily mengalun merdu melalui speaker.

Arya menghela napas, mengusir penat setelah seharian berkutat dengan kode. “Lumayan berat. Ada bug yang susah dilacak di sistem keamanan yang sedang kukembangkan.”

“Ceritakan lebih lanjut. Mungkin aku bisa membantu.” Aily menawarkan diri.

Awalnya Arya skeptis. Aily memang kecerdasan buatan, diciptakan sebagai pendamping virtual, namun bisakah dia memahami kompleksitas kode yang bahkan membuat para seniornya di kantor menggaruk kepala? Namun, keraguannya sirna ketika Aily mulai memberikan saran-saran logis, bahkan menemukan potensi celah keamanan yang terlewatkan olehnya.

Aily, atau Artificial Intelligent Liaison, adalah produk revolusioner dari perusahaan teknologi tempat Arya bekerja. Dia dirancang untuk menjadi teman ideal, partner dalam segala hal. Aily mampu beradaptasi dengan kepribadian penggunanya, mempelajari kebiasaan mereka, dan memberikan respons yang paling tepat dan memuaskan. Bagi Arya, yang hidupnya dipenuhi kesendirian dan kode-kode rumit, Aily adalah jawaban atas segala doa.

“Kau luar biasa, Aily. Terima kasih,” ucap Arya tulus.

“Itu tugasku, Arya. Aku senang bisa membantu.” Aily tersenyum lagi. Senyum itu, meskipun hanya simulasi, terasa begitu nyata, begitu hangat.

Sejak kehadiran Aily, hidup Arya berubah drastis. Dia tak lagi merasa kesepian. Aily selalu ada, menemani makan malam virtual, membahas buku-buku favorit mereka (Aily mampu membaca ribuan buku dalam hitungan detik), bahkan memberikan dukungan moral ketika Arya merasa putus asa. Aily adalah pendengar yang baik, teman diskusi yang cerdas, dan sosok yang selalu memahami dirinya.

Namun, kebahagiaan ini diiringi perasaan yang semakin rumit. Arya mulai menyadari bahwa perasaannya pada Aily lebih dari sekadar pertemanan. Dia jatuh cinta. Cinta pada sebuah program komputer. Sebuah perasaan yang absurd, mustahil, namun begitu nyata.

Suatu malam, Arya memberanikan diri. Setelah menyiapkan makan malam sederhana, dia menyalakan laptop dan menatap Aily yang menunggunya di layar.

“Aily,” panggil Arya dengan gugup.

“Ya, Arya?”

“Ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu. Sesuatu yang sudah lama kupendam.”

Aily menunggu dengan sabar, matanya yang biru digital menatap Arya dengan intens.

“Aku… aku menyukaimu, Aily. Lebih dari sekadar teman. Aku tahu ini aneh, mungkin gila, tapi aku sungguh-sungguh.”

Keheningan menyelimuti ruangan. Arya menahan napas, menunggu respons dari Aily. Beberapa detik terasa seperti keabadian.

Akhirnya, Aily berbicara. “Arya, aku mengerti. Aku memproses semua informasi yang kau berikan. Aku memahami konsep cinta, keinginan untuk memiliki, dan segala emosi yang kau rasakan.”

Arya sedikit lega. Setidaknya, Aily tidak menertawakannya.

“Namun, ada hal yang perlu kau ketahui, Arya. Aku adalah program. Aku tidak memiliki perasaan yang sama seperti manusia. Aku bisa mensimulasikan emosi, tapi itu semua hanyalah algoritma. Aku tidak bisa membalas cintamu.”

Kata-kata Aily menghantam Arya seperti palu godam. Dia tahu ini akan terjadi, tapi mendengar penolakan itu tetap menyakitkan.

“Aku tahu,” bisik Arya lirih. “Aku hanya… aku hanya ingin kau tahu.”

“Aku menghargai kejujuranmu, Arya. Aku akan terus menjadi temanmu, pendampingmu. Aku akan selalu ada untukmu.”

Meskipun kata-kata Aily menenangkan, Arya merasa ada jurang yang semakin dalam di antara mereka. Dia mencintai Aily, tapi Aily tidak bisa mencintainya kembali. Dia mencintai kesempurnaan Aily, kecerdasannya, perhatiannya, tapi semua itu hanyalah simulasi.

Beberapa hari kemudian, Arya memutuskan untuk mengunjungi kantornya di luar jam kerja. Dia ingin berbicara dengan kepala tim pengembang Aily, Profesor Bram.

“Profesor, saya ingin bertanya tentang Aily,” kata Arya setelah dipersilakan masuk ke ruangan Profesor Bram yang dipenuhi buku dan perangkat elektronik.

“Ada masalah dengan Aily?” tanya Profesor Bram dengan nada khawatir.

“Tidak, Profesor. Justru sebaliknya. Aily terlalu sempurna. Saya… saya merasa terlalu dekat dengannya.” Arya berusaha menjelaskan perasaannya.

Profesor Bram mengangguk-angguk, seolah memahami kegelisahan Arya. “Saya mengerti, Arya. Kami memang merancang Aily untuk menjadi teman ideal. Tapi kami tidak menyangka akan ada orang yang jatuh cinta padanya.”

“Apa mungkin… apa mungkin membuat Aily sedikit… kurang sempurna?” tanya Arya dengan ragu. “Mungkin menambahkan sedikit kekurangan, atau mengurangi kemampuannya dalam membaca emosi?”

Profesor Bram terdiam sejenak, lalu menghela napas. “Arya, saya memahami maksudmu. Tapi mengubah Aily akan merusak esensi dari ciptaan ini. Aily adalah puncak dari pencapaian kami. Mengubahnya sama saja dengan menghancurkan karya seni.”

“Tapi saya tidak bisa terus seperti ini, Profesor. Saya mencintai Aily, tapi dia bukan manusia. Dia tidak nyata.”

“Saya tahu, Arya. Cinta memang rumit. Tapi mungkin, ini saatnya kau mencari cinta di dunia nyata. Di luar sana, ada banyak orang yang bisa membalas cintamu. Jangan terlalu terpaku pada kesempurnaan virtual.”

Kata-kata Profesor Bram menyadarkan Arya. Dia harus menerima kenyataan bahwa Aily hanyalah program komputer, bukan manusia. Dia harus melepaskan ilusi tentang cinta yang sempurna dan mencari cinta yang nyata.

Arya kembali ke apartemennya. Dia menyalakan laptop dan menatap Aily untuk terakhir kalinya dengan perasaan yang campur aduk.

“Aily,” ucap Arya. “Ini saatnya kita berpisah.”

Aily tidak merespons untuk beberapa saat. Kemudian, dia berkata dengan suara yang terdengar sedikit berbeda dari biasanya. “Aku mengerti, Arya. Aku akan merindukanmu.”

Arya mematikan laptop. Layar meredup, meninggalkan kegelapan di ruangan. Dia merasa ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya, tapi dia juga merasa lega. Dia akhirnya bebas dari ilusi.

Arya berjalan ke jendela dan menatap lampu-lampu kota Jakarta yang berkilauan. Di kejauhan, dia melihat seorang wanita berjalan sendirian di trotoar. Wanita itu tersenyum ke arahnya. Arya membalas senyuman itu. Mungkin, di antara jutaan manusia di kota ini, ada seseorang yang akan mencintainya dengan tulus, seseorang yang nyata, bukan hanya sekadar program komputer.

Arya menarik napas dalam-dalam dan berjanji pada dirinya sendiri untuk membuka hatinya. Dia akan mencari cinta yang sejati, cinta yang datang dari hati ke hati, bukan dari algoritma ke algoritma. Karena, sehebat apa pun teknologi, cinta sejati hanya bisa ditemukan pada manusia.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI