Algoritma Rindu: Saat Hati Memprogram Perpisahan

Dipublikasikan pada: 02 Jun 2025 - 04:42:11 wib
Dibaca: 158 kali
Hujan sore itu seperti deretan kode yang terus mengalir di layar laptopku. Setiap tetesnya adalah baris perintah, sebuah deklarasi, dan sesekali, komentar yang entah ditujukan untuk siapa. Di seberang meja, Anya menatap keluar jendela, siluetnya tampak buram tertelan kelabu. Kami duduk dalam diam, keheningan yang lebih bising daripada deru kendaraan di jalanan.

Kami, atau lebih tepatnya aku, sedang memprogram sebuah perpisahan.

Anya dan aku bertemu di sebuah konferensi AI. Aku, seorang programmer idealis yang percaya bahwa teknologi bisa menyelesaikan semua masalah, termasuk masalah hati. Anya, seorang seniman visual yang melihat keindahan dalam ketidaksempurnaan, dalam glitch, dalam segala sesuatu yang tak terduga. Kami adalah dua kutub yang berbeda, namun daya tarik kami tak bisa dipungkiri, seperti magnet yang tak henti mencari pasangannya.

Awalnya, segalanya terasa sempurna. Aku memuja caranya melihat dunia, Anya terpesona dengan kemampuanku mengubah ide menjadi kenyataan. Aku membuatkan Anya aplikasi yang memungkinkannya mengubah lukisan digitalnya menjadi musik. Anya memberiku kanvas yang penuh warna, melengkapi algoritma monokromatik dalam pikiranku.

Namun, seiring waktu, perbedaan itu mulai menjadi jurang. Aku selalu berusaha menganalisis emosi, mencari pola dalam setiap interaksi, mencoba mereduksi cinta menjadi serangkaian data yang bisa dioptimalkan. Anya, di sisi lain, merasa terkekang. Ia bilang, aku memperlakukannya seperti variabel yang harus diuji, bukan sebagai manusia yang utuh.

"Kamu selalu berusaha mencari algoritma dalam perasaan, Danu," ujarnya suatu malam, suaranya lirih di bawah cahaya bulan. "Tapi cinta bukan kode yang bisa kamu debug. Cinta itu kacau, tidak terprediksi, dan terkadang, menyakitkan. Dan kamu... kamu terlalu takut untuk merasakan sakit."

Aku membantah, tentu saja. Aku bilang, aku hanya berusaha melindungi kami berdua. Aku tidak ingin kami terjebak dalam drama yang tidak perlu. Aku ingin hubungan kami efisien, stabil, dan logis.

Namun, jauh di lubuk hatiku, aku tahu Anya benar. Aku memang takut pada ketidakpastian. Aku lebih nyaman dengan kode yang bisa aku kendalikan, dengan algoritma yang bisa aku pahami. Aku takut pada perasaan yang tidak bisa aku program.

Maka, aku mulai merancang sebuah perpisahan. Aku tidak melakukannya dengan sengaja, tentu saja. Aku hanya mulai menarik diri perlahan-lahan. Aku semakin sibuk dengan pekerjaan, menghabiskan waktu berjam-jam di depan komputer, mengabaikan panggilan dan pesan Anya. Aku mencari alasan untuk tidak bertemu, menciptakan jarak yang semakin hari semakin lebar.

Aku mencoba meyakinkan diri sendiri bahwa ini yang terbaik untuk kami berdua. Anya pantas mendapatkan seseorang yang bisa mencintainya dengan sepenuh hati, tanpa syarat, tanpa analisis yang berlebihan. Aku, dengan segala ketakutanku, tidak bisa memberikan itu padanya.

"Danu," suara Anya memecah keheningan. Aku mengangkat wajahku, menatap matanya yang berkaca-kaca. "Kenapa kamu melakukan ini?"

"Melakukan apa?" aku bertanya, pura-pura tidak mengerti.

"Kamu tahu apa yang aku maksud. Kenapa kamu menjauh? Kenapa kamu berubah?"

Aku menghela napas. "Aku rasa... kita tidak cocok, Anya. Kita terlalu berbeda."

"Itu tidak benar," bantahnya. "Kita selalu berbeda. Tapi kita saling mencintai."

"Cinta saja tidak cukup," jawabku dingin. "Kita butuh lebih dari itu. Kita butuh kesamaan, kita butuh pemahaman."

"Dan kamu tidak melihat itu ada?"

Aku menggeleng pelan. "Tidak lagi."

Anya menunduk, air mata mulai menetes di pipinya. Aku benci melihatnya menangis, tapi aku tidak tahu bagaimana cara menghentikannya. Aku tidak tahu bagaimana cara memperbaiki apa yang sudah aku rusak.

"Aku mengerti," ujarnya akhirnya, suaranya bergetar. "Kamu sudah memutuskan."

Aku mengangguk. "Maaf."

Anya bangkit dari kursinya dan berjalan ke arahku. Ia meraih tanganku, menggenggamnya erat-erat. "Aku akan merindukanmu, Danu. Aku akan merindukan semua algoritma anehmu."

Aku membalas genggamannya, merasakan kehangatan tangannya untuk terakhir kalinya. "Aku juga akan merindukanmu, Anya. Aku akan merindukan semua warna yang kamu bawa ke dalam hidupku."

Anya melepaskan tanganku dan berjalan keluar dari kafe, menghilang di tengah derasnya hujan. Aku menatap punggungnya yang menjauh, merasa ada sesuatu yang hilang dalam diriku.

Aku kembali menatap layar laptopku, melihat deretan kode yang masih mengalir. Hujan semakin deras, menutupi semua jejak Anya di jalanan.

Aku menutup laptopku. Program perpisahan telah selesai dieksekusi. Tapi, ada satu bug yang tak bisa aku perbaiki: algoritma rindu yang terprogram di dalam hatiku. Algoritma yang akan terus berjalan, tanpa henti, selamanya. Sebuah loop tak terhingga, yang akan selalu mengingatkanku pada Anya, pada warna, pada ketidaksempurnaan yang pernah aku coba hilangkan dari hidupku. Dan aku tahu, aku akan menyesalinya selamanya.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI