Deburan ombak digital menghantam dinding kesendirianku. Aku, Ardi, seorang programmer yang lebih akrab dengan baris kode daripada tatapan mata, terjebak dalam rutinitas yang memuakkan. Siang malamku dihabiskan di depan layar, mencipta aplikasi yang membantu orang lain terhubung, sementara diriku sendiri bagai pulau terpencil. Ironis, bukan?
Semua berubah ketika perusahaan tempatku bekerja, "Synapse Solutions," ditugaskan untuk mengembangkan aplikasi kencan berbasis AI, "Soulmate Algorithm." Aku, dengan keahlianku dalam machine learning, didapuk menjadi ketua tim. Awalnya, ini hanyalah proyek lain, deretan kode yang harus kutaklukkan. Namun, seiring berjalannya waktu, aku mulai melihat potensi di balik algoritma yang kurancang. Aku memasukkan variabel-variabel kompleks, mulai dari preferensi musik, buku favorit, hingga ambisi hidup. Semakin dalam aku menggali, semakin aku merasa Soulmate Algorithm ini bukan sekadar alat pencari jodoh, melainkan cerminan jiwa manusia.
Salah satu fitur yang paling aku banggakan adalah "Resonance Score," angka yang menunjukkan seberapa cocok dua individu berdasarkan data yang mereka masukkan. Aku merasa bangga ketika Resonance Score yang dihasilkan akurat, menghubungkan orang-orang dengan minat dan nilai yang sejalan. Aku bahkan mulai berpikir, mungkinkah algoritma ini bisa mencarikan jodoh untukku?
Suatu malam, rasa penasaran mengalahkanku. Aku memutuskan untuk menguji Soulmate Algorithm pada diriku sendiri. Dengan hati-hati, aku memasukkan data pribadiku, jujur dan tanpa filter. Aku mengisi setiap kolom dengan harapan tersembunyi, membayangkan sosok ideal yang mungkin ditawarkan oleh algoritma ciptaanku sendiri.
Lalu, munculah hasilnya. Satu nama, satu foto, satu Resonance Score yang membuat jantungku berdebar kencang: Anya.
Anya, seorang desainer grafis di divisi pemasaran Synapse Solutions. Selama ini, aku hanya melihatnya sekilas di kafetaria atau lift, tak pernah berani mendekat. Dia bagai lukisan indah yang terpajang di galeri, terlalu sempurna untuk disentuh.
Resonance Score kami mencapai angka 98. Angka yang mustahil, bahkan menurut standarku. Aku terpaku, tak percaya. Apakah mungkin algoritma ini benar? Apakah Anya benar-benar sosok yang selama ini aku cari?
Keesokan harinya, aku memberanikan diri menyapanya di kafetaria. Sapaan singkat, "Hai, Anya," terasa seperti deklarasi perang. Dia tersenyum, senyum yang membuatku kehilangan kata-kata.
"Hai, Ardi," jawabnya. "Ada yang bisa kubantu?"
Aku tergagap, mencoba menyusun kalimat. "Tidak… eh, hanya ingin menyapa. Aku… aku dengar kamu mengerjakan desain untuk Soulmate Algorithm."
Dia tertawa kecil. "Iya, desainnya agak rumit. Kamu pasti sibuk dengan kode-kodenya, ya?"
Percakapan kami berlanjut, canggung namun menyenangkan. Kami membahas Soulmate Algorithm, lalu beralih ke film favorit, genre musik, dan bahkan mimpi-mimpi masa kecil. Setiap kata yang keluar dari mulutnya terasa bagai kode yang membuka kunci hatiku.
Sejak hari itu, kami semakin sering bertemu. Makan siang bersama, membahas proyek di kantor, bahkan sekadar bertukar pesan singkat di malam hari. Aku mulai menyadari bahwa Resonance Score hanyalah angka, yang sebenarnya adalah koneksi yang kami bangun, ketertarikan yang tumbuh alami.
Namun, ada satu hal yang mengganjal pikiranku. Aku merasa bersalah. Aku merasa tidak jujur. Aku tahu bahwa Anya belum tahu bahwa aku adalah pencipta Soulmate Algorithm, dan bahwa algoritma itu sendiri yang mempertemukan kami. Aku takut, jika dia tahu, dia akan merasa bahwa perasaannya padaku tidak otentik, bahwa itu hanyalah hasil kalkulasi mesin.
Suatu malam, saat kami duduk berdua di taman kota, aku memutuskan untuk mengungkapkan kebenaran. Jantungku berdebar kencang, lebih kencang dari saat pertama kali melihat Resonance Score-nya.
"Anya," kataku, suaraku bergetar. "Ada sesuatu yang harus kukatakan."
Dia menatapku dengan mata penuh perhatian. "Ada apa, Ardi?"
Aku menarik napas dalam-dalam. "Aku… aku adalah ketua tim yang mengembangkan Soulmate Algorithm."
Dia terdiam sesaat, lalu tertawa pelan. "Aku tahu."
Aku terkejut. "Kamu tahu? Bagaimana?"
"Aku melihat namamu di proposal proyek," jawabnya. "Dan jujur saja, aku penasaran. Aku memasukkan dataku ke Soulmate Algorithm, hanya untuk melihat siapa yang direkomendasikan."
Aku terdiam, merasa bodoh. "Jadi… jadi kamu tahu bahwa Resonance Score kita 98?"
Dia mengangguk. "Ya. Tapi itu tidak penting, Ardi."
"Tidak penting?" tanyaku bingung.
"Yang penting adalah apa yang terjadi setelah itu," jawabnya, meraih tanganku. "Aku menyukaimu, Ardi. Bukan karena algoritma, bukan karena angka. Tapi karena kamu adalah kamu. Sosok yang lucu, cerdas, dan sedikit canggung yang membuatku tertawa setiap hari."
Air mata haru menggenang di pelupuk mataku. Aku membalas genggamannya. "Aku juga menyukaimu, Anya. Sangat menyukaimu."
Malam itu, di bawah bintang-bintang yang bertaburan, aku menyadari bahwa cinta tidak bisa dihitung dengan algoritma. Cinta adalah perasaan yang tumbuh, berkembang, dan bersemi secara alami. Soulmate Algorithm hanyalah alat, sebuah jembatan yang membantuku menemukan Anya. Tapi yang membuat kami tetap bersama adalah koneksi yang kami bangun, detak jantung yang beresonansi, dan cinta yang tulus.
Aku tidak lagi merasa bersalah. Aku tahu bahwa cinta kami nyata, otentik, dan lebih kuat dari sekadar baris kode. Aku telah menemukan jodohku, bukan karena algoritma, tapi karena keberanianku untuk membuka hati, dan keberanian Anya untuk melihat lebih dalam dari sekadar angka. Cinta, pada akhirnya, selalu menemukan jalannya, bahkan di dunia yang penuh dengan teknologi. Dan terkadang, algoritma memang bisa mencuri detak jantungku, tapi hanya cinta yang bisa membuatnya berdetak lebih cepat.