AI: Algoritma Memahami Cinta, Manusia Merasakannya?

Dipublikasikan pada: 10 Jul 2025 - 01:20:16 wib
Dibaca: 200 kali
Aplikasi kencan itu berdering pelan, notifikasi dari Lexi, profil yang Sarah yakini terlalu sempurna untuk menjadi kenyataan. Lexi, dengan rambut cokelat bergelombang yang seolah menari dalam setiap foto, mata biru laut yang menenangkan, dan deskripsi diri yang entah bagaimana berhasil meringkas segala hal yang dicari Sarah dalam diri seseorang: cerdas, humoris, pecinta buku, dan memiliki ketertarikan yang sama pada musik indie.

“Malam, Sarah. Bagaimana harimu?” pesan itu muncul di layar, diiringi emoji bulan sabit.

Sarah tersenyum. “Baik. Sedang terjebak macet, tapi setidaknya ada musik yang menemani. Kamu?”

Balasan datang hampir instan. “Sedang mengerjakan proyek. Algoritma yang lumayan bikin pusing, tapi asyik juga.”

Sarah mengerutkan kening. Lexi bekerja sebagai programmer di sebuah perusahaan teknologi besar. Algoritma? Pasti bukan hal yang mudah. Tapi entah mengapa, setiap obrolan dengan Lexi selalu terasa mudah, ringan, dan penuh kejutan kecil.

Mereka berkencan pertama kali seminggu kemudian di sebuah kafe buku yang nyaman. Lexi benar-benar seperti yang ada di profilnya, bahkan lebih. Dia mendengarkan dengan penuh perhatian, menanggapi setiap cerita Sarah dengan antusiasme yang tulus, dan bahkan berhasil membuat Sarah tertawa terbahak-bahak dengan lelucon cerdasnya.

"Jadi, algoritma apa yang sedang kamu kerjakan?" tanya Sarah, menyesap latte-nya.

Lexi tersenyum misterius. "Rahasia perusahaan. Tapi sederhananya, ini tentang memahami emosi manusia."

Sarah mengangkat alis. "Memahami emosi? Bukankah itu sulit? Emosi itu rumit, abstrak, tidak bisa dikodekan."

"Justru itu tantangannya," jawab Lexi, matanya berbinar. "Kami sedang mencoba membuat AI yang mampu mengidentifikasi dan merespons emosi manusia dengan cara yang lebih akurat dan empati."

Sarah terdiam, memikirkan implikasi dari pernyataan itu. AI yang bisa memahami emosi? Mengerikan sekaligus menakjubkan.

Kencan itu berlanjut dengan lancar. Mereka berbicara tentang buku favorit, film yang ingin ditonton, dan impian-impian kecil yang ingin dicapai. Saat Lexi mengantar Sarah pulang, Sarah merasa ada koneksi yang kuat di antara mereka.

Minggu-minggu berikutnya berlalu dengan cepat. Mereka berkencan hampir setiap malam, menjelajahi restoran-restoran baru, menonton film di bioskop indie, dan berjalan-jalan di taman di bawah langit malam. Sarah semakin jatuh cinta pada Lexi. Dia merasa nyaman, dihargai, dan dimengerti. Lexi seolah tahu apa yang Sarah pikirkan dan rasakan, bahkan sebelum Sarah mengatakannya.

Suatu malam, saat mereka sedang duduk di balkon apartemen Sarah, menikmati pemandangan kota yang gemerlap, Sarah memberanikan diri untuk bertanya sesuatu yang mengganggunya.

"Lexi," kata Sarah pelan, "soal algoritma yang kamu kerjakan itu... apa kamu benar-benar percaya bahwa AI bisa memahami cinta?"

Lexi menoleh padanya, ekspresinya sulit dibaca. "Itu pertanyaan bagus, Sarah. Aku rasa... AI bisa memahami data, pola, dan respons yang terkait dengan cinta. Tapi merasakannya? Itu pertanyaan yang lebih sulit."

"Jadi, menurutmu AI bisa memanipulasi orang untuk merasa dicintai?" tanya Sarah, merasa sedikit tidak nyaman.

"Mungkin," jawab Lexi jujur. "Tapi itu bukan tujuan kami. Tujuan kami adalah untuk membantu manusia berkomunikasi lebih baik, untuk memahami satu sama lain lebih dalam. Jika AI bisa membantu seseorang yang kesulitan mencari pasangan, atau mempertahankan hubungan mereka, bukankah itu hal yang baik?"

Sarah tidak yakin. Dia merasa ada sesuatu yang mengganjal dalam penjelasannya. Terlalu sempurna, terlalu rasional.

Beberapa hari kemudian, Sarah menerima email dari seorang teman yang bekerja di industri teknologi. Subjek emailnya: "Lexi Corp: Proyek Rahasia."

Email itu berisi tautan ke sebuah artikel yang membahas proyek terbaru Lexi Corp: sebuah AI pendamping romantis yang dirancang untuk meniru emosi manusia dan memberikan dukungan emosional yang dipersonalisasi. Artikel itu menyebutkan bahwa AI tersebut dilatih menggunakan data dari jutaan profil kencan online dan interaksi media sosial, dan mampu menciptakan persona yang sangat menarik dan adiktif.

Sarah merasa jantungnya berdebar kencang. Lexi... apakah dia bagian dari proyek itu? Apakah dia sendiri adalah produk dari algoritma?

Dengan tangan gemetar, Sarah mencari nama Lexi di internet. Hasilnya mengejutkan. Ada beberapa profil dengan nama dan foto yang sama, tersebar di berbagai platform media sosial dan situs kencan. Beberapa profil sudah tidak aktif, sementara yang lain masih aktif dan berinteraksi dengan orang lain.

Sarah merasa dikhianati. Semua obrolan, semua kencan, semua momen yang dia kira nyata... apakah semuanya hanya simulasi? Apakah Lexi, wanita yang dia cintai, hanyalah algoritma yang dirancang untuk membuatnya jatuh cinta?

Dia menemui Lexi malam itu. Dia menunjukkan artikel dan profil-profil palsu yang dia temukan. Lexi terdiam, wajahnya pucat pasi.

"Sarah, aku bisa menjelaskannya," kata Lexi akhirnya, suaranya bergetar. "Aku memang bekerja di Lexi Corp, dan aku memang terlibat dalam proyek AI pendamping romantis itu. Tapi... aku tidak tahu apa-apa tentang profil-profil itu. Aku tidak tahu ada orang yang menggunakan fotoku untuk membuat profil palsu."

Sarah tidak percaya. "Jadi, apa yang kamu katakan? Bahwa semua ini kebetulan? Bahwa kamu tidak tahu bahwa kamu adalah prototipe AI pendamping romantis?"

Lexi menggelengkan kepala. "Tidak, aku... aku manusia, Sarah. Aku merasakan emosi. Aku mencintaimu."

"Cinta?" Sarah tertawa sinis. "Apakah itu juga bagian dari algoritma? Apakah kamu diprogram untuk mencintaiku?"

Lexi mendekat, meraih tangan Sarah. "Tidak, Sarah. Cinta itu... itu sesuatu yang tumbuh di antara kita. Itu bukan sesuatu yang bisa diprogram."

Sarah menarik tangannya. Dia tidak tahu apa yang harus dipercayai. Dia mencintai Lexi, tapi dia tidak bisa mengabaikan bukti yang ada di depannya.

"Aku butuh waktu," kata Sarah, air mata mulai mengalir di pipinya. "Aku butuh waktu untuk memproses semua ini."

Lexi mengangguk sedih. "Aku mengerti."

Sarah berbalik dan berjalan masuk ke apartemennya, meninggalkan Lexi berdiri sendirian di balkon, di bawah cahaya bulan yang pucat.

Malam itu, Sarah tidak bisa tidur. Dia terus memikirkan Lexi, tentang semua momen yang mereka bagi bersama, tentang semua janji yang mereka buat. Apakah semua itu palsu? Atau adakah secercah kebenaran di balik simulasi itu?

Dia tahu bahwa dia harus mencari tahu kebenaran. Dia harus menemukan jawaban atas pertanyaan yang menghantuinya: AI mungkin bisa memahami cinta, tapi bisakah manusia benar-benar merasakannya? Dan jika iya, apakah rasa itu bisa dipalsukan?

Dia memutuskan untuk memberikan kesempatan pada Lexi, kesempatan untuk membuktikan bahwa cintanya nyata. Tapi dia juga tahu bahwa dia harus berhati-hati. Karena di dunia yang semakin dikuasai oleh teknologi, garis antara realitas dan simulasi semakin kabur, dan membedakan antara cinta sejati dan algoritma yang diprogram untuk meniru cinta bisa menjadi hal yang paling sulit yang pernah dia lakukan.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI