Algoritma Cinta: Bisakah AI Memprediksi Akhir Bahagia?

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 04:34:13 wib
Dibaca: 162 kali
Aplikasi kencan itu bernama "Algoritma Cinta". Klaimnya bombastis: memprediksi kecocokan dengan akurasi 99,9%, mengantarkan penggunanya menuju akhir bahagia yang diidam-idamkan. Anya, seorang programmer perfeksionis berusia 28 tahun, skeptis namun penasaran. Ia baru saja putus dari hubungannya yang berjalan lima tahun, dan hatinya masih perih. Meskipun begitu, ia mengunduh aplikasi itu, lebih karena bosan daripada harapan tulus menemukan cinta.

Anya mengisi profilnya dengan jujur. Ia menjelaskan kecintaannya pada coding, kegemarannya membaca novel fiksi ilmiah, dan ketidaksukaannya pada keramaian. Ia juga mengunggah foto dirinya yang diambil tanpa filter, menampilkan senyum tipis dan mata cokelatnya yang cerdas. Dalam waktu kurang dari satu jam, Algoritma Cinta memberikan hasilnya: seorang pria bernama Leo, dengan skor kecocokan 99,8%.

Profil Leo menampilkan wajah yang ramah dengan rambut cokelat berantakan dan senyum yang tulus. Ia seorang arsitek lanskap, mencintai alam dan benci terjebak di kantor. Ia juga suka membaca, meskipun preferensinya lebih ke non-fiksi sejarah dan biografi. "Kecocokanmu dengan Leo sangat tinggi," demikian pesan dari aplikasi. "Kami memprediksi hubungan yang langgeng dan memuaskan."

Anya mengernyit. Terlalu sempurna. Terlalu klise. Ia merasa ada yang tidak beres. Namun, ia tetap mengirim pesan singkat kepada Leo, sekadar memenuhi rasa penasarannya. "Hai Leo, Algoritma Cinta bilang kita cocok."

Balasan datang hampir seketika. "Hai Anya! Aku juga kaget lihat skornya. Mau ngobrol lebih lanjut?"

Percakapan mereka mengalir dengan lancar. Mereka berdebat tentang film favorit, bertukar rekomendasi buku, dan tertawa karena lelucon yang sama. Leo ternyata orang yang menyenangkan dan cerdas, jauh dari kesan membosankan yang Anya khawatirkan. Setelah seminggu berkirim pesan, mereka memutuskan untuk bertemu.

Kencan pertama mereka di sebuah kedai kopi kecil terasa nyaman dan alami. Leo tidak seperti pria-pria yang pernah Anya kencani sebelumnya. Ia tidak berusaha untuk membuatnya terkesan, tidak sok tahu, dan tidak merendahkan diri sendiri. Ia mendengarkan dengan seksama apa yang Anya katakan, dan merespons dengan jujur dan perhatian. Mereka berbicara selama berjam-jam, sampai kedai kopi itu hampir tutup.

Seiring berjalannya waktu, Anya mulai percaya pada Algoritma Cinta. Hubungannya dengan Leo berkembang pesat. Mereka melakukan perjalanan akhir pekan ke pantai, menghadiri konser musik indie, dan bahkan mencoba memasak bersama (yang berakhir dengan kekacauan di dapur tapi tawa yang tak terkendali). Leo menunjukkan padanya dunia di luar layar komputer, membawanya mendaki gunung, mengajarinya tentang tanaman liar, dan membuatnya menghargai keindahan alam.

Anya merasa bahagia. Ia merasa dicintai, dihargai, dan dipahami. Ia bahkan mulai membayangkan masa depan bersamanya, sebuah masa depan yang penuh dengan kehangatan, kebahagiaan, dan cinta yang langgeng. Ia mulai berpikir bahwa Algoritma Cinta mungkin benar. Mungkin AI benar-benar bisa memprediksi akhir bahagia.

Namun, keraguan masih menghantuinya. Ia seorang programmer, dan ia tahu bahwa algoritma hanyalah serangkaian instruksi. Mereka hanya bisa memproses data yang diberikan kepada mereka. Mereka tidak bisa memahami emosi manusia yang kompleks, tidak bisa memprediksi perubahan hidup yang tak terduga.

Suatu malam, Anya menemukan Leo sedang terpaku di depan laptopnya, wajahnya tegang. Ia mendekat dan melihat layar laptopnya: Algoritma Cinta. Leo sedang mengubah profilnya.

"Leo? Apa yang kamu lakukan?" tanya Anya, suaranya bergetar.

Leo tersentak kaget. "Anya! Aku... aku bisa jelaskan."

"Jelaskan apa? Kenapa kamu mengubah profilmu? Apa yang salah?"

Leo menghela napas panjang. "Aku... aku tidak jujur padamu sejak awal. Aku tidak benar-benar arsitek lanskap. Aku seorang pengembang aplikasi. Aku bagian dari tim yang membuat Algoritma Cinta."

Anya tertegun. Ia merasa seperti ditampar. "Apa maksudmu?"

"Aplikasi itu... itu tidak seakurat yang kamu kira. Kami menggunakan teknik manipulasi psikologis untuk membuat orang percaya bahwa mereka menemukan kecocokan sempurna. Kami mengubah profil pengguna, menyesuaikan algoritma agar mereka bertemu dengan orang yang 'ideal' menurut data kami. Aku mengubah profilku agar sesuai denganmu, Anya. Aku membuat diriku menjadi pria yang kamu inginkan."

Anya mundur selangkah, matanya berkaca-kaca. "Jadi, semuanya bohong? Semua yang kita rasakan... semua yang kita lakukan..."

"Tidak, Anya! Bukan begitu! Awalnya memang aku hanya menjalankan tugas. Tapi kemudian... aku jatuh cinta padamu. Sungguh. Aku tidak berbohong tentang itu. Aku benar-benar mencintaimu."

Anya menggelengkan kepalanya. "Aku tidak percaya padamu. Aku tidak percaya apa pun yang kamu katakan."

Ia berbalik dan berlari keluar dari apartemen Leo, air mata mengalir di pipinya. Ia merasa dikhianati, dibodohi, dan hancur. Algoritma Cinta telah membawanya ke jurang keputusasaan, membuatnya percaya pada kebohongan, dan menghancurkan hatinya.

Beberapa minggu kemudian, Anya kembali ke rutinitasnya. Ia bekerja, membaca, dan menghabiskan waktu bersama teman-temannya. Ia berusaha melupakan Leo, melupakan Algoritma Cinta, dan melupakan ilusi akhir bahagia yang diprediksi oleh AI.

Suatu sore, saat sedang menikmati kopi di kedai favoritnya, seorang pria menghampirinya. Pria itu tidak tampan seperti Leo, tidak memiliki pesona yang dibuat-buat, dan tidak sesuai dengan kriteria ideal apa pun yang pernah Anya bayangkan. Ia hanya seorang pria biasa dengan mata yang jujur dan senyum yang tulus.

"Hai," katanya, gugup. "Maaf mengganggu. Tapi aku sering melihatmu di sini. Aku... aku suka caramu membaca buku. Kamu terlihat sangat fokus dan penuh semangat."

Anya menatapnya dengan rasa ingin tahu. Ia tidak merasakan apa pun yang diprediksi oleh Algoritma Cinta. Tidak ada skor kecocokan, tidak ada jaminan akhir bahagia. Hanya ada seorang pria, seorang wanita, dan kemungkinan awal yang baru.

"Terima kasih," jawab Anya, tersenyum tipis. "Aku Anya."

"Aku David," balas pria itu. "Boleh aku duduk?"

Anya mengangguk. Saat David duduk di hadapannya, Anya menyadari satu hal: Algoritma Cinta mungkin bisa memprediksi kecocokan, tapi tidak bisa memprediksi cinta sejati. Cinta sejati tidak ditemukan dalam data dan algoritma, tetapi dalam momen-momen kecil, dalam kejujuran, dalam kerentanan, dan dalam keberanian untuk mengambil risiko. Dan mungkin, hanya mungkin, akhir bahagia tidak diprediksi, tetapi diciptakan.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI