Layar monitor memancarkan cahaya biru yang menyilaukan, memantul di kacamata Arya. Jari-jarinya menari di atas keyboard, merangkai baris demi baris kode. Ruangan apartemennya yang sempit terasa lebih sempit lagi dengan tumpukan buku dan periferal komputer yang berserakan. Di tengah kekacauan itu, secangkir kopi yang sudah dingin mengepulkan uap terakhirnya.
Arya adalah seorang programmer jenius, seorang dewa di dunia digital. Dia bisa membuat aplikasi kompleks dengan mata tertutup, meretas sistem keamanan dengan senyuman sinis, dan menciptakan algoritma yang membuat para ilmuwan terkemuka pun tercengang. Tapi, ada satu hal yang selalu membuatnya kewalahan: cinta.
"Sial," gumamnya, menghapus beberapa baris kode yang baru saja ditulis. Aplikasi kencan yang sedang dikerjakannya, "Soulmate Algorithm," masih memiliki banyak bug. Ironis sekali, pikirnya, seorang ahli dalam memecahkan masalah logis, justru kesulitan memahami logika perasaan.
Ide untuk aplikasi ini muncul setelah serangkaian kencan yang gagal. Arya merasa ada yang salah dengan cara orang mencari pasangan. Mereka terlalu fokus pada hal-hal dangkal seperti penampilan dan pekerjaan. Padahal, menurutnya, kecocokan sejati terletak pada kesamaan nilai, minat, dan, yang terpenting, kemampuan untuk saling memahami.
Maka, lahirlah "Soulmate Algorithm," sebuah aplikasi yang menjanjikan untuk menemukan pasangan yang paling cocok berdasarkan data psikologis dan perilaku pengguna. Arya yakin, dengan kode yang tepat, dia bisa memecahkan misteri cinta.
Namun, saat algoritma semakin kompleks, Arya justru semakin merasa hampa. Dia sibuk menganalisis data dan mencari pola, tapi melupakan satu hal penting: interaksi manusia yang sesungguhnya. Dia kehilangan sentuhan dengan dunia nyata.
Kemudian, dia bertemu Nara.
Nara bukan programmer, bukan pula seorang tech enthusiast. Dia adalah seorang seniman, seorang pelukis yang lebih suka menghabiskan waktunya di alam terbuka daripada di depan layar komputer. Mereka bertemu di sebuah kedai kopi, secara tidak sengaja. Arya sedang mencari inspirasi untuk nama baru bagi aplikasinya, sementara Nara sedang mencari tempat yang tenang untuk membuat sketsa.
Awalnya, Arya merasa Nara adalah orang yang aneh. Dia tidak mengerti kenapa Nara lebih memilih mengamati dedaunan daripada membaca berita gadget terbaru. Nara, sebaliknya, menganggap Arya terlalu serius dan kaku.
Tapi, perlahan tapi pasti, mereka mulai saling tertarik. Nara tertarik dengan kecerdasan dan ketulusan Arya, sementara Arya terpesona oleh kreativitas dan kebebasan Nara. Mereka menghabiskan waktu berjam-jam untuk berbicara, berbagi cerita, dan tertawa bersama.
Arya mulai melupakan aplikasinya. Dia lebih memilih menemani Nara ke galeri seni, mendengarkan musik klasik di taman, atau sekadar berjalan-jalan di bawah bintang. Dia belajar tentang warna, tekstur, dan emosi yang tidak bisa dia temukan dalam baris-baris kode.
Namun, bayangan "Soulmate Algorithm" masih menghantui Arya. Dia merasa bersalah karena telah mengabaikannya. Dia juga takut, jika aplikasinya berhasil, dia akan kehilangan Nara. Bagaimana jika algoritma itu menemukan orang yang lebih cocok untuknya?
Suatu malam, Arya memutuskan untuk menyelesaikan aplikasinya. Dia menghabiskan waktu semalaman untuk memperbaiki bug terakhir. Ketika matahari mulai terbit, dia akhirnya berhasil. "Soulmate Algorithm" siap diluncurkan.
Dengan perasaan campur aduk, Arya memasukkan data dirinya ke dalam aplikasi. Jantungnya berdebar kencang saat menunggu hasilnya. Layar berkedip-kedip, menampilkan serangkaian angka dan grafik. Akhirnya, muncul nama: Nara.
Arya terkejut. Dia tidak tahu apakah harus senang atau takut. Apakah ini berarti cintanya pada Nara hanya hasil dari algoritma yang kompleks? Apakah perasaannya tidak tulus?
Kemudian, dia menyadari satu hal. Algoritma hanyalah alat. Alat itu bisa membantu kita menemukan orang yang cocok, tapi tidak bisa menciptakan cinta. Cinta adalah sesuatu yang tumbuh secara alami, melalui interaksi, pengalaman, dan koneksi emosional.
Arya menutup laptopnya. Dia bangkit dan berjalan menuju jendela. Di kejauhan, dia melihat Nara sedang melukis di balkon apartemennya. Dia tersenyum.
Dia tahu, tidak peduli apa yang dikatakan algoritma, dia mencintai Nara. Dan itu adalah hal yang paling penting.
Arya berjalan keluar apartemennya dan menuju ke apartemen Nara. Dia mengetuk pintu. Nara membukakan pintu dengan senyuman cerah.
"Hai," kata Nara. "Kamu tidak bekerja?"
"Aku mengambil cuti," jawab Arya. "Aku ingin menghabiskan waktu bersamamu."
Nara tertawa. "Aku tahu kamu akan mengatakan itu."
Mereka berpelukan. Di saat itu, Arya merasa semua kode di dunia tidak bisa menjelaskan kebahagiaan yang dia rasakan. Dia telah menemukan cinta, bukan melalui algoritma, tapi melalui hatinya.
Beberapa minggu kemudian, Arya memutuskan untuk menghapus "Soulmate Algorithm." Dia menyadari bahwa cinta bukanlah sesuatu yang bisa diprediksi atau diukur. Cinta adalah sesuatu yang harus dirasakan.
Dia menutup laptopnya dan memandang Nara, yang sedang duduk di sampingnya, membaca buku. Dia meraih tangannya dan menggenggamnya erat.
"Terima kasih," bisik Arya.
"Untuk apa?" tanya Nara.
"Karena telah mengajariku apa itu cinta," jawab Arya.
Nara tersenyum dan mencium pipi Arya. "Aku juga mencintaimu," bisiknya.
Di saat itu, Arya tahu bahwa dia telah membuat keputusan yang tepat. Dia telah membuang kode yang rumit dan memilih cinta yang sederhana. Dan dia tidak pernah menyesalinya. Karena terkadang, untuk menemukan cinta sejati, kita harus berani kehilangan sesuatu yang lain.