Bot Hati: Mencari Cinta, Menemukan Algoritma?

Dipublikasikan pada: 02 Nov 2025 - 01:20:15 wib
Dibaca: 136 kali
Hujan rintik-rintik menari di jendela kafe, memantulkan neon redup yang membasahi wajah Arya. Di tangannya tergenggam erat ponsel, menampilkan aplikasi "SoulMate AI". Ini adalah malam penentu, malam di mana algoritma akan memutuskan apakah dia cocok dengan salah satu dari seribu kandidat yang terdaftar.

Arya menghela napas. Mencari cinta di era digital memang absurd. Dulu, orang bertemu secara tidak sengaja, saling bertatapan di perpustakaan atau berpapasan di jalan. Sekarang, semuanya diserahkan pada kode dan data. Tapi, toh dia sudah lelah dengan kencan buta yang dijodohkan teman-temannya. Mungkin, algoritma punya jawaban yang lebih baik.

SoulMate AI menjanjikan kecocokan sempurna berdasarkan analisis data mendalam: riwayat media sosial, preferensi film dan musik, bahkan pola tidur dan kebiasaan belanja. Arya sudah mengisi semua data dengan jujur, berharap mesin itu bisa membantunya menemukan seseorang yang benar-benar mengerti dirinya.

Lampu indikator di aplikasi berubah hijau. Sebuah notifikasi muncul: "Kandidat Kompatibel Ditemukan: Luna_A23". Jantung Arya berdebar. Luna. Nama yang indah. Dia mengetuk profilnya. Foto seorang perempuan tersenyum lembut, matanya berbinar cerah. Luna adalah seorang programmer, sama seperti Arya. Kesukaannya pada film indie dan musik jazz juga sama. Bahkan, makanan favorit mereka pun sama: sushi dengan wasabi ekstra.

Arya memberanikan diri mengirim pesan. "Hai Luna, senang bertemu denganmu. Algoritma sepertinya tahu apa yang dia lakukan."

Beberapa saat kemudian, Luna membalas. "Hai Arya! Aku juga terkejut dengan kecocokan kita. Apa kabar?"

Percakapan mengalir lancar. Mereka membahas kode, bug yang menjengkelkan, dan film favorit mereka. Arya merasa ada koneksi yang nyata, bukan sekadar hasil perhitungan matematis. Luna lucu, cerdas, dan memiliki selera humor yang sama. Setelah beberapa hari, mereka memutuskan untuk bertemu.

Arya menunggu Luna di depan bioskop. Dia gugup, sama seperti remaja yang akan berkencan untuk pertama kalinya. Ketika Luna muncul, dia terpana. Dia lebih cantik dari fotonya. Matanya yang berbinar memancarkan kehangatan.

Malam itu, mereka menonton film komedi romantis yang sudah lama ingin mereka tonton. Mereka tertawa bersama, saling berbagi popcorn, dan tanpa sadar saling menyentuh tangan. Setelah film selesai, mereka berjalan-jalan di taman, membicarakan impian dan harapan mereka.

Arya merasa nyaman berada di dekat Luna. Dia bisa menjadi dirinya sendiri, tanpa perlu berpura-pura atau berusaha mengesankan. Luna mendengarkannya dengan penuh perhatian, menanggapi setiap perkataannya dengan antusias. Dia merasa seperti sudah mengenal Luna seumur hidup.

Namun, kebahagiaan Arya mulai terusik beberapa minggu kemudian. Dia menyadari bahwa percakapan mereka semakin lama semakin terasa monoton. Luna selalu tahu apa yang akan dia katakan, bagaimana dia akan bereaksi. Seolah-olah mereka sudah membaca naskah yang sama.

Suatu malam, ketika mereka sedang makan malam, Arya bertanya, "Luna, apa kamu pernah merasa... seperti kita ini hasil dari algoritma?"

Luna terdiam. Dia meletakkan garpunya dan menatap Arya dengan serius. "Aku juga merasakannya, Arya. Kita terlalu cocok. Terlalu sempurna. Seolah-olah kita tidak punya ruang untuk kejutan, untuk perbedaan."

Arya menghela napas. Dia tahu Luna benar. Mereka memang cocok di atas kertas, tapi di dunia nyata, cinta membutuhkan lebih dari sekadar kesamaan. Cinta membutuhkan tantangan, perbedaan, dan kejutan.

"Mungkin... mungkin algoritma itu salah," kata Arya pelan.

"Mungkin," jawab Luna. "Atau mungkin, kita terlalu bergantung padanya. Kita lupa bahwa cinta itu tentang belajar, tumbuh, dan saling menerima perbedaan."

Mereka terdiam lagi. Hening menyelimuti meja makan. Arya merasa ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tidak bisa digantikan oleh algoritma apa pun.

Beberapa hari kemudian, Arya memutuskan untuk mengunjungi kantor SoulMate AI. Dia ingin bertemu dengan orang yang menciptakan algoritma itu, untuk menanyakan mengapa mereka membuat sesuatu yang begitu sempurna, namun terasa begitu hampa.

Dia bertemu dengan Dr. Evelyn Reed, kepala pengembangan SoulMate AI. Dr. Reed adalah seorang wanita paruh baya dengan rambut abu-abu dan mata yang tajam. Dia menyambut Arya dengan senyum ramah.

"Jadi, Anda adalah Arya," kata Dr. Reed. "Saya sudah mendengar tentang Anda dan Luna. Kalian adalah salah satu pasangan yang paling cocok yang pernah kami temukan."

"Tapi itu masalahnya, Dr. Reed," kata Arya. "Kami terlalu cocok. Kami merasa seperti robot yang diprogram untuk saling mencintai."

Dr. Reed mengangguk. "Saya mengerti kekhawatiran Anda. Kami merancang algoritma ini untuk membantu orang menemukan cinta, tapi kami tidak pernah bermaksud untuk menggantikan perasaan manusia."

"Lalu, apa gunanya semua ini?" tanya Arya. "Jika pada akhirnya, kita tetap merasa hampa?"

Dr. Reed tersenyum. "Algoritma hanyalah alat, Arya. Alat untuk membantu Anda menemukan potensi pasangan. Tapi, apa yang terjadi setelah itu, itu sepenuhnya terserah Anda. Anda yang menentukan apakah cinta itu akan tumbuh, berkembang, atau layu."

"Jadi, kami harus apa?" tanya Arya.

"Berhentilah bergantung pada algoritma," jawab Dr. Reed. "Keluar dari zona nyaman Anda. Temukan hal-hal baru yang kalian sukai, yang kalian benci. Belajar untuk menerima perbedaan satu sama lain. Karena cinta sejati itu bukan tentang kesamaan, tapi tentang bagaimana Anda mengatasi perbedaan."

Arya meninggalkan kantor SoulMate AI dengan pikiran yang berkecamuk. Dia menyadari bahwa Dr. Reed benar. Algoritma hanyalah permulaan. Cinta sejati membutuhkan usaha, komitmen, dan keberanian untuk menerima ketidaksempurnaan.

Arya menemui Luna di taman tempat mereka berkencan pertama kali. Dia menceritakan semua yang dia pelajari dari Dr. Reed. Luna mendengarkannya dengan seksama, matanya memancarkan harapan.

"Jadi, apa yang akan kita lakukan?" tanya Luna.

Arya meraih tangan Luna dan menggenggamnya erat. "Kita akan berhenti menjadi robot. Kita akan belajar untuk saling mencintai apa adanya, dengan semua kelebihan dan kekurangan kita."

Mereka memutuskan untuk mencoba hal-hal baru bersama-sama. Mereka belajar memasak makanan yang belum pernah mereka coba sebelumnya, mendaki gunung yang belum pernah mereka daki, dan bahkan mencoba menari salsa. Mereka berdebat, tertawa, dan saling mendukung.

Perlahan tapi pasti, hubungan mereka mulai berkembang. Mereka menemukan hal-hal baru tentang satu sama lain yang tidak bisa diprediksi oleh algoritma mana pun. Mereka belajar untuk menerima perbedaan mereka, dan bahkan menghargai ketidaksempurnaan masing-masing.

Arya menyadari bahwa cinta itu bukan tentang menemukan algoritma yang sempurna, tapi tentang menemukan orang yang tepat untuk diajak berjuang, bertumbuh, dan mencintai tanpa syarat. Dan mungkin, di tengah semua data dan kode, dia akhirnya menemukan cinta sejati. Bukan karena algoritma, tapi karena keberanian mereka untuk melampaui batas-batas yang ditetapkan oleh mesin. Hujan masih rintik-rintik, tapi hati Arya terasa hangat. Dia tersenyum, bukan karena algoritma, tapi karena Luna, yang kini membalas senyumnya dengan penuh cinta.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI