Aroma kopi robusta menguar di apartemen minimalis milik Anya. Di balik layar laptop berlogo apel tergigit, kode-kode program berbaris rapi, membentuk sebuah algoritma rumit bernama “Amoris”. Anya, seorang pengembang AI muda yang ambisius, tengah berusaha menciptakan sesuatu yang revolusioner: sebuah simulasi ciuman virtual yang sempurna.
Ia menghela napas, menyandarkan punggung ke kursi ergonomisnya. Di hadapannya, sebuah alat aneh menyerupai masker VR, namun lebih ringkas dan dilengkapi dengan elektroda-elektroda kecil. “Amoris, respons sensorik bibir,” gumam Anya, jarinya mengetik perintah di keyboard. “Mulai pengujian.”
Di layar, grafik menunjukkan aktivitas saraf dan aliran darah. Anya memasangkan masker itu, menarik napas dalam, dan menekan tombol “Simulasi”. Sensasi aneh menjalar di bibirnya. Bukan sentuhan fisik yang nyata, melainkan ilusi rasa yang kompleks: hangat, lembut, sedikit asin, dan aroma mint yang samar. Algoritma Amoris meniru sensasi ciuman dengan presisi yang mencengangkan.
“Luar biasa,” bisik Anya, matanya terpejam. “Nyaris sempurna.”
Proyek Amoris ini bukan sekadar hobi iseng. Bagi Anya, ini adalah solusi untuk kerinduannya yang mendalam. Setahun lalu, Leo, kekasihnya seorang astrofisikawan, pergi ke Antartika untuk penelitian jangka panjang. Komunikasi mereka terbatas pada email singkat dan panggilan video sekali seminggu, itupun jika kondisi cuaca memungkinkan. Jarak fisik yang membentang ribuan kilometer terasa menyiksa Anya. Ia merindukan Leo, bukan hanya kehadirannya, tapi juga sentuhan lembutnya, terutama ciumannya.
Maka, ia mencurahkan seluruh energinya untuk Amoris. Ia mempelajari neurosains, fisiologi, dan bahkan seni berciuman (dengan bantuan video tutorial dan buku-buku kuno). Ia memasukkan data tentang tekanan, suhu, tekstur, aroma, dan bahkan emosi yang terkait dengan ciuman. Tujuannya sederhana: menciptakan pengganti sementara untuk Leo, sampai ia kembali.
Namun, semakin lama Anya berkutat dengan Amoris, semakin ia merasakan kejanggalan. Simulasi itu memang canggih, sensasinya hampir identik dengan ciuman nyata, tetapi ada sesuatu yang hilang. Ada kekosongan yang tidak bisa diisi oleh algoritma, secerdas apapun itu.
Suatu malam, saat Anya kembali melakukan pengujian, teleponnya berdering. Itu Leo. Wajahnya tampak pucat dan kelelahan di layar. "Anya," sapa Leo dengan suara serak. "Aku... aku akan pulang lebih cepat."
Anya terkejut. "Ada apa, Leo? Apa yang terjadi?"
"Ada masalah dengan peralatanku. Aku harus kembali untuk memperbaikinya. Mungkin... sekitar dua minggu lagi aku sudah sampai."
Anya merasakan campuran antara kelegaan dan kegelisahan. Leo akan pulang, itu kabar baik. Tapi, bagaimana dengan Amoris? Apakah ia akan membuang semua kerja kerasnya? Apakah ia akan mengakui pada Leo bahwa ia menciptakan simulasi ciuman karena merindukannya?
"Aku... aku senang kamu akan pulang," kata Anya, mencoba menyembunyikan keraguannya.
Setelah panggilan berakhir, Anya menatap masker Amoris yang tergeletak di meja. Ia menyentuhnya dengan ragu, lalu memasangkannya sekali lagi. Simulasi dimulai. Kali ini, sensasinya terasa berbeda. Ada nada kepalsuan yang terasa semakin jelas.
Anya melepas masker itu dengan kasar. Ia menyadari bahwa Amoris hanyalah ilusi, sebuah pelarian dari kenyataan. Ciuman yang sebenarnya bukan hanya sekadar sentuhan fisik, melainkan pertukaran emosi, energi, dan perasaan yang tidak bisa direplikasi oleh algoritma. Ciuman adalah ungkapan cinta, kerinduan, dan keintiman yang melibatkan seluruh jiwa.
Dua minggu kemudian, Anya menunggu di bandara. Jantungnya berdebar kencang. Ia melihat Leo keluar dari pintu kedatangan, tubuhnya sedikit kurus dan wajahnya tampak letih, namun senyumnya tetap hangat dan menenangkan.
Leo menghampiri Anya dan memeluknya erat. "Aku merindukanmu," bisiknya.
Anya membalas pelukan itu dengan erat. "Aku juga merindukanmu, Leo."
Leo melepaskan pelukannya dan menatap Anya dalam-dalam. Tanpa berkata apa-apa, ia mendekatkan wajahnya dan mencium bibir Anya. Ciuman itu bukan simulasi, bukan ilusi. Itu adalah ciuman yang nyata, penuh dengan cinta, kerinduan, dan kebahagiaan yang tak terlukiskan.
Anya merasakan kehangatan Leo, sentuhan lembut bibirnya, aroma khas tubuhnya. Ciuman itu menyatukan mereka kembali setelah berbulan-bulan terpisah. Di saat itu, Anya menyadari bahwa tidak ada algoritma, secerdas apapun itu, yang bisa menggantikan ciuman yang sesungguhnya. Ciuman adalah bahasa cinta yang universal, yang melampaui batas teknologi dan ruang.
Di apartemen Anya, masker Amoris tergeletak di sudut ruangan, terlupakan. Anya dan Leo duduk berdua di balkon, menikmati kopi robusta hangat. Leo memegang tangan Anya dan menatapnya dengan penuh kasih sayang.
"Apa yang kamu lakukan selama aku pergi?" tanya Leo, tersenyum menggoda.
Anya tersenyum malu. "Aku... aku mengerjakan proyek kecil," jawab Anya, mencoba menyembunyikan kegugupannya. "Tidak penting."
Leo tertawa pelan. "Apapun itu, aku yakin kamu melakukannya dengan sepenuh hati."
Anya memeluk Leo erat. Ia tidak akan pernah menceritakan tentang Amoris. Ia memilih untuk menyimpan rahasia itu sebagai pelajaran berharga. Pelajaran tentang cinta, kerinduan, dan kekuatan sentuhan manusia yang tidak bisa digantikan oleh teknologi. Karena pada akhirnya, algoritma hanya bisa meniru, tapi tidak bisa merasakan. Dan rasa, terutama rasa cinta, adalah inti dari kehidupan.