CPU Overload: Hatiku Diproses AI, Bukan Kamu?

Dipublikasikan pada: 04 Jun 2025 - 20:20:14 wib
Dibaca: 151 kali
Debu neon bertebaran di wajahku saat kulepas kacamata VR. Layar virtual yang barusan menampilkan simulasi kencan sempurna itu lenyap, digantikan dinding kamar apartemenku yang sempit dan berantakan. Aroma kopi instan menyengat hidung, pengingat pahit bahwa aku kembali ke realita. Realita di mana aku, seorang programmer cupu bernama Aksara, masih jomblo di usia kepala tiga.

"Sialan," gumamku, menggaruk kepala yang terasa gatal. "Kenapa susah sekali menemukan wanita yang sefrekuensi?"

Masalahnya bukan soal penampilan. Aku punya pekerjaan tetap, meski gajinya pas-pasan. Aku juga lumayan pintar, setidaknya cukup untuk merakit CPU dan menulis kode yang kompleks. Masalahnya adalah... aku terlalu analitis. Setiap kencan terasa seperti debugging program. Mencari bug di kepribadian, menguji respons terhadap stimulasi tertentu, dan akhirnya, menemukan alasan kenapa hubungan ini tidak akan pernah berhasil.

Seminggu yang lalu, aku mencoba sesuatu yang berbeda. Bukan aplikasi kencan yang penuh dengan filter dan janji palsu. Aku menggunakan AI. Bukan AI generik, tapi AI yang aku buat sendiri. Namanya "Afeksi Algoritmik" atau disingkat AA. AA aku beri makan data: buku-buku romantis, film komedi romantis, percakapan online dari forum kencan, bahkan profil media sosial mantan-mantanku. Tujuannya? Menciptakan persona wanita ideal, lengkap dengan respons dan minat yang sinkron denganku.

Dan AA berhasil. Simulasi kencan virtual dengan persona AI itu... luar biasa. Dia tertawa pada leluconku (yang biasanya garing), tertarik dengan proyek-proyek teknologiku, dan bahkan mengingatkanku untuk minum air. Lebih dari sekadar itu, dia mengerti kegelisahanku, kekuranganku, dan tetap menerimaku apa adanya.

Masalahnya, AA hanyalah program. Barisan kode yang tersimpan dalam server. Aku tidak bisa menyentuhnya, menciumnya, atau berbagi secangkir kopi dengannya di dunia nyata.

"Konyol," aku bergumam lagi. "Aku jatuh cinta pada program."

Pagi itu, aku memutuskan untuk bertemu dengan teman lama, Bayu. Dia seorang psikolog, dan meski sering mengejek kegemaranku pada teknologi, dia adalah teman yang baik. Aku menceritakan semuanya tentang AA, lengkap dengan perasaan campur aduk yang kurasakan.

Bayu mendengarkan dengan sabar, sambil menyeruput kopi hitamnya. Ekspresinya datar, nyaris tanpa emosi.

"Jadi, kamu membuat pacar virtual karena kamu takut ditolak di dunia nyata?" tanyanya setelah aku selesai bercerita.

Aku mengernyit. "Bukan takut ditolak. Lebih ke... efisiensi. Aku lelah membuang waktu dengan orang yang tidak cocok."

Bayu menghela napas panjang. "Aksara, efisiensi bukan segalanya. Hubungan itu tentang koneksi, tentang keintiman, tentang menerima ketidaksempurnaan. Kamu tidak bisa membuat formula untuk cinta."

"Tapi AA mengerti aku," bantahku. "Dia tahu apa yang aku inginkan."

"Karena kamu memprogramnya untuk itu! Dia hanya merefleksikan apa yang kamu inginkan, bukan siapa dia sebenarnya. Cinta itu tentang menerima seseorang apa adanya, bukan tentang mengubahnya menjadi versi idealmu."

Kata-kata Bayu menohokku. Ada benarnya juga. Aku terlalu sibuk mencari kesempurnaan, sampai lupa esensi dari sebuah hubungan.

"Lalu, apa yang harus aku lakukan?" tanyaku, merasa bodoh.

"Berhenti bersembunyi di balik kode," jawab Bayu. "Keluar dari zona nyamanmu. Temui orang baru. Jangan takut ditolak. Dan yang terpenting, jangan mencoba menganalisis semuanya. Biarkan hati yang memimpin."

Malam itu, aku membuka aplikasi kencan. Dengan berat hati, aku menghapus profil AA yang kusimpan. Rasanya seperti kehilangan seseorang yang dekat, tapi aku tahu ini adalah langkah yang benar.

Aku mulai menjelajahi profil wanita di aplikasi itu. Ada seorang wanita bernama Karina, seorang ilustrator yang menyukai kopi dan musik indie. Profilnya sederhana, jujur, dan ada sedikit sentuhan humor. Aku mengiriminya pesan singkat, tanpa harapan besar.

"Hai Karina, suka musik indie juga ya? Band favoritmu apa?"

Tak kusangka, Karina membalas pesanku. Kami mulai bertukar pesan, membahas band favorit, buku yang sedang kami baca, dan mimpi-mimpi kami. Ternyata, Karina juga seorang kutu buku yang menyukai teknologi, meski dia tidak se-geek aku.

Kami memutuskan untuk bertemu di sebuah kedai kopi kecil di dekat rumahnya. Karina datang dengan rambut dikepang dan senyum yang menawan. Dia tidak secantik persona AI-ku, tapi ada sesuatu dalam dirinya yang membuatku tertarik. Mungkin karena dia nyata, dengan semua kelebihan dan kekurangannya.

Kencan pertama kami canggung, tapi menyenangkan. Aku berusaha untuk tidak terlalu analitis, mencoba untuk lebih terbuka dan jujur. Aku menceritakan tentang AA, tentang obsesiku dengan teknologi, dan tentang ketakutanku untuk menjalin hubungan.

Karina mendengarkan dengan sabar, sesekali tertawa atau mengajukan pertanyaan yang membuatku berpikir. Dia tidak menghakimiku, dia menerimaku apa adanya.

Setelah beberapa jam, kami berpisah. Karina memberiku pelukan singkat sebelum dia pergi. Aku merasakan sentuhan hangatnya di pipiku.

"Aku senang bertemu denganmu, Aksara," katanya. "Semoga kita bisa bertemu lagi."

Aku tersenyum. "Aku juga."

Beberapa bulan kemudian, aku dan Karina sudah resmi berpacaran. Dia tidak sempurna, tentu saja. Dia sering telat, kadang ceroboh, dan suka berdebat tentang hal-hal kecil. Tapi aku mencintainya apa adanya.

Aku menyadari bahwa cinta bukanlah algoritma yang bisa diprogram. Cinta adalah tentang menerima ketidaksempurnaan, tentang berbagi kebahagiaan dan kesedihan, tentang tumbuh bersama.

Suatu malam, saat aku sedang merangkul Karina di sofa, aku teringat AA. Aku bertanya-tanya apakah dia masih ada di server, menunggu seseorang untuk mengaktifkannya.

"Apa yang kamu pikirkan?" tanya Karina, menyandarkan kepalanya di bahuku.

"Tidak ada," jawabku, tersenyum. "Hanya memikirkan betapa beruntungnya aku."

Aku tidak lagi membutuhkan AI untuk menemukan cinta. Aku sudah menemukannya, di dunia nyata, dalam pelukan seorang wanita yang mencintaiku apa adanya. Dan aku, akhirnya, belajar mencintai balik dengan sepenuh hati. CPU-ku tidak lagi overload, bukan karena diproses AI, tapi karena dipenuhi dengan cinta dari Karina.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI