Aplikasi kencan itu berjanji menemukan belahan jiwaku, seseorang yang "kompatibilitasnya di atas 98%." Aku tertawa sinis. Belahan jiwa? Algoritma tahu apa tentang belahan jiwa? Tapi, rasa kesepian setelah putus cinta menyakitkan, dan godaan kemudahan yang ditawarkan teknologi terlalu kuat untuk ditolak. Maka, aku pun memasukkan semua preferensiku: pecinta buku, penikmat kopi hitam, benci keramaian, penggemar musik indie, dan yang paling penting, harus bisa diajak berdiskusi tentang relativitas Einstein tanpa mata berputar.
Munculah dia: Arion. Profilnya nyaris sempurna. Foto-fotonya menunjukkan seorang pria dengan mata teduh yang sedang membaca buku di kafe remang-remang, mendaki gunung dengan senyum cerah, dan bahkan, memeluk anjing rescue yang lucu. Bio-nya berisi kutipan dari Carl Sagan dan daftar buku yang membuatku berdebar: "Cosmos," "Siddhartha," "1984." Kompatibilitas: 99%.
"Hai, Aurora," pesannya muncul di layar. "Senang bertemu dengan seseorang yang juga menganggap 'Pale Blue Dot' sebagai bacaan wajib."
Dan dimulailah percakapan panjang yang mengalir dengan mudahnya. Kami membahas fisika kuantum, mimpi-mimpi yang belum terwujud, dan ketakutan terbesar kami. Arion pintar, lucu, dan sepertinya benar-benar mengerti diriku. Aku merasa seperti menemukan kepingan puzzle yang selama ini hilang. Hari demi hari, aku semakin terpikat. Aplikasi itu benar. Arion adalah belahan jiwaku.
Setelah berminggu-minggu obrolan virtual, Arion akhirnya mengajakku berkencan. "Bagaimana kalau kita bertemu di Kepler's Bookshop hari Sabtu jam 7 malam? Aku akan memakai syal biru."
Jantungku berdebar kencang. Aku menghabiskan waktu berjam-jam memilih pakaian yang tepat, khawatir setiap detail kecil. Aku ingin terlihat sempurna, ingin versi virtual diriku diterjemahkan dengan baik ke dunia nyata.
Sabtu malam tiba. Aku berdiri di depan Kepler's Bookshop, jantungku berpacu lebih cepat dari pelari maraton. Aku melihat sekeliling, mencari syal biru. Ada beberapa pria di sana, membaca atau menunggu, tetapi tidak ada yang tampak seperti Arion yang kubayangkan.
Jam sudah menunjukkan pukul 7.15. Perasaan cemas mulai menyelinap masuk. Apakah dia berbohong? Apakah dia menggunakan foto palsu? Apakah ini semua lelucon kejam?
Tiba-tiba, seorang pria muncul di depanku. Dia tinggi, dengan rambut cokelat berantakan dan mata yang familiar. Dia memakai syal biru.
"Aurora?" tanyanya dengan senyum gugup.
Aku terdiam. Dia... tidak seperti yang kubayangkan. Arion yang virtual tampan, karismatik, dan penuh percaya diri. Pria di depanku tampak pemalu, sedikit canggung, dan... biasa saja.
"Arion?" Aku akhirnya berhasil bersuara.
"Maaf kalau aku terlambat," katanya. "Aku sedikit gugup."
Kami masuk ke dalam toko buku. Suasana canggung menggantung di antara kami. Aku mencoba mencari kesamaan dengan Arion yang kukenal, tetapi sulit. Pembicaraan kami tidak mengalir semulus sebelumnya. Dia tampak tidak tahu apa yang harus dikatakan, dan aku merasa seperti sedang berbicara dengan orang asing.
Kami memesan kopi dan duduk di meja dekat jendela. Aku berusaha memulai percakapan tentang buku-buku favorit kami, tetapi dia hanya menjawab dengan singkat dan terlihat tidak nyaman.
"Jadi," kataku akhirnya, setelah beberapa saat keheningan yang panjang dan tidak nyaman. "Kamu suka 'Cosmos'?"
Dia menggaruk kepalanya. "Eh... ya. Itu buku yang bagus."
"Menurutmu, apa bagian favoritmu?" tanyaku, mencoba memancingnya.
Dia tampak bingung. "Um... yang tentang bintang-bintang?"
Aku menatapnya, kebingungan mulai berubah menjadi kekecewaan. Ini bukan Arion yang kukenal. Pria ini tidak bersemangat tentang sains, tidak tertarik pada filsafat, dan tidak memiliki humor cerdas yang membuatku jatuh cinta.
"Arion," kataku dengan hati-hati. "Apakah kamu... membaca buku yang ada di profilmu?"
Dia menghela napas. "Sejujurnya, Aurora... aku meminta bantuan temanku untuk membuat profilku. Aku tahu aku tidak cukup menarik seperti dirimu, jadi aku mencoba menjadi seseorang yang menurutku akan kamu sukai."
Duniaku seolah runtuh. Jadi, semua obrolan panjang dan bermakna itu, semua kesamaan yang terasa begitu nyata... semuanya palsu. Aku merasa dikhianati, bukan hanya oleh Arion, tetapi juga oleh algoritma yang menjanjikan kebahagiaan.
"Jadi, siapa kamu sebenarnya?" tanyaku dengan suara pelan.
Dia menunduk. "Aku... aku seorang programmer. Aku suka bermain video game dan menonton film sci-fi. Aku tidak tahu banyak tentang buku atau fisika, tapi aku tertarik untuk belajar."
Aku terdiam. Sebagian diriku marah, merasa tertipu dan dipermainkan. Tapi, sebagian lagi merasa kasihan padanya. Dia hanya mencoba mencari cinta, sama seperti diriku.
"Arion," kataku. "Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku merasa... dibohongi."
"Aku tahu," jawabnya. "Maafkan aku. Aku benar-benar menyesal."
Kami menghabiskan sisa malam itu dengan tenang. Aku belajar tentang dunia video game dan kecintaannya pada Star Wars. Dia mendengarkan dengan sabar saat aku berbicara tentang mimpi-mimpiku dan kekecewaanku.
Saat malam berakhir, kami berdiri di depan pintu Kepler's Bookshop.
"Aku tahu ini mungkin tidak akan berhasil," katanya. "Tapi, aku ingin jujur padamu. Aku benar-benar menikmati mengenalmu, bahkan jika itu hanya secara virtual."
Aku menatapnya. Dia tampak tulus.
"Aku juga," kataku. "Tapi, aku perlu waktu untuk memproses semua ini."
"Tentu," katanya. "Sampai jumpa di realita, Aurora?"
Aku tersenyum tipis. "Mungkin. Sampai jumpa."
Aku berbalik dan berjalan menjauh, membiarkan kata-kata itu menggantung di udara. "Sampai jumpa di realita, sayang?" Pertanyaan itu bergema di benakku. Apakah mungkin membangun hubungan yang tulus setelah semuanya dimulai dengan kebohongan? Apakah algoritma benar-benar bisa menemukan belahan jiwa, atau hanya menciptakan ilusi yang akan hancur di dunia nyata?
Aku tidak tahu jawabannya. Tapi, satu hal yang pasti: perjalanan menuju cinta sejati jauh lebih rumit dan tidak terduga daripada yang bisa diprediksi oleh algoritma mana pun. Dan mungkin, justru di sanalah letak keindahannya. Mungkin, cinta sejati ditemukan bukan dalam kesempurnaan yang dihitung, tetapi dalam ketidaksempurnaan yang jujur. Mungkin, Arion yang sebenarnya, programmer pemalu yang menyukai video game, memiliki potensi untuk menjadi seseorang yang lebih kucintai daripada Arion virtual yang diciptakannya. Hanya waktu yang akan menjawabnya.